Kanal24, Malang – Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Dr. Uli Parulian Sihombing, S.H., M.H., memaparkan situasi serius terkait pelanggaran hak atas ketenagakerjaan di Indonesia dalam rentang waktu tahun 2023 hingga awal 2025. Dalam laporannya, Komnas HAM menemukan lonjakan pengaduan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengindikasikan meningkatnya ketimpangan dalam pasar kerja akibat transformasi digital, otomatisasi, dan krisis global.
“Pada Januari hingga Maret 2025 saja, tercatat sebanyak 8.786 pengaduan terkait PHK yang masuk ke Komnas HAM, sementara secara kumulatif sejak 2023 hingga 2024 tercatat lebih dari 3.000 pengaduan serupa,” ujar Dr. Uli dalam penyampaian laporan pengamatan situasi yang melibatkan berbagai stakeholder, termasuk organisasi buruh dan komite regulasi DPRD pada Kamis (05/06/2025).
Baca juga:
Substansi UU TNI Berpotensi Ciptakan Dualisme Loyalitas di Lembaga Sipil
Laporan ini disusun menggunakan metode deskriptif kualitatif melalui pengolahan data primer dari pengaduan masyarakat dan organisasi pekerja, serta diskusi bersama para akademisi dan pakar ketenagakerjaan. Analisis dilakukan dengan pendekatan norma hak asasi manusia (HAM) yang berkaitan erat dengan hak atas pekerjaan.
Transformasi Ekonomi dan Lonjakan Pengaduan
Komnas HAM mencatat bahwa transformasi teknologi dan digitalisasi, seperti adopsi kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi, telah mengubah struktur pasar kerja secara signifikan. Perubahan ini menyebabkan banyak perusahaan melakukan efisiensi secara drastis melalui pemangkasan pegawai.
Globalisasi, krisis ekonomi internasional, serta upaya restrukturisasi bisnis dinilai menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya PHK besar-besaran. Dalam banyak kasus, pemutusan hubungan kerja dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip dasar keadilan dan perlindungan hak pekerja.
Enam Wilayah Jadi Sorotan
Selain kantor pusat di Jakarta, Komnas HAM juga mencatat lonjakan aduan dari enam kantor perwakilan, yakni di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua. Mayoritas pengaduan yang masuk berasal dari sektor industri manufaktur, logistik, serta sektor digital dan jasa yang terkena dampak langsung dari efisiensi berbasis teknologi.
10 Tipologi Pelanggaran HAM dalam Kasus PHK
Dalam analisis mendalamnya, Komnas HAM mengidentifikasi sepuluh tipologi pelanggaran hak asasi manusia yang paling sering terjadi dalam kasus PHK:
- PHK tanpa Surat Peringatan (SP):
Banyak perusahaan langsung memberhentikan pekerja tanpa prosedur peringatan tertulis sebagaimana diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021, Pasal 36 huruf K. - PHK dengan Upah di Bawah Minimum:
Pekerja yang di-PHK sering kali menerima kompensasi jauh di bawah standar upah minimum yang berlaku. - PHK Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis:
Banyak pekerja yang tidak memiliki kontrak kerja tertulis sehingga tidak memiliki dasar hukum kuat untuk menuntut haknya. - PHK Tanpa Kompensasi atau Hak Lainnya:
Pelanggaran berupa tidak diberikannya pesangon, uang penghargaan masa kerja, atau hak lainnya yang seharusnya diterima pekerja. - PHK terhadap Kelompok Rentan:
PHK sering kali menimpa kelompok rentan seperti pekerja perempuan, buruh paruh waktu, dan pekerja disabilitas. - Pengalihan Pekerja ke Entitas Lain:
Perusahaan memindahkan pekerja ke anak perusahaan atau pihak ketiga tanpa persetujuan atau perjanjian baru. - Mutasi atau Demosi Sebelum PHK:
Pekerja dimutasi ke tempat atau jabatan yang tidak sesuai sebagai bentuk tekanan sebelum akhirnya di-PHK. - Kurangnya Informasi dan Sosialisasi:
PHK dilakukan secara mendadak tanpa pemberitahuan atau sosialisasi yang cukup kepada pekerja. - PHK dengan Alasan Efisiensi yang Tidak Jelas:
Banyak PHK dilakukan atas nama efisiensi tanpa audit kondisi finansial perusahaan atau evaluasi independen. - Tidak Ada Ruang Pembelaan Diri:
Pekerja tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan atau membela diri sebelum keputusan PHK ditetapkan.
Kritik terhadap Praktik Perusahaan
Komnas HAM menyoroti bahwa banyak perusahaan menyalahgunakan pasal-pasal dalam regulasi ketenagakerjaan untuk melakukan PHK sepihak. Misalnya, Pasal 52 ayat 2 PP No. 35 Tahun 2021 digunakan untuk menyebut pelanggaran “mendesak”, padahal penjelasan dan pembuktian pelanggaran tersebut tidak pernah diberikan kepada pekerja. Akibatnya, banyak pekerja tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Baca juga:
Substansi UU TNI Berpotensi Ciptakan Dualisme Loyalitas di Lembaga Sipil
Rekomendasi Komnas HAM
Sebagai bentuk langkah korektif, Komnas HAM mendorong:
- Penguatan sistem pengawasan ketenagakerjaan oleh pemerintah pusat dan daerah.
- Revisi regulasi ketenagakerjaan agar lebih berorientasi pada perlindungan pekerja dalam era digital.
- Edukasi dan literasi hukum bagi pekerja terkait hak-hak ketenagakerjaan mereka.
- Pelibatan aktif serikat buruh dalam proses pengambilan keputusan perusahaan.
Komnas HAM menegaskan bahwa hak atas pekerjaan adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Oleh karena itu, negara wajib hadir untuk memastikan tidak terjadi eksploitasi dan pemutusan hubungan kerja yang semena-mena di tengah perubahan ekonomi global yang kian cepat. (nid)