Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMK (2018), Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2016-2017 bahwa sebagian besar rumah tangga miskin dan hampir miskin di Indonesia mempunyai mata pencaharian sebagai pemilik dan/atau bekerja sebagai tenaga kerja pada usaha mikro kecil dan menengah. Di dalam kategori Usaha Mikro Kecil dan Menengah, sub-kategori usaha mikro dan kecil (UMK) memiliki kaitan yang paling erat dengan kemiskinan. Pada umumnya usaha mikro dimiliki oleh rumah tangga miskin atau hampir miskin, dijalankan oleh anggota rumah tangga sendiri tanpa upah, menggunakan teknologi dan pengelolaan sederhana, dan memiliki orientasi utama untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (subsistent) atau bertahan hidup (survival).
Munculnya undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa memberikan peluang Desa untuk membentuk badan usaha milik desa (BUMDESA) yang berdasarkan data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi jumlah BUM Desa telah berdiri 47.288 dan sebanyak 39.141 Bum Desa teregistrasi dalam pangkalan data (database) Bum Desa. Selain itu Peraturan Menteri Desa No. 4 Tahun 2015 memberikan amanat normatif dan spesifik pada BUM Desa untuk: Meningkatkan perekonomian Desa; Mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa; Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi Desa; Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar Desa dan/atau dengan pihak ketiga; Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga; Membuka lapangan kerja; Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan Meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan pendapatan asli Desa.
Jumlah tersebut sangat besar sebagai sebuah pencapaian dan, apabila dikategorikan dalam definisi Usaha Kecil dan Menengah berdasarkan skala usaha, jumlah unit usaha dan serapan tenaga kerja capaian tersebut secara umum sebagian besar BUM Desa masuk dalam kategori mikro dan kecil serta sedikit yang mengantongi kategori menengah karena sampai dengan saat ini belum teridentifikasi pengukuran kategori BUM Desa tersebut secara (robust) kuat.
Membahas keberadaan BUM Desa saat ini memang masih menjadi banyak perdebatan para pihak khususnya ukuran dan penentu keberhasilan 47.288 Bum Desa yang ada atau 39.141 Bum Desa yang teregister didatabase Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Pada tingkatan implementasi kondisi sebagian besar dari BUM Desa tersebut belum memiliki unit usaha, menjadi pemangsa usaha yang sudah ada di desa, mengalami hidup segan mati tak mau dan bahkan belum memiliki rencana pengembangan usaha. Tidak dapat dipungkiri memang terdapat BUM Desa yang berhasil dan menjadi percontohan dikarenakan : (1) Memiliki kegiatan usaha yang sesuai dengan potensi desa (2.) Memiliki kegiatan usaha yang membantu menyelesaikan permasalahan warga (3) Menyediakan kesempatan kerja bagi warga desa (4) Menyumbang pada kas desa seperti BUM Desa yang sering disebutkan misalnya cerita BUM Desa Ponggok Klaten serta beberapa BUM Desa yang ada di Provinsi D.I Yogyakarta. Suatu studi pernah memperkirakan hanya sekitar 5% dari jumlah BUMDesa tersebut yang memiliki unit usaha yang berjalan. Studi terbaru pada tahun lalu dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang telah melakukan penelitian di 12 Provinsi 35 Kabupaten/Kota di Indonesia mengkategorikan pembagian kelas BUM Desa menjadi empat bagian yaitu: rintisan, prospektif, berkembang dan maju. Berdasarkan studi LPEM tersebut terdapat 16 % BUM Desa dengan kategori Maju dan 34% BUM Desa dengan kategori prospektif, 29% BUM Desa dengan kategori berkembang dan 21% sisanya adalah kategori rintisan.
Berkaca dari kendala kondisi dan pertumbuhan BUM Desa sebenarnya kendalanya mempunyai kemiripan dengan keadaan yang dialami oleh pelaku usaha mikro kecil di Perdesaan. Setidaknya tiga hal kendala terbesar yang dihadapi oleh pelaku usaha tersebut adalah : (1) lemahnya daya saing, (2) permodalan atau likuiditas serta (3) Pemasaran.
Menghubungkan dengan Pasar
Belajar dari program penguatan kapasitas/kewirausahan BUM Desa yang lalu barangkali perlu dipikirkan ulang upaya mendesain ulang pendekatan model konvensional yang sudah biasa menjadi obat mujarab menurut Pemerintah sebagai penyedia sumberdaya dan kebijakan dengan mendasarkan kepada sistem pasar. Sistem pasar adalah pengaturan yang multi-fungsi dan multi-player yang terdiri dari fungsi utama pertukaran ekonomi, fungsi aturan pendukung dan fungsi peraturan yang dijalankan dan dibentuk oleh berbagai pelaku pasar.
Beberapa perbedaan pendekatan konvensional dengan sistem pasar secara sederhana misalnya (1) apabila pendekatan konvensional Intervensi ditentukan secara top-down oleh program atau bottom-up oleh fasilitator dan kelompok sasaran sedangkan sistem pasar intervensinya direncanakan dari awal melibatkan Mitra Swasta (off-takers) dengan berbagai dukungan para pihak yang mempunyai kepentingan terhadap pengembangan BUM Desa. (2) kebiasaan pendekatan konvensional memberikan bantuan langsung untuk mengatasi permasalahan kelompok sasaran (direct delivery atau direct intervention), sedangkan pendekatan pasar lebih kepada menciptakan model bisnis yang menjawab akar penyebab pada fungsi rantai nilai, pendukung dan lingkungan bisnis.(3) pendekatan konvensional memberikan bantuan langsung bersifat generik berupa modal kerja, investasi fisik (infrastruktur, peralatan) atau pelatihan, sedangkan pendekatan pasar lebih memberikan dukungan spesifik sesuai kebutuhan pengembangan model bisnis, misalnya temu usaha untuk pembentukan jejaring rantai pasok, pengenalan Sistem Operaional Prosedur,fasilitasi pendanaan oleh lembaga keuangan. (4) kebersinambungan Pendekatan konvensional solusinya bergantung pada pemberian bantuan langsung yang didanai Pemerintah, sedangkan pendekatan pasar kesinambungan solusi dijamin oleh model bisnis yang saling menguntungkan secara komersiil.
Apabila disepakati oleh para ahli, ingin mendorong agar supaya banyak BUM Desa kategorinya naik kelas dengan menyelesaikan pekerjaan rumah terlebih dahulu melalui membangun rencana bisnis, sudah barang tentu syarat fardhu kifayahnya membangun rencana bisnis yang sesuai dengan potensi pasar dan melibatkan pelaku pasar.
Penulis : Novi Susanto, Alumni FIA UB dan Market Linkages Manager pada Program Kemitraan Indonesia Australia (KOMPAK)