Khusnul Hadi Kusuma, ASN Pemkab Tuban,
Kandidat Doktor Ilmu Administrasi UNTAG Surabaya
Selama ini, tingkatan eselon yang cukup banyak sering kali membuat instruksi pimpinan harus terlebih dahulu melewati rantai birokrasi yang panjang. Optimalisasi terhadap hal tersebut merupakan tujuan utama dari ide perampingan eselon itu. Sebetulnya ini bagian penting dari sebuah program strategis Presiden, yakni deregulasi dan debirokratisasi. Ini berkaitan dengan rentang pengambilan keputusan. Jadi bagaimana rentang pengambilan keputusan itu diperpendek, perampingan eselon tersebut dimaksudkan untuk mengurangi rentang pengambilan keputusan sehingga pemerintah dapat bergerak dengan cepat.
Pemangkasan eselon itu termaktub dalam Surat Edaran (SE) Menteri PANRB nomor 384, 390, dan 391 Tahun 2019 yang ditujukan kepada Menteri Kabinet Indonesia Maju, Gubernur, dan para Walikota dan Bupati tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi. Dalam surat edaran tersebut terdapat sembilan langkah strategis dimulai dengan mengidentifikasi unit kerja eselon III, IV, dan V yang dapat disederhanakan dan dialihkan jabatan strukturalnya sesuai peta jabatan di masing-masing instansi.
Presiden menilai keberadaan Eselon I-IV yang ada di kementerian dan lembaga terlalu banyak, perlu penyederhanaan struktur eselonisasi. Menurutnya eselonisasi hanya membutuhkan dua level saja, sisanya diganti dengan jabatan fungsional yang berbasis keahlian dan kompetensi. Namun demikian, besar potensi realisasi penyederhanaan eselonisasi saat ini karena di dalam pidato presiden telah diiringi solusi bagi para pejabat struktural yang eselonnya dilikuidasi untuk beralih ke jabatan fungsional. Salah satu upaya untuk mengubah resistensi menjadi eksistensi dari dampak penyederhanaan eselonisasi adalah pengenalan intens kepada para pejabat struktural sebagai persiapan karier alternatifnya.
Perampingan eselon justru membuka peluang seluas-luasnya bagi para ASN untuk menempati jabatan fungsional. Dengan jabatan fungsional, para ASN dimungkinkan untuk terus bekerja berdasarkan kompetensi dan keahliannya sehingga dapat bekerja dengan lebih optimal sesuai kemampuan dan latar belakang yang dimiliki.
Seorang ahli akuntan yang mendapat promosi ya tidak perlu dia harus berpindah ke jabatan struktural yang tidak ada kaitan dengan kompetensinya. Fotografer profesional kalau promosi tidak harus menjadi pejabat struktural, melainkan menjadi pejabat fungsional sesuai keahlian
Kasihan kan orang punya keahlian A demi promosi ke jabatan struktural kemudian dia harus keluar dari kompetensinya. Dia sendiri stres, organisasi juga rugi. Tapi seorang ASN akan tetap berkarier naik ke atas melalui jabatan fungsional sesuai keahliannya
Salah satu pertanyaan terkait regulasi yang terlontar adalah ketika Eselon III dan IV sudah dihapus apakah masih relevan jika pengaturan ASN masih mengacu pada UU No. 5/2014? Pertanyaan ini menyeruak karena konten UU ASN No. 5 tahun 2014 masih mengelompokkan jabatan ASN ke dalam tiga kelas, yakni Jabatan Administrasi, Jabatan Fungsional, dan Jabatan Pimpinan Tinggi. Untuk Jabatan Administrasi sendiri dikelompokkan lagi dengan adanya Jabatan Administrator (kategori Eselon III), Jabatan Pengawas (kategori Eselon IV), dan Jabatan Pelaksana.
Tidak hanya undang-undang yang akan dipertanyakan relevansinya terkait penyederhanaan yang diartikan dengan penghapusan, terhadap regulasi turunan/pelaksana juga perlu dirancang perubahannya, seperti PP No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen ASN ataupun PP No. 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS.
Di dalam PP No. 11/ 2017 tentang manajemen ASN, pengaturan mengenai jabatan administrasi berkaitan dengan persyaratan jabatan. Adapun penyebutan jabatan administrasi di dalam PP No 30 Tahun 20l9 tentang Penilaian Kinerja PNS, walaupun tidak tersebut secara langsung, namun dijelaskan mengenai Pejabat Penilai Kinerja PNS (yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara berjenjang).
Persoalan lain yang harus dipikirkan dari proses penyederhanaan eselonisasi adalah potensi resistensi. Jumlah ASN Indonesia secara keseluruhan berjumlah 4.285.576 orang –98.947 pemegang jabatan Eselon III, 327.771 pemegang jabatan Eselon IV, dan 14.430 pemegang jabatan Eselon V. Dengan penyederhanaan, tentu akan banyak pejabat yang kehilangan jabatan strukturalnya.
Namun, Kebijakan Perampingan birokrasi dengan memangkas eselon dalam periode kedua Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden dinilai rawan. Tjahjo Kumolo yang kini mengemban amanah sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) diminta hati-hati mengeluarkan kebijakan.
Hingga saat ini kebijakan tersebut masih menyisakan kebingungan dari kata penyederhanaan, apakah sederhana itu artinya dihapus, ataukah penyederhanaan itu hanya sebuah pengurangan saja dari jumlah yang ada saat ini.
