Kanal24, Malang — Polemik antara Pesantren Lirboyo dan Trans7 beberapa waktu terakhir menyisakan pelajaran penting tentang hubungan media dan lembaga keagamaan. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan budaya viral, batas antara kritik dan penghormatan terhadap tradisi semakin kabur. Peristiwa ini bukan sekadar persoalan jurnalisme, tetapi soal sensitivitas budaya, adab, dan penghargaan terhadap lembaga keagamaan yang telah berabad-abad membentuk karakter bangsa.
Pandangan itu disampaikan oleh Mokhamad Nur, S.T.P., M.Sc., Ph.D., Ketua Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Universitas Brawijaya. Menurutnya, pemberitaan media tentang pesantren kerap kali tidak proporsional karena gagal memahami konteks sosial dan religius yang melekat kuat pada kehidupan pesantren.
“Media tidak cukup sensitif terhadap kultur dan budaya yang dibangun oleh pesantren sebagai salah satu otoritas keagamaan. Padahal pesantren punya struktur nilai, adab, dan tradisi yang sudah teruji selama lebih dari satu abad,” tegas Nur.

Kritik Boleh, Tapi Harus dengan Adab
Nur menegaskan bahwa pesantren bukan lembaga yang anti terhadap kritik. Justru, pesantren terbuka terhadap dialog dan pembaruan, termasuk dalam menghadapi dunia digital. Namun, kritik terhadap pesantren harus disampaikan dengan cara yang memahami nilai-nilai spiritual dan hubungan khas antara kiai dan santri.
“Dalam pesantren, adab itu sangat penting. Hubungan antara kiai dan santri bukan relasi kuasa, tetapi hubungan murabbi dan murid. Kritik boleh, tapi harus disampaikan dengan cara yang pas, karena di dalamnya ada unsur keagamaan yang harus dijaga,” ujarnya.
Ia menilai, framing negatif dalam liputan yang menyoroti sisi sempit pesantren tanpa memperlihatkan konteks nilai-nilai keikhlasan, spiritualitas, dan pendidikan justru memperkuat kesalahpahaman publik.
“Banyak sisi pesantren yang sangat positif, seperti kemandirian, kepedulian sosial, dan ketulusan dalam mendidik. Mengapa sisi itu tidak diangkat?” katanya dengan nada retoris.
Pesantren dan Media Modern Harus Saling Belajar
Di era digital, lanjut Nur, pesantren tidak lagi menutup diri terhadap perkembangan teknologi. Banyak pesantren kini aktif di YouTube, menggelar pengajian kitab kuning secara live streaming, bahkan membuka kanal dakwah digital sendiri. Hal itu menunjukkan kemampuan pesantren beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
“Pesantren sudah belajar menyesuaikan diri dengan zaman dan teknologi. Sekarang giliran media modern juga belajar memahami pesantren,” tutur Nur.
Ia bahkan mengusulkan agar jurnalis yang ingin meliput pesantren perlu melakukan pendekatan partisipatif journalism, yakni ikut merasakan kehidupan pesantren secara langsung sebelum menulis.
“Kalau perlu, beberapa wartawan ikut ngaji beberapa hari. Supaya tahu bagaimana adab, bagaimana hubungan santri dengan kiai, dan nilai-nilai yang hidup di dalamnya,” imbuhnya.
Membangun Relasi Baru antara Pesantren dan Media
Nur menilai, ke depan perlu ada kesepahaman baru antara media dan pesantren dalam membangun narasi yang adil dan konstruktif. Media diharapkan tidak lagi sekadar mencari sensasi, tetapi ikut berperan dalam mencerdaskan publik melalui pemberitaan yang mendalam dan menghormati nilai-nilai lokal.
“Saya kira baik pesantren maupun media perlu kerendahan hati untuk saling belajar. Media bisa belajar nilai keikhlasan dan spiritualitas pesantren, sementara pesantren bisa terus memperkuat literasi digital dan komunikasi publiknya,” pungkas Nur.
Menurutnya, kisah ini harus menjadi refleksi bersama bahwa peran media bukan hanya menyebarkan informasi, tetapi juga menjaga martabat kultural dan moral bangsa. Dan dalam konteks Indonesia, pesantren adalah salah satu pilar moral itu. (Din)