KANAL24, Saya sering mengatakan, hasil yang luar biasa hanya bisa dicapai dengan cara yang tidak biasa. Salah satu cara yang tidak biasa itu adalah menyentuh hal-hal yang strategis.
Dalam CEO Message sebelum-sebelumnya, saya sudah pernah menjelaskan bahwa di dalam ilmu manajemen kita mengenal tiga level keputusan di dalam organisasi yaitu: Strategis, Taktikal, dan Operasional yang sering saya singkat STO.
Keputusan Strategis dilakukan di posisi top level yaitu CEO untuk menentukan arah ke depan dalam mewujudkan tujuan organisasi. Dalam mengambil keputusan strategis si CEO umumnya mempertimbangkan berbagai perubahan yang terjadi di eksternal seperti Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi (PEST).
Keputusan Taktikal dilakukan pada level di bawahnya yaitu middle management/manajer yang merupakan pendetailan dari keputusan strategis ke dalam aktivitas-aktivitas spesifik di departemen dan divisi di masing-masing fungsi. Kalau keputusan strategis bersifat jangka panjang, maka keputusan taktikal bersifat jangka menengah/pendek.
Sementara keputusan Operasional dilakukan pada level paling bawah yaitu level pelaksana/staf yang berisi keputusan untuk menjalankan berbagai aktivitas sehari-hari organisasi.
Kalau menginginkan perubahan yang besar maka yang kita ubah haruslah yang di level strategis, bukan di level taktikal, apalagi operasional.
Agar mudah memahaminya, saya menggambarkannya dengan analogi sebuah pendulum.
Seperti pendulum yang sedang berayun, di ujung bagian atas adalah pengambilan keputusan strategis yang dilakukan oleh CEO. Di bagian tengah adalah pengambilan keputusan taktikal yang dilakukan oleh manajer. Sementara di bagian bawah adalah pengambilan keputusan operasional yang dilakukan oleh staf.
Kalau kita berada di posisi paling bawah, ketika kita bergerak 1 meter, maka ujung bandul itu akan bergerak 1 meter pula. Kalau kita naik berada di posisi tengah, ketika kita bergerak sejauh 1 meter, maka bandul akan berayun sejauh 10 meter. Dan kalau kita berada di posisi paling atas, ketika kita bergerak 1 meter, maka bandul tersebut akan berayun sejauh 100 meter. Jadi semakin ke atas daya ungkit (leverage) nya akan semakin tinggi.
Jadi kalau perubahan dilakukan di level strategis, maka perubahan sedikit saja akan bisa menghasilkan impak yang sangat besar di level operasional yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
Pertanyaannya sekarang, apa saja aspek-aspek yang masuk ke dalam level strategis? Ada tiga yaitu: Regulasi, Teknologi, dan SDM yang saya singkat menjadi RTS.
Kalau di dalam disiplin ilmu strategic management aspek-aspek itu mencakup Politik, Ekonomi, Sosial, dan Teknologi (PEST). Politik-Ekonomi-Sosial terwakili oleh regulasi. Sementara Teknologi berdiri sendiri, begitu juga SDM. Kalau Bung Karno menyebutnya Trisakti, yaitu: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara sosial budaya.
Regulasi
Regulasi adalah aspek yang sangat strategis. Kalau kita mengubahnya, maka perubahan yang dihasilkan akan besar. Maka lakukanlah deregulasi
Sebagai ilustrasi, pertumbuhan wisman ke Jepang bergerak eksponensial nyaris double, dari 10 juta turis pada tahun 2013 melonjak hampir 20 juta di 2015 dan kemudian melonjak lagi menjadi 24 juta pada tahun 2016.
Apa kunci keberasilan Jepang tersebut? Salah satunya adalah karena Jepang agresif melakukan deregulasi meluncurkan relaxation of visa rule. Mereka membebaskan Visa Kunjungan dari originasi China dan ASEAN sejak 2013. Mereka tahu, bahwa sumber pelanggannya berada di negara-negara terdekat dimana travelling cost murah.
Jadi berbagai kemudahaan kepada wisatawan tersebut terkait dengan pelonggaran regulasi. Atau kalau saya balik, tantangan terbesar dari negara-negara berkembang adalah birokrasi. Oleh karena itu harus dilakukan deregulasi besar-besaran, sehingga akan terwujud kemudahan-kemudahan dalam aktivitas ekonomi dan bisnis. Demikian juga pertumbuhan wisman yang terjadi di Vietnam Tahun 2017 melampaui pertumbuhan semua Negara di ASEAN, karena Vietnam telah melakukan deregulasi besar-besaran.
Maka apa yang dilakukan oleh Indonesia pada tahun 2015 merupakan sebuah keniscayaan yaitu melakukan perubahan regulasi terkait bebas visa. Hasilnya luar biasa, wisman langsung naik 20%. Begitu juga ketika dilakukan perubahan terkait ketentuan Clearance Approval Indonesia Territory (CAIT). Begitu dicabut, yacht yang masuk langsung naik 100%. Deregulasi menciptakan hasil yang luarbiasa.
Permasalahan utama negara berkembang termasuk Indonesia adalah kecepatan, hal ini disebabkan berbelitnya birokasi atau regulasi yang ada di pemerintahan. Oleh karenanya solusi ampuh untuk mengatasi lambatnya birokrasi ini adalah dengan melakukan perubahan regulasi atau deregulasi.
Sebagai contoh, ranking kita di dalam indeks Ease of Doing Business, Tour & Travel Competitiveness Index (TTCI), dan lain-lain umumnya rendah untuk hal-hal yang terkait dengan peraturan-peraturan dan ijin-ijin karena memang birokrasi kita banyak mengikat.
Hal ini dipertegas dalam pidato Visi Indonesia Pak Jokowi. “Sangat penting bagi kita untuk mereformasi birokrasi kita. Reformasi struktural! Agar lembaga semakin sederhana, semakin simpel, semakin lincah! Kalau pola pikir, mindset birokrasi tidak berubah, saya pastikan akan saya pangkas! Tolong ini dicatat karena kecepatan melayani, kecepatan memberikan izin, menjadi kunci bagi reformasi birokrasi kita,” ujar Pak Jokowi.
Sekali lagi, tantangan terbesar kita adalah kita lambat, dan penyelesaiannya adalah melalui perubahan regulasi atau tepatnya deregulasi. Kalau menggunakan ilmu manajemen, mengacu pada competitive strategy-nya Michael Porter, daya saing itu diciptakan melalui empat hal yaitu differentiation, cost leadership, focus dan speed. Nah, masalah utama kita adalah speed. Speed itu masalah birokrasi. Birokrasi itu masalah regulasi yang mengikat-ikat kita sendiri. Maka simplifikasilah semua regulasi yang berbelit-belit itu.
Teknologi
Yang kedua, kita juga bisa menghasilkan perubahan besar dengan mengubah teknologi, terutama teknologi digital yang kita tahu sudah mengubah banyak aspek kehidupan kita.
Perlu diingat, revolusi-revolusi industri yang telah terjadi selama ini diawali dari perubahan teknologi. Revolusi Industri Pertama terjadi di abad ke-18 (1784) ditandai dengan pesatnya kemajuan mesin uap dan mesin-mesin pengganti tenaga manusia. Revolusi Industri Kedua terjadi di penghujung abad ke-19 (1870) yang ditandai dengan kemajuan sistem produksi massal dan energi listrik.
Sementara Revolusi Industri Ketiga terjadi sejak 1969 yang ditandai kemajuan elektronik, ICT (informasi dan telekomunikasi), dan otomasi. Dan kini kita memasuki revolusi industri keempat yang ditandai dengan kemunculan berbagai teknologi seperti artificial intelligence, internet of things (IoT), big data analytics, robotics, augmented reality, cloud computing, blockchain, dan sebagainya.
Perubahan teknologi bisa menciptakan hasil yang double atau bahkan eksponsnsial. Karena itu sejak awal saya mendorong Kementerian Pariwisata untuk Go Digital. Saya katakan bahwa Go Digital adalah sebuah keniscayaan. No return point, tak bisa tidak kita harus merambah ranah digital untuk mewujudkan visi 20 juta wisman di tahun 2019. The more personal. The more digital, the more professional. The more digital, the more global.
Kita telah melakukan berbagai inisiatif terkait Go Digital seperti: War Room (Dasboard M-17), Indonesia Travel Exchange (ITX), Digital Destination, Competing Destination Model (CDM), dan terakhir inisiatif Wonderful Indonesia Digital Tourism 4.0.
