Sumber data sejarah yang berkenaan dengan kesejarahan Islam di daerah Batu tidak cukup banyak. Selain sejumlah situs makam Islam kuno, sumber data tentang itu kedapatan dalam bentuk tradisi lisan (oral tradition), yaitu legenda lokal, yang beberapa diantaranya diliteralisasikan. Dua diantaranya yang cukup dikenal adalah legenda : (a) Mbah Mbatu dan Pangeran Rohjoyo, terkait dengan babat Desa Bumiaji; serta (b) legenda Bambang Selo Utomo, terkait dengan babat Desa Punten. Kisah legenda mengenai para “pembuka (sing babat, sing bedah Krawang)” untuk desa-desa lain di daerah Batu tak sepopuler dengannya.
Terkait dengan sumber data oral tersebut, untuk mengeluarkan fakta daripadanya perlu dilakukan secara berhati-hati, yakni dengan memilah mana yang merupakan fakta dan mana yang rekaan (fiksi). Dengan kata lain, perlu adanya kritis-historis, agar bisa mensarikan informasi historis daripadanya. Kondisi sumber data yang demikian tersebut menyebabkan rekonstruksi historis terhadap Sejarah Islam di daerah Batu hanya dapat dilakukan dalam skala terbatas. Bahkan, banyak bersifat interpretatif dan berupa hipotesa, sehingga ke depan perlu dilacak bukti penguatnya.
Sumber data tradisi yang berkembaug di Bumiaji menyatakan bahwa Mbah Batu, dengan varian sebutannya “Mbah Mbatu, Mbah Wastu, Mbah Stu dan Mbah Tuwo”, yang dimakamkan di Dusun Banaran Desa Bumiaji adalah tokoh bernama diri “Abu Nggonaim” — varian sebutannya “Abu Ghonaim”. Jelas bahwa beliau adalah orang Islam. Hal ini tampak pada jejak artefaktualnya, yang berupa makam muslim, lengkap dengan jirat, nisan dan cungkupnya. Selain makan Beliau, pada cungkup makam ini disemayamkan pula tokoh legendaris lain, yaitu Pangeran Rohjoyo, yang dinyatakan sebagai bangsawan (pangeran) asal Mataram. Mbah Batu acapkali dinyatakan bukan saja sebagai pembuka (sing babad) Desa Bumiaji, namun sekaligus sebagai orang yang mbabat daerah Batu secara keseluruhan. Suatu pendapat yang ‘musti dikritisi’, agar posisi historis Mbah Batu dalam sejarah daerah Batu menjadi lebih proporsional. Beberapa waktu berselang di kalangan awam sejarah, berkembang pemikiran bahwa sejarah Batu bermula dari Mbah Batu.
Nama Abu Nggonaim juga disebut-sebut dalam ‘Babad Desa Punten’, sebagaimana bisa dibaca di dalam “Layang Ronggo Sejati”. Teks ini menyerupai cerita tutur yang diliteralisasikan secara bebas pada beberapa tahun terakhir. Menurut sumber ini, orang yang pertama kali hadir di Desa Punten adalah Bambang Selo Utama alias Purbo Sentono, istrin (Rara Ninik Wuryaningsih), dan gurunya (Kyai Abu Nggonaim). Menurut layang itu, peristiwa tersebut berlangsung sekitar abad XV. Bambang Selo Utama adalah pembuka (sing babat) hutan belantara kawasan berlembah, bergunung dan berjurang, yang dinamai dengan “Punten”. Tempat ini berada jauh di sebelah timur Mataram. Kepergiannya ke mari terkait dengan rasa malu Bambang Selo Utomo, sebab ketika ia diwisuda menjadi senopati di kasultanan Mataram serta ditunangkan dengan Ninik Wuryoningsih atas keberhasilannya dalam sayembara membuat gamparan (beliak) “Ukiran Bungkul Kencono” guna meredakan pagebluk (wabah penyakit) yang melanda Mataram, tanpa disadarinya ia kentut di hadapan para pejabat Istana (Tim Sejarah Desa, 2008).
