Kanal24, Malang – Usulan atas penambahan masa jabatan Kepala Desa (Kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun dalam satu periode tuai pro dan kontra.
Analis Sosial Politik dan Kelembagaan Universitas Brawijaya (UB) Ahmad Imron Rozuli menilai bahwa perubahan perundangan dapat saja dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek filosofis, sosiologis, serta yuridis.
“Landasan perundangan itu ada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis, dan Desa itu sebetulnya kan didesain untuk menjadi daerah yang namanya otonom.” tuturnya pada Kanal24.
Menurut Imron, sebagai wilayah yang otonom, Desa diharapkan punya dua hal seperti yang diamanahkan undang-undang yaitu tentang rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal-usul, artinya keberadaan desa yang mungkin sudah berdiri lama dengan segala adat istiadat dan hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat lokal diakui keberadaanya dan subsidiairitas atau kewenangan yang berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa.
“Kaitan dengan masalah rekognisi saya kilas balik, dulu desa tidak didukung dengan suplemen anggaran yang memadai sehingga desa kemudian banyak dimanfaatkan sebagai instrumen politik pada masa orde baru.“ katanya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) ini mengungkapkan bahwa kondisi tersebut mulai berubah saat masa disentralisasi.
“Setelah masuk masa disentralisasi kondisinya berubah, kemudian disahkannya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan terbitnya PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa termasuk didalamnya adalah masa jabatan Kepala Desa.” ujarnya.
Imron mengungkapkan bahwa dulu pengganti Kepala Desa itu adalah anak keturunannya seperti pada sistem Desa Perdikan, itu diakui. Namun situasinya semakin berkembang, nuansa dan instrumennya juga semakin bergeser ke proses politik praktis.
“Meskipun secara tidak langsung begitu tetapi itu yang terjadi. Akumulasi biaya politik dan biaya sosial menimbulkan hiruk pikuk selama masa enam tahun jabatan seorang Kepala Desa.” katanya.
Ia menilai ketegangan pasca pemilihan Kepala Desa yang tinggi kerap terjadi, ditambah dengan kegagalan Kepala Desa melakukan konsolidasi menyebabkan kohesifitas masyarakat semakin merenggang, hal tersebut sangat disayangkan dan harus diminimalisir.
“Selama enam tahun tersebut, dinamika yang terbentuk hanya berputar pada kubu ini dan itu, pola demokrasi yang berlangsung dengan mekanisme one man one vote menjadi rawan untuk disalahgunakan.” ujarnya.
Unjuk rasa Persatuan Perangkat Daerah Indonesia di Depan Gedung DPR Senayan (Foto : Antara)
Menurutnya, masa jabatan sembilan tahun berarti Kepala Desa memiliki waktu yang lebih panjang untuk melaksanakan program kerjanya.
Namun ia menilai, ada keniscayaan watak otoriter itu muncul seperti yang terefleksi dari beberapa kejadian di masa lalu.
“Mereka kemudian menjadi dominan terutama pada aspek yang menyangkut sumber daya.” katanya.
Aspek keuangan yang mengatur sumber daya manusianya maupun hak pengelolaan terhadap aset Desa itulah yang menurutnya perlu dikhawatirkan.
“Paling tidak yang menjadi calon Kepala Desa itu harus punya projectory sebuah program yang akan dilaksanakan gitu ya sebelum dia menjadi calon (Kepala Desa) ya.” tuturnya.
Awal mula polemik perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi sembilan tahun dimulai ketika Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menegaskan bahwa masa jabatan Kepala Desa yang 9 tahun akan memberikan keuntungan bagi warga desa (16/1/2023). Usulan tersebut menuai pro kontra dari para pakar hukum yang menyatakan bahwa hal tersebut rawan korupsi. Namun, sejumlah Kepala Desa dari berbagai daerah melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR untuk mendesak revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. (din/sat)