Negara-negara pesaing terdekat kita seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand kini telah meluncurkan inisiatif Tourism 4.0 karena mereka tahu bahwa penerapan berbagai teknologi 4.0 seperti artificial intelligence, big data analytic, atau internet of things bisa mendongkrak daya saing sektor pariwisata mereka secara eksponensial. Karena itu kita tak boleh ketinggalan untuk menerapkannya, yang tahun ini kita mulai dari aspek SDM-nya, yaitu melakukan training WIDI (Wonderful Indonesia Digital Tourism) Champion.
SDM
Nah yang terpenting tentu adalah SDM. Kalau mau membuat perubahan mega maka ubahlah SDM-nya: ubahlah kultur dan kompetensi manusianya. Kalau meminjam istilah Pak Presiden: lakukanlah Revolusi Mental.
Terkait dengan membangun manusia ini, saya punya pesan khusus sebagai sebuah solusi yang cepat. Pengembangan SDM yang saya yakini ampuh adalah mengundang talenta-talenta terbaik di dunia, terutama diaspora Indonesia, untuk mengajari bangsa ini. Dan kita yang diajari jangan resisten. Yang butuh adalah anak-anak muda, para mahasiswa, dan jangan sampai kita yang tua-tua merasa tersaingi dan kemudian resisten.
Untuk gampangnya, kita mulai saja dari diaspora. Karena kalau mengirim mahasiswa-mahasiswa ke Harvard atau MIT kan mahal. Kita mulai saja dengan meminta orang-orang hebat Indonesia yang berkarya di luar negeri, mereka yang bekerja di Google, di GE, di Apple, atau di Alibaba, untuk mengajari anak-anak mahasiswa kita.
Coba saja lihat Singapura. Di jaman Lee Kuan Yew, banyak rektor dan dosen universitas-universitas di Singapura seperti National University of Singapore (NUS) atau Nanyang Technological University (NTU) diimpor dari universitas-universitas top di Amerika dan Eropa. Universitas-universitas top dunia seperti University of Chicago Business School atau INSEAD kini sudah hadir di Singapura. Sementara di Indonesia, tak satupun ada di sini. Seharusnya dipertimbangkan untuk mengundang Harvard atau MIT untuk buka cabang di sini, sehingga kita tak perlu mahal-mahal belajar ke Amerika Serikat.
Kalau Singapura mengimpor orang-orang hebat dari luar negeri, apakah bangsa Singapura merasa rendah? Sama sekali tidak. Mereka menyerap ilmu sebanyak mungkin dari luar negeri untuk membangun kualitas manusia mereka.
Di zaman Deng Xiaoping, Cina mengirim puluhan ribu mahasiswa ke luar, termasuk ke Singapura, dan mereka tidak malu demi kebaikan bangsa Cina. Di zaman Pak Mahatir tahun 1990an dan di tahun-tahun sebelumnya, guru-guru dan dosen-dosen kita di-hire untuk mengajar di SMP, SMA, dan perguruan tinggi di Malaysia.
Sewaktu di Telkom, dalam skala kecil saya juga melakukannya. Saya undang 7 perguruan tinggi terbaik di dunia termasuk INSEAD dan Kellogg menjadi partner Telkom Corporate University (Corpu). Kenapa begitu? Karena sudah saya hitung, dengan anggaran Telkom yang terbatas mentok saya hanya bisa mengirim 200 karyawan untuk sekolah S2 dan S3, serta 1000 karyawan untuk on the job training di luar negeri. Di atas itu saya tak mampu.
Hasilnya sungguh membanggakan. Beberapa waktu lalu saya dikabari temen-temen Telkom bahwa Telkom Corpu meraih penghargaan Gold Award, Best Overall Corporate University in the World dalam GlobalCCU Forum 2019 di Sao Paulo Brazil bulan Mei 2019 lalu.
Bangsa ini harus begitu, harus menjadi bangsa pemenang melalui manusia-manusia yang handal. Mumpung presidennya Pak Jokowi yang betul-betul committed mengalokasikan sumber daya yang besar untuk membangun SDM dan pendidikan. (sdk)
Arief Yahya, Menteri Pariwisata Indonesia