Proses penciptaan laki-laki dan perempuan, yang dengannya lahir keturunan yang banyak sehingga terbentuklah golongan, suku dan bangsa dengan satu maksud agar semua mereka bisa saling mengenal melalui beragam proses interaksi dan pola hubungan. Dalam proses interaksi ini akan sangat berpotensi menimbulkan dua kemungkinan, harmonisasi atau disharmoni. Komunikasi yang baik akan melahirkan harmoni, namun dalam realitasnya proses interaksi sering kali melahirkan disharmoni karena setiap orang tercipta dalam beragam perbedaan.
Komunikasi disharmoni manakala dibiarkan tentu akan melahirkan dampak yang jauh lebih besar, berupa konflik, pertentangan, pertikaian, hingga peperangan yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan berbangsa. Untuk itu islam hadir bagi ummat manusia sebagai solusi guna menyelesaikan persoalan kehidupan. Salah satu solusi islam dalam perkara ini adalah sikap saling memaafkan, yaitu kesediaan diri untuk membuka diri menerima ruang bagi orang lain yang pernah berbuat salah atau menyakiti dalam posisi netral dan menerima kesalahan dengan ikhlas. Untuk itulah Allah swt memerintahkan kepada setiap muslim untuk menjadi pribadi pemaaf.
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS Al-A’raf : 199)
Tercatatlah dalam sebuah kisah tentang pemaafan nabi Muhammad saw. Semenjak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi, tak henti-hentinya beliau mendapatkan hinaan, ancaman dan intimidasi dari kalangan masyarakat Arab Makkah pada saat itu. Para pembesar quraisy selalu berupaya mengintimidasi nabi dengan berbagai cara, hingga mereka menyewa seorang yahudi untuk menyakiti Nabi saw tatkala nabi setiap kali berjalan menuju Ka’bah. Yahudi ini berpura-pura memanggil nabi, sebagaimana kebiasaan nabi yang selalu menghormati orang, beliau menoleh dan saat itulah si yahudi meludahi muka Nabi, namun nabi bergeming tanpa reaksi apapun. Keesokan harinya, saat nabi menuju Ka’bah didapatinya si yahudi berada di tempat sebagaimana sebelumnya. Lalu dipanggilnya Nabi dan diludahinya seperti hari sebelumnya. Demikianlah peristiwa ini terjadi hingga beberapa waktu lamanya. Suatu ketika, nabi melewati jalan seperti biasanya, namun tidak dijumpai si yahudi yang selalu meludahi. Setelah mendapat informasi, ternyata si yahudi sedang sakit. Nabi pun pulang mengambil makanan, membeli buah-buahan dan berjalan ke rumah si yahudi.
Sesampainya di depan rumah yahudi, nabi mengetuk pintu, sesaat kemudian keluarlah si yahudi, betapa kagetnya ketika dijumpainya seseorang yang selama ini dia ludahi telah berada di depan pintu rumahnya. “Untuk apa engkau datang kemari?” tanya si Yahudi. “Aku datang untuk menjengukmu, karena aku mendengar engkau sedang sakit,” jawab Nabi dengan suara yang lembut. “Wahai Muhammad, ketahuilah bahwa sejak aku jatuh sakit, belum ada seorang pun datang menjengukku. Bahkan Abu Jahal yang telah menyewaku untuk menyakitimu pun tidak datang menjengukku, padahal aku sudah beberapa kali mengutus orang kepadanya agar ia datang memberikan sesuatu kepadaku. Namun engkau, yang telah aku sakiti selama ini dan aku ludahi berkali-kali, yang pertama kali datang menjengukku,” kata Yahudi itu terharu. Ia pun lantas memeluk Nabi, mengucapkan maaf, dan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa si yahudi menyatakan masuk Islam. Demikianlah sikap pemaaf nabi yang luar biasa, sekalipun dirinya disakiti namun pintu hati pemaafannya jauh lebih besar. Demikian pula sikap pemaafan nabi terhadap penduduk Thaif yang sempat mengusir nabi disaat hijrah aqabah pertama ke sana. Nabi menampilkan sifat pemaafannya yang luar biasa.
Untuk memaafkan membutuhkan jiwa yang hidup, pemahaman yang lurus, serta harapan masa depan yang lebih baik di akhirat. Sikap pemaafan akan mampu meringankan beban diri seseorang serta memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah swt. Sebagaimana dikisahkan dalam riwayat al hakim, pada suatu hari, Nabi saw sedang berkumpul dengan para sahabatnya. Di tengah perbincangan dengan para sahabatnya, tiba-tiba Rasulullah saw. tertawa ringan sampai-sampai terlihat gigi depannya. Umar r.a. yang berada di di situ, bertanya, “Demi engkau, ayah dan ibuku sebagai tebusannya, apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?”
Rasulullah SAW menjawab, ” Aku di beritahu Malaikat, bahwa pada hari kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala mereka di hadapan Allah”. Salah satunya mengadu kepada Allah sambil berkata : “Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat zalim kepadaku”. Allah SWT berkata, “Bagaimana mungkin Aku mengambil kebaikan saudaramu ini, karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya sedikitpun?”. Orang itu berkata, ” Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya”.
Sampai di sini, mata Rasulullah SAW berkaca-kaca. Rasulullah SAW tidak mampu menahan tetesan airmatanya. Beliau menangis, alu, beliau Rasulullah berkata, “Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, di mana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosa nya.”
Rasulullah SAW melanjutkan kisahnya. Lalu Allah berkata kepada orang yang mengadu tadi, “sekarang angkat kepalamu..”. Orang itu mengangkat kepalanya, lalu ia berkata, “Ya Rabb, aku melihat di depan ku ada istana-istana yang terbuat dari emas, dengan puri dan singgasananya yang terbuat dari emas & perak bertatahkan intan berlian..!”. “Istana-istana itu untuk Nabi yang mana, ya Rabb?”. Allah menjawab, “Untuk orang shiddiq yang mana, ya Rabb?. “Untuk Syuhada yang mana, ya Rabb?” Tanya si pengadu. Allah berkata, “Istana itu diberikan kepada orang yang mampu membayar harganya”. Orang itu berkata, “Siapakah yang bakal mampu membayar harganya, ya Rabb?”. Allah berkata, “Engkau mampu membayar harganya.”
Orang itu terheran-heran, sambil berkata, “Dengan cara apa aku membayarnya, ya Rabb?”. Allah berkata, “caranya engkau maafkan saudaramu yang duduk di sebelahmu, yang kau adukan kezalimannya kepada-Ku’. Orang itu berkata, “Ya Rabb, kini aku memaafkannya.” Allah berkata, “Kalau begitu, gandeng tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk surga bersamamu.” Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah saw. berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian saling berdamai dan memaafkan, sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin.”
Memaafkan itu meringankan beban, sekalipun memaafkan itu amat berat, terlebih kepada orang yang telah pernah menyakiti. Namun jika kita menyadari bahwa dalam pemaafan terhadap orang lain maka Allah swt akan memaafkan kesalahan kita dan akan meninggikan derajat kelak di sisiNya. semoga Allah mengkaruniakan jiwa pemaaf atas diri kita dan mengampuni dosa kesalahan kita. Aamiiin