oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Sejarah perang telah berusia sangat lama semasa dengan perjalanan kehidupan manusia. Bahkan dalam tulisan-tulisan sejarah, peristiwa perang akan selalu mewarnai lembar-lembar sejarah kehidupan manusia. Tidak ada satupun dari manusia yang berbahagia atas kejadian perang. Namun setiap kita pasti sepakat bahwa perang adalah sebuah bencana kemanusiaan.
Perang adalah sebuah tahapan dari realitas konflik yang terjadi dalam interaksi antar manusia atau bangsa. Perang bukanlah akhir dari tahapan konflik melainkan Konflik yang tidak terkendali akan berubah menjadi krisis. Selanjutnya manakala krisis tidak bisa kelola dan bergerak diluar kendali organisasi maka akan menjadi sesuatu yang sangat membahayakan bagi organisasi. Konflik yang tidak dapat diselesaikan pada perusahaan maka berkemungkinan perusahaan akan kolaps, bangkrut. Sementara jika krisis terjadi pada negara dapat berupa perang atau hancurnya suatu bangsa. Sering kali perang dijadikan solusi untuk menyelesaikan masalah.
Komunikasi saat perang sangat complicated, rumit bahkan bisa berkembang berita yang simpang siur atas kebenaran suatu informasi. Produksi berita hoax saat terjadi perang akan semakin menyeruak. Hoax adalah berita tidak benar atau penuh fitnah untuk mengacaukan perhatian publik dengan maksud melemahkan kekuatan lawan. Realitas hal demikian sebenarnya telah diindikasikan dalam beberapa Firman Allah swt, antara lain :
وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۚ
Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. (QS. Al-Baqarah, Ayat 191)
Tidak ada satupun manusia yang berharap terjadi bencana atas diri dan bangsanya termasuk dalam hal ini adalah peperangan. Islam pada awalnya (saat berada di Makkah awal penyebaran dakwah) melarang perang bahkan menekankan untuk hidup damai serta membalas keburukan dengan kebaikan, kasih sayang dan memaafkan. Namun jika hal itu “harus terjadi” karena sesuatu hal sebagai suatu solusi atas masalah (konflik) — ibarat seorang dokter yang terpaksa harus melakukan tindakan operasi, tentu setelah melalui pertimbangan dan pemikiran yang mendalam– maka Islam menetapkan beberapa syarat diperbolehkannya berperang. Alasannya antara lain : Pertama, bersifat reaktif, yaitu suatu bangsa tidaklah boleh mengawali peperangan (ofensif) melainkan untuk mempertahankan diri (bersifat difensif) . Hal ini diindikasikan dari teks surat al baqarah ayat190 dan al hajj ayat 39, yang berbunyi :
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصۡرِهِمۡ لَقَدِيرٌ
Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesung-guhnya mereka dizhalimi. Dan sung-guh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu, (QS. Al-Hajj, Ayat 39)
Teks sumber wahyu ini menggunakan struktur kalimat yang bersifat pasif, sebagai objek perintah. Yaitu hanya menjalankan perintah dari si pemberi perintah, dalam hal ini Allah swt. Serta menggunakan diksi “udzina” diizinkan. Artinya sebelumnya perang itu dilarang namun kemudian diperkenankan atau diberi izin melakukannya, dengan satu alasan kuat yaitu sebab didhalimi, dianiaya terlebih dahulu. Sehingga mengumandangkan perang itu bukanlah mengambil inisiatif melainkan bersikap reaktif manakala ada tindakan pendhaliman terlebih dahulu dari pihak atau bangsa lain, seperti penyiksaan, penyerangan atau rencana penyerangan dan pengkhianatan dari pihak musuh.
Kedua, Sebab didhalimi dan diusir dari tanah kelahirannya atau dengan alasan bahwa negerinya dijajah oleh bangsa lain yang kemudian bangsa lain tersebut berkuasa atas daerahnya hingga mengusir dengan mengambil kemerdekaan masyarakatnya. Hal ini secara tersurat dijelaskan dalam teks Firman Allah diatas.
Ketiga, Adanya fitnah atas agama. Artinya peperangan bisa terjadi sebab adanya pemicu awal yaitu fitnah terhadap agama yaitu ummat tidak bebas menjalankan agamanya bahkan berada dalam keadaan tersiksa yang amat sangat (terjajah). Sebagaimana Firman Allah swt :
وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِۖ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَلَا عُدۡوَٰنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ
Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zhalim. (QS. Al-Baqarah, Ayat 193)
Terkait dengan ayat tersebut diatas, pernah diikatakan oleh Ibnu umar saat ditanya oleh seseorang atas ayat tersebut : “Kita sudah selesai melakukan itu di masa Nabi Saw. Ketika Islam waktu itu masih sedikit umatnya, dan seseorang yang beragama Islam menjadi terfitnah/tersiksa menjalani agamanya, dimana orang-orang (musyrik) waktu itu kalau tidak membunuh, atau mengendalikannya. Sampai kemudian Islam membesar dan tidak ada lagi fitnah.”
