oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Politik dalam perspektif profetik adalah dalam rangka untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran ilahiyah serta agar aturan Tuhan dapat dipastikan untuk diterapkan dalam kehidupan agar ummat manusia benar-benar menjalankan aturan itu demi kemashlahatan mereka di dunia dan akhirat. Hal ini sebagai wujud dari maksud penciptaan manusia yaitu sebagai khalifah di muka bumi. Khalifah berarti pengelola atau seseorang yang mampu memimpin ummat manusia dalam mengelola kehidupan agar tunduk patuh kepada aturan Allah dan menjalankan seluruh perintahnya serta menjauhi segala laranganNya.
Jadi, standar penilaian dalam politik profetik adalah tegaknya nilai kebenaran sebagai fakus utama, bukan sekedar semata memperjuangkan kekuasaan yang didasarkan atas kepentingan hawa nafsu. Maka komunikasi politik dalam perspektif profetik adalah bagaimana mempengaruhi manusia agar bersedia tunduk patuh pada aturan Allah dan kekuasaan diupayakan dalam rangka untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Sebagaimana di sebutkan dalam teks Firman Allah
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah…” (Al Baqarah: 193).
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّ مُحَمَّدا رَسُولُ اللّهِ. وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ. فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا. وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللّهِ“.
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan mereka menunaikan zakat, kemudian bila mereka telah melakukan hal itu maka mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka itu atas Allah ‘Azza wa Jalla.” (Muttafaq ‘Alaih, hadits mutawatir).
Komunikasi politik perspektif profetik lebih mengedepankan pada keberpihakannya atas kebenaran yaitu kebenaran absolut yang bersumber dari Tuhan Pencipta Kehidupan. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu:
ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ
Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu. (QS. Al-Baqarah, Ayat 147)
Kebenaran yang datangnya dari Tuhan itu pasti tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, itulah kebenaran absolut yang harus diperjuangkan dalam politik. Politik sejatinya adalah upaya untuk mengatur dan mengelola kehidupan (khalifah fil ard) agar manusia bersedia tunduk pada kebenaran absolut Tuhan. Sehingga keberpihakan dalam pandangan profetik itu sangat jelas yaitu kebenaran hakiki (absolut) sekalipun yang mendukung atau menyuarakan kebenaran Ketuhanan ini memiliki sedikit pendukungnya bahkan cenderung di demologisasi oleh konspirasi kekuatan besar yang ingin menghegemoni dunia.
Cara pandang politik profetik sangatlah jelas yaitu keberpihakan pada kebenaran yang ditetapkan oleh Tuhan. Hal ini menegaskan bahwa nilai kebenaran bukanlah ditentukan oleh jumlah banyaknya pendukung melainkan harus berdasarkan pada substansi kebenaran itu sendiri yang harus benar-benar benar !. Sehingga menentukan sebuah kebenaran dengan mendasarkan pada suara mayoritas sebagaimana dipahami oleh konsepsi demokrasi barat maka hal tersebut ditolak secara tegas dalam pandangan profetik. Sebagaimana ditegaskan dalam teks sumber wahyu bahwa mayoritas bukanlah merupakan kriteria penentu kebenaran.
وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ
Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan. (QS. Al-An’am, Ayat 116)
Hal ini berbeda dengan pandangan barat bahkan kebenaran itu ditentukan oleh seberapa banyak pendukung kebenaran. Bahkan kebenaran dipahami sebagai sebuah kesepakatan mayoritas masyatakat, artinya jika masyarakat kebanyakan (mayoritas) bersepakat atas sesuatu maka hal itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Inilah kebenaran mayoritas. Tentu hal ini berbeda dengan kebenaran substansial dan kebenaran absolut. Kebenaran mayoritas dapat menjadikan sesuatu yang salah atau keliru menjadi sesuatu yang “anggap” benar manakala mayoritas bersepakat untuk mendukung kekeliruan itu, sehingga kesalahan yang disepakati bersama secara mayoritas akan berubah menjadi kebenaran.
Standar utama dalam menilai kebenaran dalam konsepsi demokrasi barat adalah terletak pada kuantitas pendukung dan kebenaran diserahkan sepenuhnya pada kehendak manusia. Sehingga manakala manusia berkehendak secara bersama-sama (mayoritas) maka jadilah sesuatu itu sebagai sebuah kebenaran sekalipun harus bertentangan dengan kebenaran substantif dan absolut. Hal ini disebabkan kalangan barat beranggapan bahwa realitas adalah sesuatu yang final. Sementara yang disebut realitas adalah apa yang ada dalam pikiran dan tindakan masyarakat secara nyata tanpa sebuah nilai absolut yang membingkainya, sehingga kebenaran harus tunduk pada realitas.
Sementara pandangan profetik lebih menyakini bahwa kebenaran itu tidak terletak pada realitas manusia melainkan realitas itu harus tunduk pada kebenaran. Artinya standar utamanya adalah kebenaran itu sendiri yaitu suatu kebenaran yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya dan hal ini hanya mungkin terjadi jika kebenaran bersumber dari Dzat yang maha adil, maha objektif dan tidak berada dalam kepentingan manusiawi yang subjektif.
