Mereka disebut dengan tambahan kata sebut “mbah” atau “eyang” sebelum nama dirinya. Hal ini menguatkan gambaran tentang ketuaan dirinya. Kendati demikian. tidaklaj mudah untuk menyatakan secara pasti bilamana masa hidupnya. Apakah mereka hidup se jaman, ataukah satu lebih awal dari yang lain? Suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk menjawabnya, kecuali yang berkenaan hubungan antara Bambang Selo Utomo dan Mbah Batu (Abu Nggonaim), yang nama dan kisahnya dinyatakan sebagai murid-guru. Prakiraan waktu yang bisa diperoleh darinya adalah sekitar abad XVII hingga permulaan abad XIX.
Pengaruh Islam dari sentra Islam di Giri terhadap Gribik pada penhujung abad XV maupun penaklukan kerajaan Sengguruh oleh kasultanan Demak tahun 1545 Masehi tidak berdampak bagi tersebarnya Islam ke Batu, sebab letaknya cukup jauh darinya. Selain itu, kitab Pararaton (ditulis akhir abad XVI atau awal abad XVII) memberi gambaran bahwa kala itu masyarakat Malangraya masih cukup kuat menganut ajaran pra-Islam. Gambaran yang demikian sangat mungkin berlaku di daerah Batu. Pada sisi lain legenda lokal terkait dnegan para pesiar Islam di Batu, seperti legenda tentang Pangeran Rohjoyo di Bumiaji, Babad Desa Punten, dan adanya unsur nama ‘Mataram” di dalam sebutan ‘Masayu Sinto Mataram” memberi indikasi tentang adanya pengaruh Islam di Batu dalam hubungannya dengan Kasultanan Mataram. Pemakaian nama gelar ‘pangeran’ oleh Rohjoyo memperlihatkan bahwa masa hidupnya adalah periode Mataram, sebab pada masa Hindu-Buddha gelar (honorifx prefix) “pangeran” belum dikenal. Bila benar bahwa mereka hidup semasa dengan kasultanan Mataram, pertayaannya adalah “mungkinkah konteks peristiwanya bisa dihubungkan dengan Mataramisasi yang tengah berlangsung di Jawa Timur?”.
Para pengikut Trunojoyo, Untung Surapati serta Pangeran Diponegoro yang selamat dari pertempuran melawan koalisi Kompeni Belanda (VOC) dan penguasa kasultanan Mataram tinggal bersembunyi dan menetap di Malangraya. Pada sejumlah tempat di Malang Barat, Tengah maupun Selatan, mereka dikisahkan sebagai tokoh yang berjasa dalam mensiarkan Islam di tempat-tempat keberadaannya. Terkait dengan itu, perlu difikirkan tentang kemungkinan bahwa diantara tokoh-tokoh penyebar Islam di daerah Batu itu berasal dari mereka, khususnya mereka yang selamat dari gempuran pasukan Kompeni Belanda (VOC) pimpinan Kapten Francois Tack terhadap benteng Trunojoyo terakhir di bukit Selo Kurung (daerah Ngantang). Jarak antara Batu-Ngantang yang tak terlampau jauh menjadi famtor yang layak dipertimbangkan untuk kemungkinan pengungsiannya ke daerah Batu. Selain itu, dengan didudukinya pusat wilayah Malang oleh Kompeni Belanda pada tahun 1767, bukan tidak mungkin para pejuang yang bergabung dengan anak cucu Untung Surapati melarikan diri ke arah barat dan timur, yaitu ke Batu dan Tumpang-Poncokusumo, karena daerah ini diperhitungkan olehnya sebagai tempat yang aman. Bukan pula tidak mungkin bahwa terdapat eks lasykar Diponegoro yang memasuki dan kemudian tinggal di Batu.
Contoh serupa dijumpai di Singosari bahwa mbah Hamimuddin yang dilegendakan sevagai menjadi pendiri Pondok Bungkuk adalah eks lasykar Diponegoro yang menetap di sini setelah menikah dengan wanita setempat pada tahun 1930.
