Kanal24 – Laut yang luas, selama ini menjadi penjaga kehidupan dan iklim bumi, kini menghadapi tekanan besar akibat ulah manusia. Perubahan iklim, sampah plastik, dan penangkapan ikan yang tidak terkendali telah membawa laut ke ambang krisis. Padahal, lautan memegang peran krusial dalam menyerap karbon dioksida (CO₂), menjaga kestabilan iklim global, dan menjadi sumber kehidupan bagi miliaran manusia.
Berbagai masalah ini menjadi topik utama dalam Konferensi Kelautan PBB (UN Ocean Conference) yang digelar di Nice, Prancis, pada Juni 2025. Pertemuan ini mempertemukan para ilmuwan, pembuat kebijakan, dan pemerhati lingkungan untuk menyelamatkan lautan dari kehancuran permanen.
Baca juga:
Diskon Tiket Pesawat Tak Dongkrak Minat Dadakan
Lautan Menghangat, Kehidupan Bawah Laut Terancam
Pemanasan global menjadi ancaman paling nyata bagi ekosistem laut. Kenaikan suhu laut telah menyebabkan pemutihan terumbu karang secara masif, dan jika suhu naik lebih dari 1,5°C dibanding era pra-industri, hampir semua terumbu karang diperkirakan akan mati. Saat ini, 84% terumbu karang dunia telah terdampak.
“Mulai dari kenaikan 2°C, kehancuran tidak dapat dihindari,” kata Katja Matthes, Kepala Pusat Penelitian GEOMAR di Kiel, Jerman. Air laut yang lebih hangat juga memiliki kandungan oksigen lebih sedikit, mengancam kelangsungan hidup plankton, ikan, dan mamalia laut. Penelitian mencatat pemanasan air laut kini terjadi hingga kedalaman 2.000 meter.
Contoh paling nyata terlihat di Laut Baltik, di mana zona mati terbentuk akibat kekurangan oksigen, membuat kehidupan laut nyaris mustahil berkembang.
Eksploitasi Penangkapan Ikan Rusak Rantai Ekosistem
Selain pemanasan, lautan juga mengalami tekanan dari aktivitas manusia yang berlebihan, terutama dalam penangkapan ikan. WWF mencatat, dalam 50 tahun terakhir, jumlah spesies laut yang ditangkap secara berlebihan meningkat tiga kali lipat.
Di Laut Mediterania, lebih dari 50% sumber daya ikan mengalami eksploitasi berlebih. Jenis ikan yang paling banyak ditangkap adalah ikan haring, sarden, dan teri. Ketimpangan ini merusak rantai makanan dan berdampak pada keberlangsungan spesies predator besar hingga manusia.
Lebih dari 600 juta orang di dunia menggantungkan hidupnya pada laut. Jika rantai ekosistem rusak, sumber pangan dan ekonomi mereka juga terancam.

Tahun 2050: Sampah Plastik Lebih Banyak dari Ikan?
Krisis laut juga diperparah oleh sampah plastik. Menurut proyeksi World Resources Institute, pada tahun 2050 berat sampah plastik di lautan bisa melebihi total berat seluruh ikan. Setiap tahunnya, sekitar 8 hingga 10 juta ton plastik baru mencemari lautan.
Sampah plastik ini sangat sulit terurai, bahkan butuh ratusan tahun untuk terdegradasi sepenuhnya. Mikroplastik masuk ke rantai makanan laut, mengancam kehidupan organisme hingga manusia sebagai konsumen akhir.
Pemanasan Laut Picu Perubahan Cuaca Global
Laut tidak hanya penting bagi ekosistem, tetapi juga bagi stabilitas cuaca global. Arus laut seperti Arus Teluk (Gulf Stream) memainkan peran vital dalam mengatur suhu udara, seperti musim monsun di Asia dan iklim sejuk di Eropa.
Namun, penelitian menunjukkan Arus Teluk kini melambat akibat pemanasan laut, yang dapat membuat suhu di Eropa utara turun drastis hingga 15°C. Dampaknya akan terasa di sektor pertanian, pemukiman, hingga distribusi air bersih.
Lautan, Sekutu Terpenting Melawan Perubahan Iklim
Sebanyak sepertiga dari seluruh emisi karbon manusia diserap oleh laut. Tapi, seiring naiknya suhu, kemampuan laut dalam menyerap karbon menurun drastis. Akibatnya, laut menjadi semakin asam, membuat kerang dan karang sulit bertahan.
“Tanpa laut, suhu atmosfer akan jauh lebih tinggi dari sekarang,” tegas Carlos Duarte, peneliti kelautan dari Universitas King Abdullah di Arab Saudi. Namun, lanjutnya, kemampuan laut hanya akan bertahan jika kita menghentikan kerusakan yang sedang berlangsung.
Solusi Global: Konservasi Laut dan Perjanjian Internasional
Berbagai negara telah mencoba menyelamatkan laut melalui kawasan konservasi laut. Di wilayah pesisir Hawaii, misalnya, konservasi melarang aktivitas penangkapan ikan dan pembangunan turbin angin. Namun, saat ini baru 9% lautan dunia yang masuk zona konservasi, dan hanya 3% di antaranya yang menerapkan pembatasan penangkapan ikan.
Sementara itu, perjanjian global untuk menghentikan polusi plastik masih terhambat. Negosiasi PBB sempat gagal akibat penolakan dari negara penghasil minyak seperti Arab Saudi dan Rusia. Putaran negosiasi selanjutnya akan berlangsung di Swiss pada Agustus 2025.
Di sisi lain, ilmuwan Jepang telah mengembangkan plastik alternatif yang larut dalam air laut dalam hitungan jam. Meski menjanjikan, teknologi ini belum bisa menyelesaikan masalah plastik yang telah bertahun-tahun mencemari laut.
Siapa Berhak Mengelola Lautan?
Sekitar 40% wilayah laut berada dalam yurisdiksi nasional, sisanya adalah laut lepas yang selama ini minim regulasi. Eksploitasi besar-besaran pun terjadi tanpa kontrol.
Untuk menutup celah hukum ini, PBB menyusun Konvensi Internasional tentang Laut Lepas. Meski sudah ditandatangani oleh banyak negara pada 2023, perjanjian ini belum berlaku karena baru 31 negara yang meratifikasi dari syarat minimal 60. Negara-negara besar seperti Jerman dan Amerika Serikat belum menandatangani.
Baca juga:
Gag Nikel: Tambang Emas Antam di Raja Ampat
Harapan 2030: Lautan Lebih Terlindungi
Komunitas internasional menargetkan 30% lautan dunia terlindungi pada 2030. Meski ambisius, langkah ini penting agar generasi mendatang tetap dapat mengenal laut seperti yang kita kenal hari ini.
“Jika kita mulai sekarang, pada 2050 kita bisa mewariskan laut yang sehat kepada cucu kita,” tutup Duarte penuh harapan.
Lautan bukan sekadar kumpulan air asin yang luas. Ia adalah jantung kehidupan bumi, pengatur iklim, sumber pangan, dan rumah bagi jutaan spesies. Melindungi laut berarti menyelamatkan masa depan. Kini saatnya dunia bersatu, sebelum terlambat. (nid)