Oleh: L. Tri Wijaya, Ph.D
Pada hakikatnya, setiap manusia mendambakan sebuah kebebasan dalam menjalani hidupnya. Kebebasan yang dimaksud tentunya masih dalam konteks atau nilai sebagai makhluk Tuhan YME, yang memiliki norma dan etika dalam menjalankan nilai- nilai kemanusiaannya. Kebebasan dari ketidakmampuan, bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan, dan sebagainya. Nilai Kebebasan tentunya sangat erat akan makna Kemerdekaan, merdeka dalam menentukkan jalan hidup, merdeka dalam menentukkan visi, merdeka dalam belajar hingga merdeka dalam mengekspresikan nilai- nilai kemanusiaan antar sesama tanpa penindasan. Salah satu aspek penting dan mendasar dalam mengendalikan nilai- nilai kemerdekaan tersebut ialah kemerdekaan dalam belajar. Mengekspresikan nilai- nilai akademis tanpa intervensi kepentingan pihak manapun akan mampu memerdekakan manusia dalam proses belajarnya memahami makna kehidupan yang luas.
Jika kita menelisik milestone konsep atau nilai- nilai kemerdekaan (atau kebebasan) akademis, telah dimulai sejak abad pertengahan oleh beberapa perguruan tinggi di Eropa (abad ke-18). Khususnya di jerman, Universitas Gottingen yang telah didirikan pada waktu itu dan menjadi pelopor dalam bidang kebebasan akademik. Tidak hanya itu, Universitas Berlin (1811) pun ikut andil dan mengambil alih peranan pelopor ini hingga saat ini masih dikenal sebagai die Freie Universitat, atau “Universitas Bebas”. Universitas yang didirikan antara lain oleh ahli linguistic dan budayawan Wilhelm von Humboldt ini menjalankan prinsip- prinsip dasar Lehrfreiheit, “kebebasan mengajar” dan Lernfreiheit, “kebebasan belajar”, yang antara lain meliputi bahwa tak seorang pengajar dan mahasiswa pun boleh diwajibkan menganut suatu kepercayaan tertentu atau termasuk aliran pemikiran tertentu. Dalam konteks “Kebebasan Akademik”, Universitas Berlin ini menjadi contoh istimewa untuk banyak universitas lain di Eropa dan Amerika.
Dan hingga saat ini, kita melihat konsep kebebasan akademis atau kemerdekaan dalam belajar yang digaungkan Menteri Pendidikan & Kebudayaan RI, Nadiem Makarim, masih dikaitkan system hingga pola interaksi para pengajar maupun mahasiswa. Keduanya, cenderung tidak boleh diintervensi dengan cara berlebihan oleh Negara ataupun pemerintah setempat. Para pengajar atau peneliti akademisi, berhak mendalami atau meniliti semu topik yang mereka minati, hingga menyajikan hasil penelitian kepada civitas akademik lainnya. Masyarakat secara luas pun dapat mengakses hasil riset tersebut, dan yang tidak kalah penting adalah hasil riset tersebut dipublikasikan tanpa control atau sensor dari kepentingan pihak luar. Para mahasiswa pun mempunyai kebebasan untuk mempelajari topic- topic riset yang mereka minati, membuat kesimpulan sendiri dan berhak mengemukakan pendapatnya disertai data serta parameter yang terukur dan objektif.
Kemerdekaan akademis tentu erat kaitannya dengan hakikat kegiatan ilmiah itu sendiri. Suasana bebas (tanpa tekanan dari pihak manapun) itu merupakan salah satu syarat untuk tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan dan ilmuwan. Dalam beberapa artikel dan rumusan konteks modern, dapat dikatakan bahwa pengembangan ilmu dan teknologi termasuk dalam peran lingkup civil society. Hal tersebut tidak menjadi “urusan” Negara sepenuhnya, namun lebih kepada inisiatif masyarakat yang membutuhkan. Negara “hanya” sekedar fasilitator yang memungkinkan dan mempermudah akses terwujudnya inovasi dari inisiatif masyarakat akademis tersebut.
Kembali pada makna “kemerdekaan akademis”, yang perlu ditelaah lebih jauh adalah system pendidikan saat ini khususnya perguruan tinggi dihadapkan pada istilah “kampus merdeka”. Pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan, apakah dunia akademis khususnya kampus saat ini belum atau tidak merdeka ? dan jika demikian apa makna “kemerdekaan” tersebut. Dalam menelaah makna “kemerdekaan” tersebut perlu dijabarkan Kembali unsur atau aspek mana saja dari bagian dunia akademis tersevut yang belum atau tidak merdeka saat ini.
Sehingga nantinya, kita dapat mengetahui mengapa dan bagaimana terjadi “ketidakmerdekaan” tersebut, apakah karena aspek kultural, structural/regulasi hingga sosio politik didalamnya. Hingga pada saatnya nanti, overview dari role model “kampus merdeka” tersebut dapat terhilirisasi dengan baik tidak hanya warga kampus atau civitas akademik saja, namun lebih luas hingga masyarakat eksternal kampus.
Terlebih lagi dimasa pandemic covid-19 ini, seluruh pimpinan perguruamn tinggi dituntut untuk berpikir keras dan inovatif dalam menjalankan system pendidikan online nya. Berbagai strategi dirilis untuk mendukung program “kampus merdeka” ditengah pandemic ini. Strategi tersebut perlu direncanakan dengan sangat matang dan dinamis, elemen mana saja yang perlu segera bergerak, siapa, darimana dan kapan memulainya harus benar- benar terencana dengan apik.
Kemerdekaan akademis di era new normal, menjadi momentum penting untuk menjabarkan Kembali bahwa Pendidikan (proses belajar mengajar), penelitian (dengan segala inovasinya), dan pengabdian masyarakat yang semuanya terangkum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi bukan merupakan Tri Dharma masing- masing personal/ individu. Semangat kolaborasi saja belum cukup, namun lebih kepada Co-creation antar civitas akademik. Dengan begitu kemerdekaan kampus menjadi kunci akan kebebasan/ kemerdekaan akademik yang bertanggung jawab antar sesama.
Penulis: L. Tri Wijaya, Ph.D, Dosen & Peneliti (Business Intelligence/ Analytics) Jurusan Teknik Industri, FTUB