Bambang Selo Utomo adalah seorang murid Abu Nggonaim (nama lain dari Mbah Batu). Dengan demikian, dia adalah satu generasi di bawah Mbah Batu. Dalam Layang Ronggo Sejati dinyatakan bahwa Abu Nggonaim mempunyai pesantren besar. Sayang tidak dinyatakan secara eksplisit dimanakah lokasi pesantrennya. Mengingat Mbah Batu acap dihubungkan dengan “sing mbabad” Desa Bumiaji, maka pertanyaannya adalah “apakah lokasi pesantrennya berada di desa Bumiaji?”. Apabila benar demikian berarti kala itu didaerah Utara Brantas telah terdapat pesantren besar yang dikelola oleh Abu Nggonaim. Namun, sejauh ini belum dijumpai data artefaktual yang mengarah lepada kesimpulan demikian. Perkataan “sing babad” atau ‘sing mbedah krawang’ dalam kedua legenda lokal itu perlu didudukkan secara proposional. Bukan menurut arti harafiahnya, melainkan secara interpretatif. Secara harfiah kata “babad atau mbabad” adalah pembukaan suatu areal dengan jalan menebangi pepohonan yang tumbuh tempat ini. Sedangkan perkataan “sing bedah krawang” berarti pembuat sesuatu menjadi koyak (bedah), sehingga sesuatu itu berlobang terang (krawang). Arti dari kedua istilah itu menunjuk kepada orang tertentu di masa lampau, yang mengawali pembukaan suatu area menjadi permukiman baru. Areal permukiman itu merupakan embrio bagi terbentuknya desa atau daerah. Sebelum kejadian itu, areal ini masih berwujud hutan belantara, yang belum berpenghuni. Pengertian seperti itu tidak sesuai dengan realitas historisnya, kerena jauh sebelum kehadirannya, baik di Bumiaji maupun di Punten telah ada orang-orang yang hadir, bermukim dan berkegiatan budaya. Dengan demikian, Mbah Batu dan Bambang Selo Utomo bukan orang yang kali pertama hadir, bukan pula yang mengawali terbentuknya permukiman di Bumiaji dan di Punten.
Informasi dari sumber data lisan ini patut dikritisi, mengingat bahwa sumber data tekstual (prasasti dan susastra) maupun sumber data arfektual menyodorkan gam-baran yang berlainan. Data artefaktual maupun tekstual menunjukkan bahwa wilayah Batu telah menjadi daerah hunian atau tempat bagi berlangsungnya aktifitas social-budaya sejak Masa becocok Tanam pada Jaman Prasejarah. Bahkan pada amasa Hindu-Budhha, yakni pada masa kerajaan Kanjuruhan, Mataram, Singhasari dan Majapahit, Batu telah menyadi areal hunian. Beberapa desa di wilayah Batu, seperti Sangguran, Batwan, dan Deseng Batu telah menyandang status “Desa Perdikan (Sima)” Tempat dan perangkat keagamaan yang berlatar agama Hindu juga didapati di berbagai tempat di wilayah daerah Batu, tidak terkecuali di desa-desa tetangga dari Bumiaji, seperti Tulungrejo, Gunungsari, Pandanrejo, Songgokerto, dsb. Oleh sebab itu tidaklah tepat jika Mbah Batu yang hidup pada masa perkembangan Islam, tepatnya di era Kasultanan Mataram, dinyatakan sebagai “pembuka perdana (sing mbabat) daerah Batu”. Masa hidup Mbah Batu adalah pada skeitar abad XIX, atau paling tua abad XVIII. Demikian pula dengan Bambang Selo Utomo, tidak tepat jika dinyatakan bahwa masa hidupnya pada sekeitar abad XV, sebab konteks waktu peristiwa yang dikisahkan adalah masa Mataram. Mereka berdua dengan demikian hidup pada Periode Perkembangan Islam. Oleh karena itu, lebih tepat bila Mbah Batu dan Bambang Selo Utomo dinyatakan sebagai tokoh yang berjasa mengawali siar Islam, khususnya di sub-area Batu Utara, baik di Desa Bumiaji maupun Punten.
