Oleh : Rima Amalia*
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 telah menjadi topik hangat dalam ranah ekonomi dan kebijakan publik. Kebijakan mengenai kenaikan tarif PPN tertuang dalam amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini merupakan bagian dari program perekonomian yang ditetapkan sejak tahun 2021, ketika PPN mengalami peningkatkan dari 10% menjadi 11%. Kenaikan tarif PPN ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jenis pajak yang dikenakan atas nilai tambah yang dihasilkan dari transaksi ekonomi. PPN dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa, baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh perusahaan. Tetapi tidak semua barang dikenakan PPN, tetapi hanya Barang Kena Pajak (BKP) saja yang dikenakan PPN.
Kenaikan PPN direncanakan dengan tujuan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development). Pasalnya, saat ini tarif PPN Indonesia masih berada di bawah rata-rata tarif PPN negara lain. Namun keputusan kebijakan kenaikan PPN ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat serta ahli ekonom.
Di satu sisi, pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa kenaikan PPN dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi negara, yang dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan program-program sosial. Selain itu, mereka berargumen bahwa peningkatan PPN dapat membantu mengurangi defisit anggaran dan memperkuat stabilitas fiskal, yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian secara keseluruhan.
Di sisi lain, para kritikus kebijakan ini menyoroti dampak negatifnya terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan konsumsi domestik. Kenaikan PPN dapat menyebabkan harga barang dan jasa naik, sehingga mengakibatkan tekanan pada kesejahteraan ekonomi rumah tangga, terutama mereka yang berpenghasilan rendah dan menengah. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kenaikan PPN dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi permintaan domestik dan investasi swasta.
Selain pertimbangan pro dan kontra yang telah disebutkan sebelumnya, peningkatan PPN juga menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana dana public dari sektor pajak tersebut dapat digunakan secara efisien dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Masyarakat berharap pemerintah dapat menjamin bahwa dana yang dihasilkan dari peningkatan PPN akan dialokasikan dengan bijak dan efektif untuk memenuhi kebutuhan umum.
Pemerintah memiliki peran penting dalam kebijakan pajak, termasuk kebijakan yang berkaitan dengan tarif PPN. Pemerintah bertanggung jawab untuk menetapkan tarif PPN, memastikan bahwa tarif tersebut adil dan tidak merugikan konsumen. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab untuk mengawasi penerapan tarif PPN dan memastikan bahwa semua perusahaan dan individu mematuhi ketentuan yang berlaku.
Peningkatan PPN menjadi 12% pada tahun 2025 merupakan topik yang kompleks yang memerlukan analisis yang teliti dari berbagai perspektif. Penting untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pendapatan negara dan perlindungan terhadap daya beli masyarakat serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik sangat penting untuk membangun kepercayaan dan mendukung kesuksesan kebijakan tersebut.
*) Rima Amalia, Mahasiswa Semester 6 Prodi Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya