Kanal24 – Pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka statistik, melainkan sebuah cerminan nyata dari kesejahteraan rakyat dan keberhasilan pemerintah dalam mengelola negara. Menurut ekonom Amerika Serikat peraih Nobel, Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan kemampuan jangka panjang suatu negara untuk menyediakan barang dan jasa bagi penduduknya. Faktor utama yang memengaruhi adalah kemajuan teknologi, stabilitas ketersediaan barang, serta pemanfaatan sumber daya secara efisien.
Sejarah perekonomian Indonesia menunjukkan perjalanan yang panjang, penuh dinamika, dan sarat dengan tantangan. Dari masa Presiden Soekarno hingga Joko Widodo (Jokowi), grafik pertumbuhan ekonomi mencatat pasang surut yang dipengaruhi gejolak politik, kebijakan nasional, serta kondisi ekonomi global.
Baca juga:
Tim Departemen Ilmu Ekonomi UB Dorong Desa Sumberdem Wonosari Menjadi Destinasi Wisata Kopi
Era Soekarno (1945–1967): Membangun Fondasi, Terjebak Hiperinflasi

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, memimpin perekonomian di masa awal kemerdekaan yang penuh keterbatasan. Fokus utama kala itu adalah menata kembali sistem ekonomi warisan kolonial.
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi mencapai 5,74 persen pada 1961 dan 1962, namun jeblok menjadi minus 2,24 persen pada 1963. Penyebab utamanya adalah biaya politik yang membengkak untuk membiayai berbagai proyek ambisius, termasuk pembangunan infrastruktur olahraga Asian Games.
Krisis memuncak pada 1965 ketika inflasi melesat hingga 600 persen. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita tercatat hanya sekitar Rp 5,5 juta. Meski pada 1964 sempat tumbuh 3,53 persen, kestabilan ekonomi sulit dipertahankan.
Era Soeharto (1967–1998): Orde Baru, Stabilitas yang Rapuh

Soeharto mengambil alih kepemimpinan di tengah kondisi ekonomi yang morat-marit. Dengan mengesahkan UU Penanaman Modal Asing 1967, ia membuka pintu bagi investor asing. Program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang dimulai 1969 sukses mendorong swasembada pangan dan pertumbuhan industri.
Hasilnya, pertumbuhan ekonomi melonjak hingga 10,92 persen pada 1970 dan bertahan stabil di kisaran 6–7 persen selama dua dekade berikutnya. Indonesia bahkan dijuluki Macan Asia. Namun, struktur ekonomi kala itu sangat terpusat pada pemerintah dan kroni-kroni penguasa.
Ketika krisis moneter Asia melanda pada 1997–1998, pondasi ekonomi yang rapuh runtuh. Rupiah anjlok, inflasi mencapai 80 persen, dan pertumbuhan ekonomi merosot drastis menjadi minus 13,13 persen pada 1998. Krisis ini akhirnya mengguncang Orde Baru hingga kejatuhan Soeharto.
Era BJ Habibie (1998–1999): Pemulihan Transisi

BJ Habibie yang hanya menjabat 17 bulan mampu membawa ekonomi kembali bernapas. Pertumbuhan ekonomi yang minus 13,13 persen di 1998 membaik menjadi 0,79 persen pada 1999.
Habibie juga membuat kebijakan monumental dengan memberikan independensi kepada Bank Indonesia, memutus hubungan BI dari intervensi politik. Rupiah yang sempat terpuruk ke Rp 16.650 per dolar AS pada Juni 1998 menguat signifikan ke Rp 7.000 per dolar AS pada akhir tahun.
Kebijakan restrukturisasi perbankan dan reformasi keuangan membuat era Habibie menjadi titik balik menuju stabilitas.
Era Abdurrahman Wahid (1999–2001): Desentralisasi Fiskal

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melanjutkan pemulihan ekonomi pasca-krisis. Pertumbuhan ekonomi mencapai 4,92 persen pada 2000, meningkat cukup signifikan dari era Habibie.
Kebijakan utama Gus Dur adalah desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah pusat mulai membagi dana pembangunan secara lebih merata kepada daerah, disertai pemberlakuan pajak dan retribusi daerah. Namun, gejolak politik membuat pertumbuhan melambat ke 3,64 persen pada 2001.
Era Megawati (2001–2004): Stabilitas Bertahap