Jejak budaya pra-Islam didapati pada areal makam Mbah Batu. Hal ini menjadi petunjuk bahwasanya sebelum lokasi ini dijadikan komplek makam Islam, lebih dulu menjadi situs Hindu. Demikian halnya yang terdapat di Punten, yang kedapatan adanya watu dakon di Dusun Gempol, lumpang batu (stone mortar) di Dusun Poyan (Lo Dengkol), susunan batu temugelang (enclosure) di dukuh Krajan (punden Gadung Melati), punden berumpak di punden Mbah Gamping, batu-batu besar di punden Purwosenjoto dan mbah Gimbal, serta empat buah Lingga dan struktur bangunan berlatar Hindu pada Punden Gadung Melati. Dengan demikian, ada petunjuk bahwa Punten telah menjadi hunian semenjak zaman Prasejarah dan berlanjut hingga masa Hindu-Buddha.
Jejak-jejak budaya itu berada pada sepanjang aliran Sungai Brantas, yang membelah Desa Punten dan sekitar sumber air (Banyuning, Ngesong I dan II). Adanya jejak budaya masa Hindu-Buddha di Punten sebenarnya telah dinyatakan di dalam Layang Ronggo sejati, bahwa di tempat padamana Bambang Selo Utomo, istri dan gurunya berhenti, kemudian membuka areal permukiman kedapatan jejak budaya berupa reruntuhan candi.
Paparan di atas memberi petunjuk bahwa Islamisasi di Utara Brantas setidaknya berkat jasa dari Mbah Mbatu dan Bambang Selo Utomo. Pada sub-area di Selatan bangawan Brantas, legenda local menyebut adanya sejumlah nama yang berjasa mengislamkan sejumlah desa di wilayah ini, diantaranya adalah : (1) Mbah Mas di Besul, (2) Mbah Macan Kopek di Sisir, (3) Mbah Bener di Temas, (4) Eyang Jugo di Junggo, (5) Mbah Masayu Sinto Mataram di Ngaglik, maupun (6) Mbah Gadung Mlati di Punten. Disamping itu terdapat sejumlah makam Islam kuno, seperti makam dan masjid kuno (sebelum kini direnovasi total) di Macari, dan makam lama Pesanggrahan. Beberapa makam tua itu, utamanya makam tokoh-tokoh legendaris di Banaran, Besul dan Ngaglik memiliki indikasi ditempatkan di atas atau berada berdampingan dengan situs yang usianya lebih tua (masa pra-Islam), sehingga dapat dijadikan sebagai petunjuk mengenai adanya kesinambungan sakralitas suatu tempat. Artinya, tempat yang dulu dipandang sebagai “sakral” oleh pemangku budaya lama, pada pemangku budaya berikutnya tetap dipandang sakral. Jejak budaya yang ada itu berasal dari masa yang berbeda atau lintas masa.
Terdapat sejumlah orang yang dalam legenda lokal dinyatakan sebagai berjasa dalam siar Islam pada awal perkembangan Islam di daerah Batu. Pada sub-wilayah di Batu Utara, Mbah Batu dan Bambang Selo Utomo (alias Mbah Gadung Melati) adalah orang-orang yang berjasa dalam mengislamkan Desa Bumiaji dan Desa Punten. Sedangkan di sub-wilayah selatan Brantas, tampil Mbah Mas untuk warga di kampung Besul, Mbah Macan Kopek untuk warga Sisir, Mbah Bener untuk Temas, Eyang Jugo untuk Junggo, dan Mbah Masayu Sinto Mataram untuk Ngaglik.