Kanal24 – Perdagangan elektronik internasional telah berkembang dengan pesat selama beberapa dekade terakhir. Pandemi COVID-19 juga turut menyumbang angka besar pada pertumbuhan transaksi jual beli secara online, memicu perubahan perilaku konsumen dan menghasilkan rekor penjualan yang melonjak. Perusahaan besar seperti Amazon, Alibaba, dan Walmart yang telah memonopoli strategi belanja online. Saat ini, mereka mulai mencanangkan agar barang dikirim pada hari yang sama dan tanpa biaya kirim. Digitalisasi dan inovasi teknologi memang memungkinkan industri ini melakukan apa yang beberapa dekade lalu dianggap mustahil. Namun, perubahan ini juga menimbulkan kerugian besar bagi bumi.
Konsumerisme Modern
Kita hidup di masa ketika konsumerisme berada di puncaknya. Digitalisasi kehidupan modern dan inovasi teknologi baru telah sepenuhnya mengubah cara konsumen berbelanja. Dalam dekade terakhir, jumlah pembeli digital meningkat dengan tajam, mengubah e-commerce menjadi industri berpenghasilan miliaran dolar. Selain itu, sejak pandemi COVID-19, beberapa e-commerce yang telah berkembang sebelumnya, telah menjadi alternatif belanja paling populer bagi konsumen di seluruh dunia, sehingga memicu peningkatan pembelian online yang sangat tinggi.
Pada akhir tahun 2023, Asia diperkirakan menyumbang 50% dari total penjualan ritel online dunia, yang sebagian besar terjadi di Tiongkok, yang saat ini merupakan negara dengan penjualan ritel e-commerce terkemuka di dunia. Beberapa contoh strategi marketing seperti Black Friday, Cyber Monday, dan Singles’ Day hanyalah beberapa contoh inisiatif yang mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak barang. Selama strategi tersebut berjalan, para penjual yang telah memonopoli perekonomian global seperti Amazon, Walmart, dan Alibaba, serta perusahaan-perusahaan kecil yang berusaha mengikuti tren ini, secara sengaja mengatur penjualan dengan menekan orang untuk membeli produk di bawah pengaruh diskon dan waktu terbatas. Pada bulan November, selama ketiga strategi marketing di atas berjalan, terjatat penjualan online yang sangat besar di seluruh dunia dan di Tiongkok, dimana melalui strategi Singles’ Day atau Double 11 tercatat rekor penjualan sebesar 540,3 miliar yuan, traffic online telah menurun sejak tahun 2020. Para ahli menggambarkan penurunan ini sebagai konsekuensi dari perubahan perilaku konsumen, karena mereka mulai membeli hadiah Natal jauh lebih awal di tahun ini karena kekhawatiran terhadap kurangnya supply.
Memang benar, selama dua tahun terakhir, perusahaan pengiriman besar mengalami kesulitan memenuhi permintaan dan mereka kesulitan mengirimkan paket ke seluruh dunia. Rantai pasokan global berada pada titik puncaknya, kecuali konsumen mengubah sikap belanja dan ekspektasi mereka saat membeli secara online, krisis ini kemungkinan besar tidak akan bisa kembali lagi, meski perusahaan-perusahaan besar merupakan pemeran utama dalam kasus krisis pasokan global ini, konsumen juga mempunyai tanggung jawab yang sama.
Terdapat tiga alasan utama yang konsumen cari ketika jual beli secara online; harga, kecepatan, dan kenyamanan. Amazon, salah satu e-commerce terbesar di dunia dalam hal traffic, telah menemukan formula sempurna untuk memuaskan ketiganya, dengan membuat konsumen agar percaya bahwa pengiriman gratis dan cepat adalah sesuatu yang harus mereka miliki, sehingga memaksa penjual kecil untuk membuat strategi yang sama, untuk bersaing dengan industri besar.
E-commerce kini menjadi mesin cepat yang dirancang untuk memenuhi semakin banyak permintaan dan harapan konsumen. Pada bulan September 2021, beberapa kelompok industri yang mewakili lebih dari 65 juta pekerja transportasi menulis surat terbuka kepada para kepala negara di Majelis Umum PBB, memperingatkan bahwa, jika tren ini terus tumbuh pada tingkat yang sama, sistem transportasi global akan runtuh.
Masalah Pengemasan yang Berlebih
Kecanduan belanja online pada konsumen modern tidak hanya membawa rantai pasokan global terombang ambing, namun juga menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dengan konsekuensi bencana yang besar terhadap bumi.
Dengan ramainya tren belanja online, tidak mengherankan jika muncul masalah lingkungan yang sangat besar, dampaknya dapat dilihat di seluruh dunia, khususnya Tiongkok. Keberhasilan e-commerce di negara ini tidak tertandingi di seluruh dunia, dengan para ahli memperkirakan bahwa 52,1% penjualan ritel di negara tersebut berasal dari belanja online pada tahun 2021. Keberhasilan ini dipengaruhi oleh pesatnya evolusi internet dan digitalisasi sistem pembayaran di Tiongkok. Namun, karena penjualan online di negara ini mampu menghasilkan pendapatan ratusan miliar dolar dalam satu hari, kelompok pemerhati lingkungan hidup memperingatkan konsumen bahwa kemeriahan belanja ini menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap bumi.
Kemasan produk menyumbang sebagian besar emisi CO2 dari produksi plastik, mencemari ekosistem, serta menambah jumlah sampah dalam jumlah besar ke tempat pembuangan sampah. 3 miliar pohon ditebang setiap tahunnya untuk menghasilkan 241 juta ton karton kardus untuk pengiriman, menurut tuturan kelompok konservasi hutan yang menamakan dirinya sebagai Canopy. Dari 86 juta ton kemasan plastik yang diproduksi secara global setiap tahunnya, hanya kurang dari 14% yang didaur ulang. Sedangkan di TIongkok, berdasar statistik dari Biro Pos Negara, menunjukkan bahwa kurir Tiongkok menangani 83 miliar paket ekspres pada tahun 2020 saja, yang mencakup 1,8 juta ton sampah plastik dan hampir 10 juta ton sampah kertas. Di Hong Kong saja, 780 juta keping sampah kemasan dari belanja online dihasilkan sepanjang tahun 2020, berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh kelompok lokal Green Sense. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa rata-rata 2,18 buah kemasan yang digunakan untuk tiap produk pada tahun yang sama, sebagian besar terdiri dari bahan campuran yang sulit didaur ulang.
Ketika ruang untuk tempat pembuangan sampah semakin langka, Tiongkok kesulitan mengimbangi tumpukan sampah e-commerce yang semakin meningkat. Perusahaan seperti Alibaba kemudian mengembangkan kemasan yang lebih ramah lingkungan, mencoba membalikkan tren tersebut sementara pemerintah Tiongkok mengambil langkah-langkah untuk mengatur standar kemasan.
Dampak Pengiriman Barang
Emisi dampak pengiriman merupakan salah satu masalah lain yang perlu dipertimbangkan. Pengangkutan barang di seluruh dunia bertanggung jawab atas sebagian besar emisi CO2 yang dihasilkan oleh e-commerce. Pada tahun 2020, pengiriman dan pengembalian produk menyumbang 37% dari total emisi GRK . Masalah utama sekali lagi dapat dikaitkan dengan selera konsumen akan kenyamanan. Diperkirakan pada tahun 2030, jumlah kendaraan pengantar barang akan meningkat sebesar 36%, mencapai sekitar 7,2 juta kendaraan. Hal ini tidak hanya akan mengakibatkan peningkatan sekitar 6 juta ton emisi CO2, namun juga akan meningkatkan jumlah perjalanan sebesar 21%, karena kendaraan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan perjalanan karena kemacetan lalu lintas yang semakin tinggi.
Namun masalah sebenarnya terletak pada pengiriman cepat. Ketika teknologi baru meningkatkan transportasi barang dan menjadikannya lebih cepat dari sebelumnya, semakin banyak konsumen yang meminta pengiriman pada hari yang sama dan instan, dua opsi yang masing-masing tumbuh sebesar 36% dan 17% per tahun . Kedua opsi ini, seperti yang dilaporkan oleh Forum Ekonomi Dunia , sangat populer di Tiongkok, menyumbang lebih dari 10% dari total jumlah paket yang dikirim setiap hari, yang rata-rata berjumlah hampir 3 juta. Memang benar, ketika konsumen memilih pengiriman cepat, emisi yang dihasilkan jauh melebihi emisi yang dihasilkan dari belanja langsung. Alasan utamanya adalah perusahaan pengiriman tidak bisa menunggu sampai semua produk tiba sebelum mengirimkannya. Ketika berhadapan dengan jangka waktu pengiriman satu atau dua hari, mereka sering kali terpaksa mengirimkan truk yang terisi setengah kapasitasnya, sehingga menghasilkan lebih banyak lalu lintas dan juga menghasilkan emisi.
Namun pengiriman bukanlah satu-satunya masalah. Karena semakin banyak penjual online, besar dan kecil, yang menawarkan opsi pengiriman mudah dan gratis, terutama barang fashion, telah meroket melebihi 30% dari seluruh barang yang dibeli/ sebuah studi tentang perilaku konsumen menunjukkan bahwa 79% konsumen menginginkan pengiriman gratis dan 92% dari mereka cenderung membeli lagi jika barang yang dibeli mudah untuk dikembalikan. Statistik seperti ini yang memberikan insentif kepada perusahaan untuk menawarkan opsi tersebut, karena pada akhirnya akan menguntungkan penjualan mereka.
Tidak mengherankan bahwa revolusi e-commerce telah membawa manfaat yang sangat besar. Namun, belanja online dan dampaknya terhadap lingkungan tidak boleh kita abaikan. Saat ini, sebagian besar konsumen lebih memilih kenyamanan daripada prinsip peduli terhadap lingkungan. Meskipun upaya perusahaan untuk menjadi lebih berkelanjutan merupakan langkah yang baik menuju arah yang benar, perubahan ini saja tidak akan menyelesaikan masalah. Konsumen adalah pihak yang mempunyai keputusan akhir, dan perilaku serta keputusan merekalah yang pada akhirnya menentukan dampak dari industri ini. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk membalikkan tren berbahaya yang terjadi pada e-commerce adalah dengan adanya perubahan pola pikir baik dari pihak produsen maupun konsumen.
Penulis Martina Igini
Sumber Earth.org baca artikel asli di sini