Kanal24, Malang – Anggapan bahwa bekerja lebih lama otomatis membuat seseorang lebih produktif kini mulai dipatahkan oleh berbagai penelitian. Lembur hingga larut malam, duduk berjam-jam di depan layar, atau bekerja tanpa henti ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja. Sebaliknya, jam kerja yang terlalu panjang justru sering berujung pada penurunan efisiensi, gangguan kesehatan, hingga stagnasi ekonomi.
Jam Kerja Panjang, Produktivitas Stagnan
Laporan OECD Economic Survey 2024 mengungkapkan bahwa meskipun jam kerja masyarakat Indonesia tergolong tinggi, produktivitasnya tetap rendah. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya integrasi dalam rantai nilai global, keterbatasan adopsi digital, serta inefisiensi dalam pengembangan keterampilan pekerja. Fenomena serupa juga terjadi di banyak negara berkembang lain. Data ILO (2022) mencatat, negara dengan jam kerja terpanjang justru sering tertinggal dibanding negara dengan jam kerja lebih singkat.
Baca juga:
Lulusan Disabilitas Masih Sulit Masuk Dunia Kerja
Belajar dari Korea Selatan
Korea Selatan pernah menjadi salah satu negara dengan jam kerja terpanjang di dunia, yakni hingga 68 jam per minggu. Dampaknya, masyarakat menghadapi tingkat stres tinggi, kualitas hidup menurun, dan produktivitas yang tidak sepadan. Melihat situasi tersebut, pemerintah melakukan reformasi dengan menurunkan batas maksimum jam kerja menjadi 52 jam per minggu. Kebijakan ini terbukti membawa dampak positif: produktivitas tetap stabil, kesejahteraan meningkat, dan keseimbangan hidup pekerja membaik.
Ancaman Kesehatan
Jam kerja berlebih bukan hanya menurunkan fokus, tetapi juga memicu penyakit serius. Riset gabungan WHO dan ILO menyebut bekerja lebih dari 55 jam per minggu meningkatkan risiko stroke hingga 35 persen serta penyakit jantung sebesar 17 persen. Data tahun 2016 bahkan mencatat 745 ribu kematian terkait jam kerja panjang di seluruh dunia (WHO, 2021).

Selain fisik, kesehatan mental juga terancam. Psikolog Anders Ericsson menegaskan manusia hanya mampu melakukan deep work efektif sekitar empat jam per hari. Penelitian lain menunjukkan performa otak optimal hanya bertahan enam jam sehari. Selebihnya, konsentrasi menurun drastis sehingga memperbesar risiko kesalahan kerja.
Eksperimen Jam Kerja Singkat
Islandia pernah melakukan uji coba nasional dengan memangkas jam kerja dari 40 menjadi 35–36 jam per minggu tanpa pengurangan gaji. Hasilnya mengejutkan: produktivitas tidak menurun, bahkan meningkat di beberapa sektor. Tingkat stres pekerja menurun drastis dan kepuasan hidup meningkat (World Economic Forum, 2023). Temuan serupa juga terjadi di Jerman dan Prancis, negara yang justru memiliki jam kerja lebih singkat namun produktivitas tinggi.
Menuju Kerja Cerdas
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, solusi untuk meningkatkan produktivitas tidak terletak pada memperpanjang jam kerja, melainkan pada percepatan digitalisasi, peningkatan keterampilan tenaga kerja, dan perancangan sistem kerja yang efisien. OECD (2024) menekankan perlunya investasi pada teknologi, otomasi, serta fleksibilitas kerja.
Baca juga:
101 OJ Hotel Malang, Meriahkan Semarak Rasa Kemerdekaan
Perusahaan juga bisa menerapkan kebijakan mendukung kesejahteraan, seperti mengganti lembur dengan cuti tambahan atau memberi kesempatan kerja jarak jauh untuk mengurangi waktu perjalanan.
Berbagai data dan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa mitos “bekerja lebih lama berarti lebih produktif” tidak relevan lagi. Produktivitas lahir dari kualitas kerja, efisiensi sistem, serta kesejahteraan pekerja. Dengan kerja cerdas, bukan sekadar kerja keras, tujuan ekonomi dan kesehatan masyarakat dapat berjalan beriringan. (han)