Kanal24 – Indonesia sebagai negara maritim tentunya memiliki daerah lautan yang sangat luas. Lautan berperan penting dalam upaya melawan perubahan iklim. Bagaimana bisa? Laut berperan penting dalam hal penyimpanan gas karbon. Hal tersebut biasa disebut dengan blue carbon.
Istilah blue carbon mengacu pada gas karbon yang ditangkap oleh ekosistem laut. Gas karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang berperan penting sebagai penyumbang utama perubahan iklim. Sebagai gas rumah kaca (GRK) utama yang dihasilkan melalui aktivitas manusia, mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer merupakan hal yang sangat penting untuk memperlambat perubahan iklim.
Penyimpanan karbon, atau penyerapan karbon adalah proses dimana karbon diambil dari udara dan disimpan di tempat tertentu. Proses ini dapat terjadi dengan bantuan teknologi, namun sejatinya proses ini sudah terjadi secara alami terus menerus. Seperti yang terjadi pada laut dan tumbuhan di sekitar. Hutan dan pohon adalah contoh penyerap karbon alami yang paling sering kita dengar. Upaya pelestarian alam agar penyerapan CO2 terjadi secara maksimal telah menjadi fokus utama bertahun-tahun. Akhir-akhir ini, masyarakat mulai tertarik dengan blue carbon dan potensinya untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Meski penelitian ini masih berlangsung, karbon biru diasumsikan memainkan peran penting dalam penyimpanan karbon global. Dari penelitian panjang yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ekosistem laut dapat menghilangkan lebih banyak karbon dari atmosfer dibandingkan dengan hutan daratan yang hijau. Terlebih lagi ekosistem vegetasi pesisir yang digambarkan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap penyerapan karbon global. Ekosistem pesisir seperti rawa, hutan bakau, dan rumput laut adalah penyerap karbon yang kua. Mereka menyimpan CO2 yang mereka tangkap di tanah dan endapan mereka, dimana karbon bisa tersimpan selama ribuan tahun.
Meski secara volume lebih kecil dibanding hutan hijau di daratan, mereka melakukannya dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi. Rumput laut, misalnya, meskipun hanya menutupi sekitar 0,1% dasar laut, diperkirakan menyimpan sekitar 10 hingga 18% karbon laut. Jumlah karbon terbesar disimpan oleh air itu sendiri, yang disebut sebagai “karbon laut dalam”.Diperkirakan bahwa laut mampu mengandung 50 kali lebih banyak karbon daripada udara. Bahkan, beberapa ilmuwan menganggap laut dalam dan kolom airnya sebagai kolam karbon terbesar di bumi. Namun, para peneliti khawatir bahwa perubahan iklim dan pengasaman laut yang menyertainya akan mengurangi kemampuan laut untuk menyerap karbon.
Sejauh ini, telah dilakukan beberapa upaya untuk meningkatkan potensi karbon biru laut. Hal ini termasuk “penghijauan laut” yaitu sebuah upaya memperluas hamparan rumput laut alami. Selain itu, terdapat pula gagasan untuk menenggelamkan sejumlah besar lamun ke lautan. Lamun atau seagrass adalah tumbuhan berbunga yang dapat tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal. Namun, seperti yang ditunjukkan para peneliti, pengetahuan mengenai kelautan dan dampaknya masih sangat terbatas. Sifat lingkungan laut yang dinamis tidak hanya membuat penentuan keefektifannya lebih sulit dibandingkan dengan lingkungan daratan.
Metode lain yang mungkin dilakukan untuk mendorong karbon biru dan mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati adalah dengan memasukkan vegetasi pesisir ke dalam pasar karbon melalui pembelian dan penjualan penggantian kerugian karbon. Hal ini akan menciptakan insentif bagi restorasi dan konservasi ekosistem.
Namun, kendala lain muncul. Kekhawatiran utama dari upaya peningkatan karbon biru adalah hilangnya ekosistem laut. Menurut perkiraan, 2-7% dari hutan tersebut hilang setiap tahunnya, yang berarti hutan lautan berkurang lebih cepat dibandingkan hutan hujan dunia. Hal ini tidak hanya berarti berkurangnya karbon yang diserap, namun juga karbon yang sebelumnya tersimpan kembali terlepas ke atmosfer, sehingga mengakibatkan pemanasan global.
Potensi dan ancaman karbon biru yang terjadi secara bersamaan menyoroti fakta bahwa perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati sangat berkaitan satu sama lain. Hal ini juga berlaku dalam adaptasi perubahan iklim, dimana vegetasi pesisir merupakan aset penting.
Hutan bakau misalnya, yang mengalami kepunahan lebih cepat dibandingkan jenis vegetasi pantai lainnya, mempunyai peran penting dalam perlindungan pantai. Peristiwa cuaca ekstem seperti tsunami dan badai, yang akan semakin sering terjadi seiring berlangsungnya perubahan iklim, merupakan penghalang yang kuat. Dalam 50 tahun terakhir, aktivitas manusia seperti pertanian dan perikanan, dan pembangunan telah menghancurkan lebih dari seperempat jumlah hutan bakau. Hal ini mengancam keanekaragaman hayati dan sekaligus merugikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sehingga membahayakan hewan, tumbuhan, dan manusia secara setara.
Konsep karbon biru berfungsi sebagai pengingat akan keterhubungan kita dengan lingkungan, dan pentingnya perlindungan lingkungan dalam upaya melawan perubahan iklim. (fan)
Penulis : Vivian Adams
Sumber : earth.org baca asli di sini.