Oleh : James Hansen Abednego*
Di era ketika media digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, interaksi di platform digital semakin masif. Media sosial kini tidak hanya menjadi tempat berbagi cerita atau hiburan, tetapi juga ruang untuk berdiskusi, menyuarakan pendapat, dan membangun komunitas. Namun, seiring tingginya aktivitas ini, muncul tantangan baru: bagaimana memastikan semua orang, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, dapat mengakses dan menikmati pengalaman digital secara setara? Di sinilah pentingnya komunikasi inklusif di media digital.
Komunikasi inklusif memastikan bahwa tidak ada individu yang merasa terpinggirkan dalam ruang digital. Prinsip ini menjadi semakin krusial ketika media sosial berkembang menjadi salah satu sarana utama untuk menyebarkan informasi dan membangun koneksi. Dengan jutaan pengguna aktif setiap harinya, langkah-langkah menuju inklusivitas tidak hanya memperluas jangkauan audiens tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih adil dan setara.
Apa Itu Komunikasi Inklusif?
Komunikasi inklusif adalah pendekatan komunikasi yang memastikan semua orang dapat memahami, mengakses, dan terlibat tanpa hambatan. Ini bukan hanya tentang menambahkan fitur aksesibilitas, tetapi juga tentang menghormati keberagaman dan memberikan ruang untuk semua suara.
Dalam konteks media sosial, komunikasi inklusif mencakup:
- Menyediakan subtitle atau teks untuk video agar teman Tuli dapat mengikuti.
- Menambahkan deskripsi gambar (alt-text) untuk membantu teman Netra memahami konten visual.
- Menggunakan bahasa yang netral dan tidak diskriminatif.
Menurut data dari World Health Organization (WHO), lebih dari satu miliar orang di dunia adalah penyandang disabilitas. Jumlah ini menunjukkan betapa pentingnya menciptakan platform digital yang dapat diakses oleh semua orang tanpa terkecuali.
Tantangan yang Dihadapi Penyandang Disabilitas
Bagi teman disabilitas, media sosial sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, platform ini menawarkan ruang untuk mengekspresikan diri dan menemukan komunitas yang mendukung. Namun, di sisi lain, banyak halangan yang membuat pengalaman mereka tidak optimal. Beberapa kendala yang sering dihadapi meliputi:
- Kurangnya Fitur Aksesibilitas: Banyak video di media sosial yang tidak menyediakan subtitle, sehingga teman Tuli tidak dapat memahami isi konten tersebut. Begitu pula dengan gambar atau infografis yang tidak dilengkapi alt-text.
- Diskriminasi atau Komentar Negatif: Diskriminasi dalam bentuk komentar yang meremehkan atau stereotip terhadap penyandang disabilitas masih sering ditemukan. Istilah seperti “ableism” merujuk pada perilaku yang merendahkan orang dengan kebutuhan khusus.
- Minimnya Representasi yang Autentik: Sering kali, konten tentang disabilitas dibuat oleh mereka yang bukan penyandang disabilitas, sehingga pesan yang disampaikan tidak mewakili pengalaman sebenarnya.
Banyak kampanye yang mengklaim mendukung inklusi, tetapi sering kali hanya menjadikan komunitas disabilitas sebagai simbol tanpa melibatkan mereka secara langsung. Padahal, bagi komunitas ini, keterlibatan aktif bukan hanya keinginan tetapi kebutuhan mendasar untuk memastikan bahwa suara mereka benar-benar didengar. Dengan melibatkan mereka dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan, pesan yang disampaikan tidak hanya menjadi lebih autentik, tetapi juga mencerminkan penghormatan terhadap martabat dan hak mereka sebagai individu yang setara dalam masyarakat.
Menuju Media Sosial yang Inklusif
Menciptakan media sosial yang inklusif membutuhkan kolaborasi antara penyedia platform, kreator konten, dan pengguna. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil:
- Menyediakan Subtitle dan Alt-Text:
Konten video harus selalu disertai subtitle, sementara gambar dan infografis perlu diberikan deskripsi yang jelas. Menurut standar WCAG (Web Content Accessibility Guidelines), langkah ini adalah dasar dari aksesibilitas digital. - Menggunakan Bahasa yang Sensitif:
Hindari istilah yang merendahkan seperti “cacat” dan gunakan istilah yang lebih menghormati, seperti “penyandang disabilitas” atau “teman Tuli”. - Libatkan Penyandang Disabilitas:
Prinsip “Nothing About Us Without Us” menekankan pentingnya melibatkan komunitas disabilitas dalam pembuatan konten atau kebijakan. - Desain Universal:
Pastikan platform dirancang untuk memudahkan semua pengguna, termasuk fitur navigasi yang sederhana dan fleksibel.
Dampak Positif Komunikasi Inklusif
Komunikasi inklusif memberikan manfaat yang jauh melampaui penyandang disabilitas. Dengan akses yang lebih baik, ruang digital menjadi lebih terbuka untuk partisipasi semua pihak. Banyak orang yang sebelumnya merasa terpinggirkan kini dapat berkontribusi aktif dalam diskusi dan kegiatan di media sosial. Hal ini tidak hanya memperluas cakupan audiens, tetapi juga meningkatkan keterlibatan komunitas secara keseluruhan.
Selain itu, platform atau kreator yang menerapkan komunikasi inklusif akan lebih dihargai sebagai entitas yang etis dan bertanggung jawab sosial. Dengan menunjukkan komitmen terhadap inklusivitas, citra organisasi menjadi lebih positif di mata publik. Lebih dari sekadar strategi bisnis, pendekatan ini mencerminkan penghormatan terhadap keberagaman.
Yang tidak kalah penting, komunikasi inklusif juga memperkaya konten digital. Representasi yang autentik dan beragam menciptakan narasi yang lebih kaya dan bermakna. Ini membuka peluang untuk menghadirkan perspektif baru yang sebelumnya mungkin terabaikan, sehingga media sosial menjadi tempat yang lebih hidup dan relevan bagi semua kalangan.
Inklusi Adalah Kunci Masa Depan Digital
Komunikasi inklusif bukan hanya tentang menambahkan fitur aksesibilitas; ini adalah tentang menciptakan ruang digital yang mencerminkan nilai kesetaraan dan keberagaman. Seperti kata Maria, “Kami tidak butuh belas kasihan, kami butuh kesempatan.” Dengan langkah-langkah kecil seperti menambahkan subtitle atau menggunakan bahasa yang sensitif, kita dapat membuka pintu lebih lebar bagi semua orang untuk berpartisipasi.
Inklusi adalah hak, bukan bonus. Saatnya kita semua menjadi bagian dari perubahan ini.
*) James Hansen Abednego, Mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 6 di Fakultas FISIP Universitas Brawijaya, Difabel Tuli.