Sejauh ini, jika berbicara mengenai Islamisasi di daerah Batu, nama “Mbah Mbatu” yang senantiasa disebut untuk kali pertama. Nama tersebut bukanlah nama dirinya, sebab legenda lokal mengemukakan bahwa nama dirinya adalah ‘Abu Gonaim”. Unsur sebutan “mbah” adalah kata sebut, yang menggambarkan ketuanya, yakni seseorang yang hidup pada masa silam. Sedangkan unsur nama “Mbatu” dan “Batu” menunjuk kepada tempat ia tinggal. Sebagai nama desa, semenjak masa Hindu-Buddha, khususnya pada masa Majapahit, nama “Batu” telah dikenal luas. Apabila memperhitungkan penyebutannya di dalam prasasti Jiu II (1486 M), maka amat beralasan untuk menyatakan bahwa “desa di (deseng = desa ing)” Batu yang disebut di dalamnya itu terletak pada seberang utara Brantas, yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Bumiaji.
Nama “Mbah Batu” beserta varian sebutannya, yaitu ‘Mbah Mbatu” atau “Mbah Wastu”, adalah sebutan bagi seorang yang berasal dari Desa Batu. yakni ketika Batu masih berupa sebuah desa. Tafsir demikian sesuai dengan lokasi makamnya, yaitu di dukuh Banaran Desa Bumiaji. Di desa kuno Batu itulah beliau tinggal dan melakukan siar Islam. Salah seorang santrinya berasal dari desa tetangga, yaitu di Desa Punten, dengan nama Bambang Selo Utomo. Desa kuno Batu, yang kini menjadi Desa Bumiaji, adalah desa cikal-bakal yang sebagian besar warganya beragama Islam. Nama “Bumiaji”, baik sebagai nama desa maupun nama kecamatan baru digunakan lebih kemudian. Nama ini menjadi pengganti bagi nama “Desa Batu” yang arkhais. Banyak orang lupa atau tak mengetahui bahwasanya semula Batu adalah nama desa. Sepengetahuannya, Batu adalah nama kecamatan dan akhirnya (sejak tahun 2001) menjadi nama kota.
Suatu pendapat yang menyatakan bahwa nama “Bumiaji” berasal dari dua kata, yaitu bumi (tanah) dan aji (berharga). Menurut pendapat ini sebutan tersebut menunjuk kepada keberhargaan tanahnya, yaitu tanah yang subur, tanah yang berharga. Pendapat lainnya menyatakan bahwa nama “Bumiaji” merupakan pergeseran dari nama kunu “Bhumihaji”, suatu peristilahan yang terbentuk dari dua kata, yaitu kata “bhumi´(tanah, daratan, bumi)” dan “haji (raja, keluarga raja, pangeran) (Zoetmulder,1995:141, 327)”. Penggantian sebutan dari “Desa Batu” menjadi “Desa Bhumihaji”, dan kemudian menjadi “Bhumihaji” bisa jadi terkait dengan keberadaannya pada masa lalu, yaitu sebagai daerah yang pernah memperoleh anugerah status perdikan (sima) dari raja (haji), baik dari raja Hayam Wuruk ataupun Sri Girindrawarddhana. Terlepas dari pendapat mana yang benar, di balik nama “Bumiaji” terkandung makna keberhargaan, baik karena kesuburan tanah beserta hasil buminya, atau lantaran status istimewa yang pernah disandang pada masa lalunya sebagai desa perdikan (Cahyono, 2008:264).
Beberapa pemuka masyarakat setempat mengisahkan bahwa Abu Ghonaim atau disebut juga ‘Kyai Gubug Angin’ adalah eks laksykar Pangeran Diponegeoro. Jika benar demikian, berarti kehadirannya ke Batu baru sekitar tahun 1830-an. Abu Ghonaim berasal dari wilayah Jawa Tengah, yang datang ke Jawa Timur dan akhirnya menetap di Batu sebagai pengikut Diponegoro yang setia. BeliaU dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya di Jawa Tengah untuk hijrah ke kaki Gunung Panderman guna menghindari pengejaran dan penangkapan oleh serdadu Belanda (Kompeni). Akhirnya, banyak warga sekitarnya yang berguru, menuntut ilmu serta belajar agama Islam kepada Mbah Wastu.
Suryo Kusuma yang berjejuluk ‘Mbah Banter’ juga dilegandakan sebagai salah seorang eks lasykar Diponegoro, yang berjasa menjadi pembuka (sing mbabad) Desa Sisir — nantinya menjadi Kepala Desa Sisir, dan seterusnya diganti oleh tujuh keturunnya. Serupa dengan legenda itu, warga Temas meyakini bahwasanya sing mbabat Deso Temas adalah Mbah Bener, yang juga eks lasykar Diponegoro. Apabila benar demikian, berarti kehairannya bersamaan waktu dengan kedatangan Abu Ghonaim di Bumiaji. Nama dirinya adalah ‘Raden Mas Wiryo Kusumo’, dengan nama julukan ‘Singojoyo”. Sebelum menetap di Batu, ia pernah singgah tak begitu lama di Daerah Ponorogo, sehingga ada pendapat bahwa muasalnya dari Ponorogo. Pendapat lain mengatakan asalnya dari Buntaran, pada wilayah Mataram di Jawa Tengah. Singojoyo bermaksud menata dusun Temas dan memperbaiki akhlak masyarakat saat itu. Oleh karena ucapan dan arahannya diyakini membawa kebenaran (bener), maka julukannya adalah “Mbah Bener”. Pendapat lainnya menyatakan bahwa sebelum Mbah Bener datang ke Temas, telah ada seorang pengembara wanita yang datang lebih dulu, yang disebut Nyai Sendang Tuwo.
Terdapat pengembara lain berjejuluk ‘Den Mas’. Sebutan ‘Mas’ merupakan akronim dari ‘Mas’ud Jaelani’, yang kini dikenal dengan “Mbah Mas”. Pusaranya berada di RT 5 RW 6 Dusun Besul Kelurahan Temas. Perihal tokoh yang bernama Masayu Sinto Mataram, legenda lokal di Desa Ngaglik menuturkan bahwa ia adalah seorang wanita yang tinggal di desa ini bersama suaminya. Menilik unsur namanya ‘…….. Mataram’, tergambar dengan jelas bahwa ia atau suaminya bertalian dengan Kasultanan Mataram. Mulanya Beliau membuka hutan (babat alas) dan menghuni sebuah gubuk, satu-satunya dimiliki dan dibangun di posisi paling atas, sehingga disebuti dengan ‘rumah angglik-angglik’, dan sampai saat ini masyarakat menyebutnya dengan ‘Ngaglik’.
Tokoh sejarah lainnya yang hidup pada masa perkembangan Islam di Batu adalah Matsari. Nama Jawa ini diadaptasi dari bahasa Arab “Muhammad Asy’ari”. Ia berjasa mendirikan sebuah tempat pendidikan berupa pesantren, yang pada akhirnya nama dirinya dijadikan nama sebuah Dusun “Macari”. Dahulu orang sering menyebutnya dengan Dusun “Pesantren”. Disamping itu. terdapat tokoh yang dilegendakan sebagai membuka (bedah krawang) Dusun Srebet, yaitu Mbah Ageng Maimunah Mayangsari, yang pusaranta berada di Jl. Cempaka Gg. Pesarean.
Demikianlah kolas sejarah Islam di daerah Batu. Meski historiografi ini hanya sumirm jauh dari detail – lantaran keterbatasan sumber data yang sampai kepada kita, namun apa yang telah terpapar diatas seolah menjadi ‘secercah sinar untuk menerangi remang sejarah Islam di daerah Batu. Lewat “Ekspedisi Panatagama”, yang diusung oleh Malang Post pada Edisi Ramadhan tahun 2019 ini, kesejarahan Islam di Malangraya, tidak terkecuali pada daerah Batu dicoba untuk terangi.
M.Dwi Cahyono Dosen UM dan Sejarawan