Keempat, adanya pembangkangan atau pemberontakan atas pemerintah yang sah, artinya manakala suatu kelompok melakukan pengkhianatan atas kesepakatan perjanjian damai. Sebagaimana sabda nabi :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُسْنَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو رَوْحٍ الْحَرَمِيُّ بْنُ عُمَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Musnadi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al Harami bin Umarah berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Waqid bin Muhammad berkata; aku mendengar bapakku menceritakan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah” (HR.Bukhari no. 24)
Makna hadist tersebut bahwa peperangan itu dilakukan secara terbatas yaitu kepada orang-orang non muslim yang memerangi (harbi), mendhalimi dan mengkhianati Islam. Peperangan tidak boleh dilakukan terhadap mereka yang telah bersyahadat, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, tunduk hukum dan pada pemerintahan yang sah. Kepada mereka harus dilindungi harta dan jiwanya.
Islam meletakkan beberapa prinsip penanganan dalam konflik perang dan memberikan arahan tentang bagaimana komunikasi perang itu harus dikelola. Islam memang tidak secara spesifik menjelaskan tentang komunikasi perang namun memberikan beberapa informasi melalui indikasi dalam teks sumber wahyu tentang batasan praktek komunikasi perang yaitu sebagaimana dalam surat albaqarah ayat 190 dengan pernyataan Allah ولا تعتدوا (jangan berlebihan). Sebagaimana teks Firman Allah swt :
وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Baqarah, Ayat 190)
Untuk memberikan batas agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam perang, maka hal ini dijelaskan dengan lebih rinci oleh Rasulullah dalam sabdanya :
حَدَّثَنَا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي حَبِيبَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ جُيُوشَهُ قَالَ اخْرُجُوا بِسْمِ اللَّهِ تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ لَا تَغْدِرُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تُمَثِّلُوا وَلَا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ وَلَا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Qasim bin Abu Az Zinad berkata; telah mengabarkan kepadaku Ibnu Abu Habibah dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengutus pasukannya beliau bersabda: “Berangkatlah kalian dengan menyebut nama Allah, kalian berperang fi sabilillah melawan orang-orang yang yang kafir kepada Allah, janganlah kalian mengkhianati perjanjian, janganlah kalian curang (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan), janganlah kalian merusak jasad, janganlah kalian membunuh anak-anak dan orang-orang yang mendiami tempat-tempat ibadah.” Hr Ahmad 2592
Bahkan secara gamblang Rasulullah menjelaskan tentang prinsip-prinsip penting dalam komunikasi perang yang beradab dalam sabdanya yang dijelaskan dalam sebuah riwayat tentang perilaku Nabi Muhammad saw. Sebagaimana telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdi dari Sufyan dari Alqamah Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya ia berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim seorang pemimpin untuk suatu pasukan beliau memberi nasihat untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan memberi nasihat kebaikan kepada kaum muslimin. Beliau bersabda: “Berperanglah dengan nama Allah dan di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, jangan mencuri harta ghanimah, jangan menipu, jangan mencincang dan jangan membunuh anak kecil. Jika engkau bertemu dengan orang-orang musyrik musuhmu, maka serulah kepada tiga hal. Mana saja dari ketiga hal itu mereka lakukan maka terimalah dan jangan kalian perangi; serulah mereka untuk masuk Islam; pindah dari negeri mereka menuju negeri orang-orang yang hijrah (kaum muslimin); dan kabarkanlah kepada mereka, jika mereka mau melakukannya (hijrah) maka mereka akan mendapatkan apa yang akan didapatkan oleh orang-orang yang telah berhijrah, dan mereka akan dibebani kewajiban sebagaimana yang didapat oleh orang-orang yang telah hijrah. Tetapi jika mereka menolak untuk hijrah, maka setatus mereka seperti orang-orang Arab dusun, dan akan diberlakukan kepada mereka hukum yang diberlakukan kepada orang-orang Arab dusun. Mereka tidak mendapatkan ghanimah ataupun fai` kecuali jika mereka ikut berjihad, jika menolak maka mereka serta mintalah pertolongan kepada Allah atas mereka dan perangilah. dan Jika engkau mengepung suatu benteng, lalu mereka menginginkan agar engkau memberikan jaminan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, maka jangan engkau lakukan. Tetapi berikanlah jaminanmu dan jaminan sahabatmu kepada mereka, sebab jika kalian membatalkan jaminan kalian atau jaminan sahabat kalian, maka itu lebih baik dari pada membatalkan jaminan Allah dan rasul-Nya. Jika engkau mengepung suatu benteng, lalu mereka menginginkan agar engkau menghukumi mereka dengan hukum Allah, maka jangan kamu lakukan. Tetapi hukumilah mereka dengan hukummu. Sebab engkau tidak tahu apakah engkau bisa menguhukumi mereka sesuai dengan hukum Allah atau tidak.” Kurang lebih seperti ini (sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam). Abu Isa berkata, “Dalam bab ini juga ada hadits dari An Nu’man bin Muqarrin. dan Hadits Buraidah derajatnya hasan shahih. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad dari Sufyan dari Alqamah bin Martsad seperti hadits tersebut dengan maknanya. namun ia menambahkan dalam hadits tersebut, ‘Jika mereka menolak maka ambillah jizyah dari mereka, dan jika mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah atas mereka (perangilah) ‘.” Abu Isa berkata, “Seperti inilah Waki’ dan selainnya meriwayatkan hadits tersebut dari Sufyan. Dan selain Muhammad bin Basysyar juga meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Mahdi, dan dalam hadits tersebut ia menyebutkan tentang jizyah.” (HR. Tirmidzi . No. 1542)
Berdasarkan teks hadist diatas, Islam menetapkan beberapa prinsip dalam komunikasi perang, antara lain:
Pertama, prinsip moralitas, yaitu harus tetap mendahulukan adab dalam situasi apapun. Moralitas perang tetaplah harus dijaga bahwa perang dalam Islam bukanlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan. Perang tidaklah bermakna membunuh. Sebab kata اقاتل (memerangi) berbeda dengan kata اقتل (membunuh). Memerangi berarti melakukan suatu tindakan strategi agar musuh bersedia tunduk. Untuk itu adab berperang haruslah tetap dijaga. Seperti harus melindungi kelompok lemah (orang-orang yang sudah tua renta) tidak boleh menjadi korban. Mereka harus dilindungi dan diselamatkan terlebih dahulu. Sehingga tidak boleh menghancurkan pemukiman warga. Termasuk dari adab perang adalah harus menjaga kehormatan wanita. Tidak boleh melakukan genosida baik melalui pemerkosaan atau juga membunuh anak-anak, hal demikian merupakan bentuk kejahatan perang dan tindakan biadab.
Kedua, laa ta’taddu (لا تعتدوا ), prinsip moderasi, yaitu bersikap fair dan sesuai aturan perang. Komunikasi perang memegang prinsip tidak bertindak melampaui batas (ekstrem) atau tidak bersikap yang berlebihan. Karena berperang bukan membunuh maka tentu tidak boleh melakukan tindakan yang melewati batas nilai-nilai kemanusiaan.
Ketiga, Laa taghdiru (لا تغدروا), tidak boleh mengkhianati perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat atau disepakati sebelumnya antar kedua belah pihak, misal kesepakatan pengkhianatan atas kesepakatan gencatan senjata atau kesepakatan lainnya.
Keempat, Laa taghulluw (لا تغلوا), jangan berlaku curang, yaitu keluar dari kesepakatan bersama dalam aturan perang di dunia internasional, baik dalam penggunaan senjata hingga pembagian harta rampasan perang.
Kelima, Laa tumatstsilu (لا تمثلوا). Tidak boleh melakukan mutilasi. Islam memberikan batasan bahwa perang harus tetap menghormati prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia sehingga harus menjauhkan dari tindakan kekejaman yang melampaui batas kemanusiaan, melanggar HAM dsb.
Keenam, Prinsip penyelamatan lingkungan, sekalipun perang maka harus tetap peduli pada pelestarian alam yaitu jangan merusak lingkungan hidup seperti menebang pohon, meracuni sungai dan sebagainya. Hal ini merupakan tindakan kejahatan yang tidak beradab.
Ketujuh, prinsip menjaga tetap berlangsungnya kehidupan spiritualitas warga. Sekalipun perang Islam menekankan pentingnya menghormati perbedaan untuk menjamin kehidupan spiritualitas tetap berlangsung sehingga tidak boleh membunuh para pendeta atau mereka yang mendiami tempat ibadah yang tidak bersikap konfrontatif dan memusuhi (memerangi), mereka harus dijaga.
Terakhir, Prinsip al ‘afwu (pemaafan, apologia). Jika musuh telah menyatakan tunduk atau bersedia membayar ganti rugi berupa jizyah (pajak perkapita tahunan) yang dibayarkan sebagai bentuk ketundukan dan keterikatan atas perjanjian dengan pemerintah yang sah.
Demikian beberapa prinsip adab dalam komunikasi perang dalam perspektif Islam yang begitu sempurna dan agung yang menegaskan bahwa Islam sangat menekankan pada terwujudnya adab dalam seluruh aspek interaksi kehidupan manusia. Semua hal itu mengindikasikan bahwa Islam lebih suka kehidupan damai daripada perang, karena Islam berarti damai.
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar