Kanal24, Malang – Isu hak asasi manusia (HAM) masih menjadi sorotan penting dalam dinamika sosial-politik, baik di tingkat nasional maupun global. Praktik represif terhadap kritik, penyempitan ruang publik (civic space), hingga lambatnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di berbagai negara, menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan hak asasi manusia masih jauh dari selesai. Situasi ini mendorong dunia akademik untuk ambil bagian, dengan melibatkan generasi muda sebagai agen perubahan.
Berangkat dari kesadaran tersebut, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) menggelar “1st International Student Conference on Human Rights 2025” pada Selasa (09/09/2025), bertempat di Auditorium Building C lantai 10, Universitas Brawijaya, Malang. Konferensi internasional ini menjadi wadah bagi mahasiswa dari berbagai negara untuk bertukar pikiran, mempresentasikan riset, serta memperjuangkan gagasan kritis mengenai masa depan demokrasi dan perlindungan HAM.
Baca juga:
Rektor UB Lantik Wakil Dekan Baru, Perkuat Sinergi Fakultas

Dekan FH UB Tekankan Peran Generasi Muda
Dekan Fakultas Hukum UB, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., menegaskan pentingnya mengarahkan mahasiswa agar berperan aktif dalam memperjuangkan HAM. Menurutnya, generasi muda saat ini telah membuktikan diri sebagai motor gerakan kritis, termasuk dalam aksi-aksi demokrasi di Indonesia.
“Fenomena akhir-akhir ini menunjukkan praktik represif masih digunakan dalam merespons kritik. Padahal ruang publik adalah milik sipil, bukan ruang yang boleh dicampuri provokasi maupun tindakan pembalasan aparat. Konferensi ini kami dedikasikan pula untuk mengenang perjuangan Cak Munir, agar semangatnya tetap hidup dan menjadi inspirasi akademik,” ujarnya.
Dr. Aan juga menyoroti pentingnya menjaga civic space agar tidak ditunggangi kepentingan politik yang berpotensi mengarah pada anarki maupun pelanggaran HAM. Ia berharap forum internasional ini dapat melahirkan kesadaran bersama bahwa perlindungan hak-hak sipil merupakan fondasi demokrasi.
Partisipasi Internasional
Ketua Panitia, Zora Febriena Dwithia H.P., S.H., M.Kn., menyampaikan bahwa konferensi ini menjadi langkah awal dari agenda rutin tahunan yang melibatkan mahasiswa lintas negara. Tercatat sekitar 90 peserta mendaftar, berasal dari Australia, Malaysia, Nigeria, Bangladesh, India, hingga Madagaskar. Meskipun sebagian terkendala hadir secara langsung, peserta tetap aktif melalui presentasi makalah dan diskusi panel.
“Selain sesi pleno, kami juga membagi forum menjadi beberapa panel diskusi. Peserta mempresentasikan karya tulisnya, lalu saling berdialog dan memberi masukan. Output dari kegiatan ini akan diterbitkan dalam bentuk artikel jurnal serta book chapter internasional,” jelasnya.
Zora menambahkan, konferensi ini juga bersamaan dengan peresmian Museum Munir di lingkungan kampus UB, menegaskan konsistensi Fakultas Hukum dalam mengingat perjuangan almarhum Munir Said Thalib. “Kami ingin mahasiswa tidak hanya belajar teori HAM di kelas, tetapi juga ikut merasakan atmosfer advokasi nyata yang telah diperjuangkan para pejuang HAM,” imbuhnya.
Suara Mahasiswa untuk HAM
Para mahasiswa peserta turut menyampaikan pandangan kritis mengenai kondisi HAM di negaranya masing-masing. Muhammad Azhar Shiroth Mustaqim dan Britanya Beatrice, mahasiswa Fakultas Hukum UB, menyoroti lemahnya respon negara dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
“Negara belum benar-benar hadir untuk menegakkan HAM. Implementasi undang-undang masih minim, padahal kita sudah punya instrumen hukum yang jelas. Konferensi ini menjadi pengingat bahwa penegakan HAM harus segera diwujudkan,” kata Azhar.
Sementara itu, Thomas Sheku Marah dari Sierra Leone, yang kini menempuh studi di Nigeria, membagikan pengalaman serupa di Afrika. Ia menyoroti maraknya pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
“Banyak orang di negara saya takut berbicara karena berisiko dituduh melakukan pencemaran nama baik atau bahkan diasingkan dari negara. Forum ini sangat penting karena memberi kesempatan bagi mahasiswa dari berbagai negara untuk berdiskusi secara akademis tentang persoalan serupa,” ungkap Thomas.
Peringatan Munir dan Harapan Ke Depan
Selain menjadi ruang akademik, konferensi ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap perjuangan Munir Said Thalib, aktivis HAM asal Malang yang dikenal gigih melawan pelanggaran HAM di Indonesia. Peringatan “September Hitam” yang dilaksanakan bersamaan dengan forum ini diharapkan mampu menggugah kesadaran kolektif mahasiswa untuk meneruskan perjuangan Munir.

Baca juga:
Friction Shifting Theory: Menggeser Algoritma, Menggoyang Opini Publik
Para narasumber dan peserta sepakat bahwa acara ini tidak boleh berhenti sebagai diskusi semata. Harapannya, rekomendasi dari forum internasional ini dapat menjadi pijakan bagi pemerintah dan masyarakat sipil dalam mendorong penegakan HAM yang lebih konkret. “Kegiatan ini bukan hanya peringatan, tetapi juga ajakan bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap human values,” kata Britanya Beatrice menutup sesi diskusi.
Dengan kehadiran mahasiswa dari berbagai belahan dunia, “1st International Student Conference on Human Rights 2025” menjadi bukti bahwa perjuangan HAM adalah isu global yang harus diperjuangkan bersama, tanpa mengenal batas negara. (nid/dpa)