Sehingga kebenaran tidaklah boleh ditentukan oleh jumlah mayoritas. Tidak ada hubungan apapun antara kebenaran dengan jumlah banyaknya pendukung. Sehingga kebenaran itu haruslah diperjuangkan sekalipun hanya ada memiliki seorang pendukung atau tidak asa sama sekali, maka kebenaran haruslah terus disuarakan, dikumandangkan dab dikomunikasikan.
Bahkan dalam beberapa kasus, jumlah mayoritas tidak menentukan atas suatu kualitas sesuatu. Hal ini terjadi pada keadaan realitas ummat islam yang berjumlah mayoritas di Indonesia, namun ternyata minim kualitas, mayoritas yang tidak berdaya (Unusefull majority atau powerless majority) sehingga menjadi bahan eksploitasi dalam berbagai realitas, baik dalam realitas politik, ekonomi maupun budaya populer lainnya oleh kelompok minoritas yang berkuasa. Hal demikian disampaikan oleh Nabi Muhammad saat menjelaskan keadaan ummatnya di akhir zaman:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ السَّلَامِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ibrahim bin Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Bakr berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Abdus Salam dari Tsauban ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?” beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn.” Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Al wahn?” beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (Abu Daud no. 3745, Ahmad. no. 13273).
Artinya jumlah mayoritas bukanlah sebuah ukuran kebenaran atau kekuatan atas benarnya sebuah kebenaran. Sebab kebenaran sejatinya telah pasti (qath’i, absolut) yaitu datang dari sisi Tuhan Semesta Raya. Sehingga manakala kebenaran diserahkan pada manusia lalu di voting untuk diminta persetujuan atau permufakatannya maka tentu substansi kebenaran akan hilang karena telah bercampur dengan nilai subjektifitas manusia yang cenderung memiliki kepentingan (personal atau kelompok) sehingga kebenaran yang dihasilkan menjadi tidak lagi objektif dan dapat berlaku untuk semua orang.
Untuk itu kebenaran hanyalah milik Allah swt, tugas manusia adalah hanya taat menjalankan perintah kebenaran itu agar hidupnya selalu berada dalam bimbingan Allah swt. Sehingga ada atau tidak adanya pendukung atas kebenaran maka kebenaran Tuhan akan tetap eksis. Dalam pandangan ini maka setiap keputusan yang diambil manusia haruslah merujuk pada kebenaran ilahiyah ini dan bukan atas dasar pilihan kesepakatan mayoritas (seperti dalam sistem demokrasi barat yang menggunakan sistem voting). Sistem Voting dalam pengambilan keputusan sejatinya adalah menghilangkan suara dari kelompok masyarakat lainnya yang kalah, maka hal ini tentu sebenarnya menyalahi dari kodrat keterwakilan dan hak asasi manusia. Sementara pandangan profetik islam lebih mengutamakan pada sistem keterwakilan melalui pengambilan putusan lewat mekanisme musyawarah. Hal ini dianggap lebih sesuai dengan fitrah manusia yang ingin dirinya di dengar suaranya serta tidak menghilangkan suara lainnya bahkan setiap suara atau pendapat dan pandangan tetap dihargai.
Karena itu sistem musyawarah untuk membuat sebuah kemufakatan bersama adalah sangat dianjurkan dalam pandangan profetik, yang dihadiri oleh ahli syuro yaitu mereka yang memang ahli dan kompeten di bidangnya untuk mewakili suatu kelompok masyarakat untuk memutuskan sesuatu berdasarkan nilai kebenaran. Sistem musyawarah ini ditegaskan oleh Allah swt dalam teks sumber wahyu :
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya” (QS.Ali-Imran : 159)
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” (QS.Asy-Syuura : 38)
Kekuatan dalam musyawarah adalah argumentasi rasional dari berbagai pihak atas suatu persoalan dengan mendasarkan pada dalil yang paling kuat diantara beberapa dalil yang diajukan untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan guna menemukan solusi yang diharapkan. Sehingga sistem musyawarah sejatinya adalah cara cerdas menyelesaikan masalah sekaligus cara mencerdaskan manusia dalam menghadapi masalah. Hal ini tentu berbeda dengan sistem voting, pada sistem ini tidak perlu mengandalkan kecerdasan bahkan cenderung memberangus kecerdasan sebab menempatkan antara si pandai dan si bodoh dalam posisi yang sama, sementara pada keduanya tidaklah sama dalam kapasitas memutuskan suatu persoalan. Serta pada sistem voting memberikan ruang leluasa bagi munculnya praktek-praktek buruk dalam mengambil keputusan, seperti money politics, pengerahan massa ataupun janji-janji palsu sehingga melahirkan banyak pengkhianatan dan kebohongan.
Komunikasi politik dalam perspektif profetik memberikan ruang bagi umat manusia untuk lebih mengutamakan ilmu dan pengetahuan dari pada semata kekuatan fisik dan emosional serta menyadarkan bahwa kebenaran haruslah diperjuangkan dengan cara cerdas (otak dan hati) bukan dengan menggunakan kekuatan materi (otot dan nafsu). Jumlah mayoritas bukanlah tanda kebenaran yang hakiki, namun kebenaran adalah datangnya dari Allah swt semata.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB