Kanal24, Malang – Tantangan ketimpangan kesejahteraan dan rendahnya akses masyarakat sekitar tambang terhadap pembangunan mendorong diselenggarakannya Extractive Transparency Day 2025 oleh Kementerian ESDM, FEB UB, dan EITI Indonesia pada Kamis (20/11/2025) di FEB Universitas Brawijaya. Acara ini menjadi ruang pembahasan mendalam mengenai program pemberdayaan masyarakat (PPM), model tata kelola tambang, serta dampaknya bagi penduduk lokal di sekitar kawasan ekstraktif.
PPM Harus Menciptakan Kemandirian
Perwakilan Direktorat Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Benny Hariyadi, S.Y., M.Kesos, menegaskan bahwa PPM tidak boleh sekadar kegiatan seremonial, tetapi harus diarahkan pada kemandirian jangka panjang.

“PPM bukan untuk menciptakan ketergantungan, tetapi membangun sistem yang berkelanjutan, terutama menghadapi masa pasca-tambang,” jelasnya.
Menurut Benny, program PPM mencakup pendidikan, pemberdayaan UMKM, penguatan ekonomi, dan penyesuaian dengan kebutuhan lokal seperti pertanian atau nelayan.
Kesadaran Perusahaan dan Mindset Pemberdayaan
Benny menekankan bahwa tantangan terbesar adalah membangun kesadaran perusahaan mengenai kewajiban PPM, selain memastikan program dirancang untuk menciptakan kemandirian.
“Mindset harus berubah. Program tidak boleh hanya menggugurkan kewajiban, tetapi harus benar-benar memberdayakan masyarakat,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan agar PPM tepat sasaran.
Ketimpangan Kompetensi Masyarakat Sekitar Tambang
Akademisi FEB UB, Prof. Dwi Budi Santoso, S.E.,M.S.,Ph.D, menyoroti bahwa masyarakat sekitar tambang sering tidak memiliki kompetensi untuk terlibat langsung dalam industri yang berteknologi tinggi.
“Tidak ada tambang yang dimotori masyarakat lokal. Teknologi mahal dan berisiko tinggi, sehingga perusahaan besar masuk dari luar,” jelasnya.
Akibatnya, masyarakat lokal sering tertinggal dan tidak menikmati peningkatan kesejahteraan yang seharusnya.

Pentingnya Pengawasan dan Transformasi Ekonomi Lokal
Prof. Dwi menerangkan bahwa undang-undang meminta perusahaan tak hanya mencari profit, tetapi juga membina masyarakat agar mampu keluar dari ketergantungan pada pertanian tradisional.
“Pemberdayaan itu tidak murah. Dan tanpa pengawasan yang kuat, perusahaan akan selalu mengejar profit,” katanya.
Transformasi masyarakat menuju petani modern atau pelaku ekonomi produktif menjadi tujuan besar pemberdayaan.
Menjembatani Jurang Trickle Down Effect
Penelitian FEB UB menunjukkan rendahnya trickle down effect akibat minimnya keterlibatan masyarakat dalam rantai pasok perusahaan tambang. Skill dan standar kompetensi dinilai belum sesuai kebutuhan industri.
“PPM harus mendorong masyarakat masuk ke supply chain perusahaan. Jika tidak, mereka hanya menjadi penonton,” jelas Dekan FEB UB, Dr. Abdul Ghofar.
Transparansi data perusahaan juga krusial untuk membuka akses partisipasi masyarakat.
Diskusi ini menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat di sekitar tambang adalah proses panjang yang membutuhkan pengawasan kuat, kolaborasi lintas sektor, dan komitmen perusahaan. Tanpa transformasi kompetensi dan peningkatan akses, ketimpangan ekonomi di kawasan ekstraktif akan terus berulang. (nid/tia)










