Kanal24, Malang – Presiden Prabowo Subianto pengumuman kenaikan gaji guru berstatus ASN dan non-ASN mulai 2025. Dalam Puncak Peringatan Hari Guru Nasional di Velodrome Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (28/11/2024), ia menyatakan komitmen pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, janji tersebut menuai beragam respons, termasuk skeptisisme mengenai pelaksanaannya.
Pengabdian guru di Indonesia selama ini kerap tak berbanding lurus dengan penghargaan yang mereka terima. Survei oleh GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada Mei 2024 mengungkapkan, 74% guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan, dengan 20,5% di antaranya di bawah Rp500 ribu. Realita ini mendorong Presiden Prabowo untuk mengambil langkah konkret.
“Kita telah meningkatkan anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan PPPK serta non-ASN. Guru ASN akan mendapat tambahan sebesar 1 kali gaji pokok, sedangkan tunjangan profesi guru non-ASN ditingkatkan menjadi Rp2 juta,” ujar Prabowo.
Anggaran kesejahteraan guru diklaim meningkat menjadi Rp81,6 triliun pada 2025. Selain kenaikan gaji, program Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk 806.486 guru yang memenuhi kualifikasi D4 dan S1 juga akan dilaksanakan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengingatkan agar kebijakan ini tidak disalahartikan. Menurut Sekjen FSGI, Heru Purnomo, anggaran yang tersedia belum cukup untuk mendukung kenaikan signifikan tersebut. Ia menyebutkan bahwa kenaikan Rp16,7 triliun dari anggaran sebelumnya sebesar Rp64,9 triliun masih jauh dari memadai.
“Kenaikan ini akan menimbulkan kebingungan. Guru ASN dengan tunjangan sertifikasi sebenarnya sudah mendapatkan tambahan 1 kali gaji pokok. Jadi, janji Presiden seharusnya difokuskan kepada guru honorer yang penghasilannya jauh dari layak,” kata Heru.
FSGI juga meminta pemerintah menjelaskan sumber dana untuk memenuhi janji ini. Dengan total jumlah guru terdata sebanyak 3,36 juta orang, anggaran yang diajukan masih dianggap tidak realistis untuk memenuhi semua kebutuhan.
Skeptisisme juga muncul dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Menurutnya, kebijakan ini berisiko memperlebar kesenjangan antara guru ASN dan honorer. “Guru ASN yang sudah sejahtera malah ditambah gajinya, sementara guru non-ASN yang rentan justru diabaikan,” tegasnya.
Ubaid menyoroti guru di lingkungan madrasah, di mana 94% masih tergolong non-ASN dan jauh dari sejahtera. Ia mendesak pemerintah memprioritaskan pemberian upah minimum yang layak bagi guru honorer.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, mendukung kebijakan ini sembari mengingatkan pemerintah agar tidak melupakan nasib guru honorer. “Kesejahteraan guru harus merata agar mereka dapat menjalankan tugas mendidik tanpa kekhawatiran finansial,” ujarnya.
Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kebijakan ini sudah terlambat. Ia mengingatkan bahwa dampak fiskal kenaikan gaji guru harus dikelola dengan hati-hati di tengah situasi anggaran negara yang masih ketat.
Langkah Presiden Prabowo Subianto memberi harapan baru bagi para guru di Indonesia. Namun, implementasi janji ini masih menjadi tanda tanya besar. Jika pemerintah tidak memastikan keberlanjutan kebijakan ini, maka kesenjangan kesejahteraan guru berpotensi semakin lebar.
Para guru kini menunggu kepastian, sambil berharap janji ini bukan sekadar angin surga. Sebab, kesejahteraan yang memadai bukan hanya hak mereka, tetapi juga kunci peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.