Kebingungan tentang arti penyederhanaan memunculkan dua kelompok. Kelompok fast respons dan kelompok slow respons. Kelompok fast respons berusaha untuk langsung menindaklanjuti pernyataan Presiden dengan janji untuk segera merasionalisasi struktur eselon di kementerian/lembaga, sementara kelompok slow respons masih melihat penyederhanaan eselonisasi melalui berbagai pertimbangan, seperti aspek prosedur dan regulasi.
Kehilangan jabatan struktural bukanlah hal yang mudah untuk dijalani, karena selama ini jabatan struktural masih dianggap sebagai jabatan yang menggiurkan (memiliki bawahan dan fasilitas). Ketika para pejabat struktural harus beralih ke jabatan fungsional, maka segala fasilitas tersebut juga akan hilang, sehingga wajar jika akan muncul potensi resistensi terhadap upaya penyederhanaan eselonisasi.
Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang, jabatan fungsional hingga saat ini masih banyak dibayangkan tidak lebih baik dari jabatan struktural, serta masih ada anggapan bahwa jabatan fungsional adalah jabatan kelas dua, padahal banyak keuntungan yang bisa didapat dengan menjadi pejabat fungsional.
Dari sisi prestise, jabatan fungsional bukanlah jabatan yang bisa diisi oleh setiap orang, pengisiannya hanya didasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu yang dibuktikan dengan sertifikasi dan/atau penilaian tertentu. Dalam menjalankan tugas profesinya, para pengampu jabatan fungsional juga bersifat mandiri. Hal ini merupakan nilai plus dibandingkan dengan jabatan struktural yang pelaksanaannya selalu berdasarkan sebuah perintah yang berjenjang.
Begitupun kegiatan dari para pejabat fungsional, terukur dengan satuan nilai atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan dalam bentuk angka kredit. Semakin banyak kegiatan yang bisa dibuktikan, semakin banyak angka kreditnya. Kemandirian dan kualitas juga menjadi sifat yang selalu melekat dalam jabatan fungsional. Dari sisi keahlian, pejabat fungsional juga tidak teragukan; semakin tinggi jenjang ASN dalam jabatan sebuah fungsional, maka dapat dipastikan semakin tinggi juga keahlian di bidangnya.
Berbeda dengan jabatan struktural, seseorang bisa naik jabatan struktural hanya karena faktor subyektivitas. Rasa nyaman lainnya sebagai pejabat fungsional adalah pengisiannya lebih mudah dan fair, berbeda dengan pengisian jabatan struktural yang cenderung didasarkan pada unsur senioritas –yang senior yang didahulukan. Dalam jabatan fungsional, seorang PNS yang masih yunior tidak menutup kemungkinan mengalahkan pangkat/jenjang jabatan seniornya asalkan yang bersangkutan memang kompeten. Menjadi pejabat fungsional juga akan menghindarkan dari mutasi acak sebagaimana jabatan struktural, karena sudah jelas status jabatan dan keahliannya.
Sudah harus dimulai upaya untuk menjawab keraguan atas jabatan fungsional melalui sosialisasi yang intens oleh para instansi pengampu jabatan fungsional. Sosialisasi dapat dilakukan baik secara tatap muka maupun melalui media e-learning yang dapat diunduh oleh siapa saja. Beberapa pertanyaan sensitif juga harus mendapatkan jawaban yang baik, seperti persoalan tunjangan jabatan yang sempat banyak dikhawatirkan akan hilang atau berbeda jauh jumlahnya dengan jabatan struktural.
Padahal dalam faktanya perihal tunjangan bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Selama ini masing-masing jabatan fungsional telah menyediakan tunjangan fungsionalnya, sama dengan tunjangan struktural. Bahkan ada tunjangan jabatan fungsional yang lebih tinggi dari besaran tunjangan struktural dengan jabatan yang sama. Terkait dengan besaran tunjangan kinerja, selama ini sudah banyak K/L yang mampu merumuskan konversi grade dari jabatan struktural ke fungsional, seperti besaran tunjangan kinerja untuk jabatan pengawas sama dengan jabatan fungsional di level muda.
Dengan pengenalan yang mantap, diharapkan perpindahannya akan lebih smooth. Setelah langkah pengenalan, maka dapat dilanjutkan dengan mendesain clustering jabatan fungsional yang bisa disesuaikan dengan ruang lingkup jabatan sebelumnya, misalnya untuk jabatan struktural Eselon III dan IV yang ada di lingkungan sekretariat dapat diarahkan untuk jabatan fungsional Analis Kepegawaian, Pustakawan, Humas, Pengadaan Barang dan Jasa, Analis penganggaran, Perancang Peraturan Perundangan. Begitupun dengan jabatan struktural lainnya yang ada di bidang-bidang seperti di unit kelitbangan, dapat diarahkan kepada Jabatan Peneliti ataupun Widyaiswara.
Untuk lebih memantapkan semangat dan hasil kerja, dapat dirumuskan kembali mengenai keikutsertaan para pejabat fungsional impassing tersebut ke dalam diklat jabatan fungsional. Selama ini proses impassing ke dalam jabatan fungsional meniadakan diklat yang biasanya harus diikuti oleh seseorang yang akan memasuki jabatan fungsional secara reguler. Akibatnya, ada sebagian pejabat fungsional hasil impassing tersebut tidak bisa menjalankan tugasnya secara optimal, walaupun yang bersangkutan jenjang pangkat fungsionalnya sudah muda/madya, tetapi yang bersangkutan masih belum paham dengan baik akan substansi pekerjaannya.
Ke-depannya, untuk mengurangi gap kompetensi dari proses impassing tersebut, kepada pejabat yang impassing dapat diberikan pembekalan diklat fungsional sesuai dengan grade yang akan mereka duduki, sehingga mereka dapat mengetahui dengan baik apa dan bagaimana mereka harus mengerjakan tugas mereka.