KANAL24, Malang – Dr. Remy Limpach, sejarawan Swiss-Belanda hadir di FISIP UB, senin (7/10/2019) pada acara bedah bukunya yang berjudul “Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia” (Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949). Dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswa FISIP, Remy antusias menjelaskan isi dalam bukunya yang telah diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia itu.
Sejak 1969, Pemerintah Belanda berpendirian bahwa angkatan bersenjata di bawah Komandan Tentara Spoor secara keseluruhan telah bertindak secara tepat selama perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Ekses-ekses insidental terjadi hanya sewaktu-waktu di beberapa unit khusus kecil, seperti dinas-dinas intelijen dan satuan-satuan komando Kapten Westerling.
Menurut Belanda, praktek kekerasan juga harus dipahami dalam konteks muslihat perang yang lepas kendali di pihak Indonesia. Dengan alibi itu, maka perbuatan-perbuatan kekerasan berlebihan seperti pembantaian, penyiksaan, pembakaran, dan penjarahan hanya dipandang sebagai pengecualian semata.
Hal ini tidak terjadi secara sistematis. Melalui siasat untuk menutupi fakta ini dan masyarakat Belanda yang turut diam, konflik itu dalam jangka lama dinilai sebagai perang yang relative “bersih”.
“Penelitian ini semula dilakukan untuk penulisan disertasinya yang diterbitkan pada 2016. Limpach menerangkan bahwa militer Belanda di Indonesia tidak melakukan tindakan kekerasan ekstrem yang incidental, melainkan struktural. Kekerasan ini digunakan oleh koalisi-koalisi yang menjadi satu antara pelaku militer dan sipil dari berbagai jenjang pangkat,” paparnya.
Buku ini merupakan ringkasan dari disertasi tebal yang meneliti tindakan kekerasan ekstrem Belanda yang didasarkan pada empat studi kasus, yakni menurut bentuk-bentuknya, upaya menutup-nutupi, penghukuman, dan motif. Selain itu, juga dibahas tentang bergulirnya perang Belanda-Indonesia, penyebab, dan pertanggungjawaban atas tindak kekerasan massal oleh Belanda.
Sekitar 5.000 prajurit Belanda dan setidaknya 100.000 orang Indonesia telah tewas akibat perang ini. Belanda telah mengerahkan tidak kurang dari 220.000 tentara, yang menjadikan perang ini perang terbesar di seberang lautan dalam sejarah Belanda.
Sedangkan, bagi Indonesia yang melancarkan “perang rakyat semesta” dalam masa konflik, kemenangan yang didapatkan pada 27/12/1949 membawa Indonesia pada kepastian kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17/8/1945.
Remy menuturkan melalui buku ini, pembaca akan mengalami kegoyahan berpikir. Karena sejak perang dunia kedua, di Belanda hanya ada ruang untuk berperan sebagai pihak yang menjadi korban.
Akan tetapi, telah terjadi pembongkaran-pembongkaran melalui media, perkara hukum, pameran, literatur, dan penelitian histografi bahwa kekerasan yang dilakukan Belanda merupakan bagian dari sejarah nasional Belanda yang tersumbat oleh pemikiran bahwa peran pelaku tidak sesuai dengan citra diri orang Belanda. (meg)