Megawati Soekarnoputri melanjutkan agenda pemulihan dengan hasil yang lebih stabil. Pada 2002, pertumbuhan ekonomi Indonesia naik ke angka 4,5 persen, kemudian meningkat lagi ke 4,78 persen pada 2003. Di akhir masa pemerintahannya 2004, ekonomi tumbuh 5,03 persen.
Salah satu capaian penting era Megawati adalah penurunan tingkat kemiskinan, dari 18,4 persen pada 2001 menjadi 16,7 persen pada 2004. Perbaikan sektor perbankan dan penerbitan obligasi membantu memperkuat kepercayaan pasar.
Era Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014): Stabilitas di Tengah Krisis Global

Kepemimpinan dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencatat kinerja pertumbuhan yang cukup konsisten. Pada awal pemerintahannya, pertumbuhan mencapai 5,69 persen di 2005, lalu melaju di atas 6 persen pada 2007–2012, dengan puncak 6,49 persen di 2011.
Meski krisis finansial global 2008–2009 sempat menekan pertumbuhan ke 4,63 persen, Indonesia tetap termasuk dalam tiga negara dengan pertumbuhan terbaik di dunia. SBY juga mulai merancang Rencana Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai arah pembangunan jangka panjang.
Namun, menjelang akhir masa jabatannya, pertumbuhan melambat ke 5,01 persen pada 2014 akibat melemahnya harga komoditas dunia.
Era Joko Widodo (2014–2019): Infrastruktur dan Tantangan Global

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meletakkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama untuk memperkuat daya saing. Di awal masa jabatannya 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lemah di angka 4,88 persen. Namun, perbaikan terjadi secara bertahap: 5,03 persen pada 2016, 5,07 persen pada 2017, dan 5,17 persen pada 2018 — tertinggi di era Jokowi.
Pendorong utama pertumbuhan adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi lebih dari 55 persen, disusul investasi yang mencapai 6,01 persen pada 2018. Meski begitu, pada 2019 pertumbuhan melambat sedikit ke 5,02 persen akibat perang dagang AS–China dan ketidakpastian global.
Meski Jokowi menargetkan pertumbuhan hingga 7 persen, realisasi hanya berkisar 5 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai angka itu sudah cukup baik mengingat tekanan eksternal.
Tantangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ke Depan

Meski relatif stabil, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan berat. Pertama, ketergantungan pada konsumsi domestik membuat pertumbuhan mudah tertekan jika daya beli masyarakat melemah. Kedua, industrialisasi nasional masih belum berjalan optimal, membuat nilai tambah produk ekspor rendah.
Ketiga, sektor pariwisata dan jasa yang digadang-gadang sebagai motor baru pertumbuhan belum sepenuhnya berkembang. Keempat, ketimpangan antarwilayah masih nyata, terutama di kawasan timur Indonesia.
Baca juga:
Ketimpangan Dagang RI-AS: Diplomasi Minim Visi dan Kajian
Untuk menjawab tantangan itu, pemerintah mendorong penguatan UMKM dan koperasi, memperbaiki birokrasi perizinan melalui sistem Online Single Submission (OSS), serta memperluas pemerataan pembangunan infrastruktur ke daerah-daerah.
Jejak panjang pertumbuhan ekonomi Indonesia dari Soekarno hingga Jokowi menunjukkan bahwa kemajuan tidak pernah lepas dari pasang surut. Dari hiperinflasi era Soekarno, pertumbuhan pesat Orde Baru, keterpurukan krisis 1998, hingga stabilitas reformasi dan pembangunan infrastruktur Jokowi, setiap presiden meninggalkan jejak kebijakan yang membentuk wajah ekonomi Indonesia hari ini.
Pertanyaannya kini: apakah Indonesia mampu melampaui stagnasi di angka 5 persen dan mencapai pertumbuhan yang benar-benar menyejahterakan seluruh rakyatnya? (nid)