Kita sadar nggak, kalau setiap hari kita itu turut menyumbang sampah untuk bumi ini. Perilaku konsumtif itu yang terus membuat kita setiap harinya memproduksi sampah. Plastik, sisa makanan, barang-barang yang tak terpakai, baju, dan lain sebagainya yang menumpuk dan berakhir menjadi gunungan sampah di TPA. Tak jarang hal yang tidak bijak kita lakukan, membuang sampah-sampah itu di sungai dan di sembarang tempat. Memangnya kita mau tinggal di mana, kalo bumi dipenuhi dengan sampah?
Berdasarkan pada data Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, total sampah di Indonesia tahun 2019 saja mencapai 68 juta ton. Sampah didominasi oleh sampah organik, 60% dari total keseluruhan. Biasanya penangannya adalah dengan mengolah sampah organic menjadi pupuk kompos. Tapi kumpulan anak muda ini punya cara lain untuk mendulang sampah-sampah itu menjadi rupiah yang menggiurkan.
Magalarva adalah perusahaan limbah organik yang mengolah sampah organik menjadi pakan ternak dari bioteknologi black soldier fly. Arunee Sarasetsiri, Co Founder dari Magalarva menceritakan bahwa Magalarva hadir untuk menyelesaikan masalah sampah, yang 60%nya adalah sampah organic. Meskipun sampah ini organik, ke depan pasti akan menjadi masalah yang besar ketika tidak ada penanganan serius yang bisa dilakukan.
Rendria Arsyan Labde, CEO dan Co Founder Magalarva, di Jakarta saja sampah organic sudah ada 7000ton. Ia dan tim fokus untuk mengatasi isu lingkungan terutama konsen pada masalah sampah ini, yang dimulai dari tahun 2017 melakukan riset pada BSF dan akhirnya jadilah project ini.
Black Soldier Fly (BSF) adalah lalat yang digunakan untuk solusi dari sampah-sampah ini. Larva dari BSF bisa memakan sampah-sampah organik. Dalam sehari 6 ton sampah dapat diproses. Sumbernya diperoleh dari sisa makanan, buah, sayur, dan lain sebagainya yang disupply dari hotel, industry, pasar, supermarket, dan tempat produksi sampah lainnya. Rata-rata produksi Margalarva mencapai 4 hingga 4,5 ton larva kering setiap bulannya.
Larva yang dihasilkan ini memiliki kandungan protein yang tinggi. Tujuh hari mengolah sampah, larva sudah besar dan bisa dipanen, kemudian dipisahkan larva dan residunya. Setelah itu larva dikeringkan atau ditepungkan. Akhirnya dari sini bisa dibuat pakan ikan, ayam, bebek, dll. Sedangkan residu diolah lagi jadi pupuk kompos.
Larva-larva ini dijual menjadi produk ekspor dengan harga Rp 35.000 hingga Rp 45.000 per kilogram, pasarnya bisa menjangkau Amerika Serikat dan Eropa. Sedangkan di Indonesia, harga jual larva kering ke masyarakat lokal masih seharga Rp 15.000 sampai Rp 18.000. Hal ini dikarenakan kesulitan bersaing pada produk-produk yang sudah ada.
Pada Februari 2019 lalu, Magalarva berhasil memperoleh pendanaan sebesar USD 30ribu atau sekitar Rp 430 juta dari Gree Ventures. Ini menjadi peluang untuk mengembangkan lebih besar lagi dengan meningkatkan kapasitas produksi. Siapa sangka sampah yang terbuang bisa jadi uang. Masalah bisa jadi rupiah ya, di tangan orang yang tepat. Di tengah situasi pandemi seperti ini juga ada sisi positif yang terjadi di lingkungan kita.
Industri Nanas Terintegrasi Dari Lampung
Udara jadi semakin segar, langit cerah, dan banyak hal yang ternyata harus kita syukuri. Ayok sayangi bumi kita, jaga dan rawat ia, jika bukan kita yang merawat lingkungan, siapa lagi? Kalau bukan di bumi, mau tinggal di mana lagi? Jadi #saveourearth ya kawan-kawan
Penulis : Martina Mulia Dewi Mahasiswa Agribisnis FP UB