Kanal 24, Malang — Interaksi manusia dengan gawai kini semakin intens. Hampir setiap aktivitas sehari-hari melibatkan teknologi, mulai dari komunikasi, hiburan, hingga pekerjaan. Namun, keterikatan yang berlebihan dengan perangkat digital membawa dampak serius bagi kesehatan otak maupun tubuh. Karena itu, sudah saatnya menjaga jarak melalui langkah sederhana yang dikenal sebagai detoks digital.
Peningkatan screen time memang memiliki sisi positif, seperti akses informasi yang lebih cepat dan pertumbuhan ekonomi digital. Namun, di sisi lain, risiko kesehatan pun kian besar. Durasi berlebih di depan layar berhubungan dengan insomnia, gangguan tidur, penglihatan kabur, sakit kepala, nyeri leher, punggung, serta bahu. Bahkan, dalam jangka panjang, bisa menurunkan kemampuan kognitif, meningkatkan risiko obesitas, hingga memicu adiksi digital. Khusus anak-anak, risikonya lebih serius karena otak dan tubuh masih dalam masa pertumbuhan. Kompas melaporkan adanya peningkatan screen time anak hingga 52 persen selama pandemi. Efeknya antara lain depresi, terganggunya perkembangan korteks otak (bagian penting untuk memproses informasi), serta menurunnya kemampuan konsentrasi.
Baca juga:
Sigma Male: Misterius, Mandiri, dan Berpengaruh
Durasi Screen Time yang Aman
Para ahli menyarankan batasan screen time sesuai usia. Untuk anak di bawah dua tahun, sebaiknya tidak ada screen time sama sekali, kecuali video call dengan keluarga. Anak usia 2–5 tahun maksimal satu jam per hari dengan pendampingan orang tua. Anak usia 5–17 tahun direkomendasikan maksimal dua jam per hari, kecuali untuk kebutuhan belajar. Batasan yang sama juga berlaku bagi orang dewasa di luar aktivitas pekerjaan. Jika dibandingkan dengan data penggunaan ponsel di Indonesia, terlihat jelas mayoritas masyarakat sudah mengalami overdosis screen time. Dengan demikian, detoks digital menjadi kebutuhan yang mendesak.
Apa Itu Detoks Digital?
Detoks digital didefinisikan sebagai periode tanpa paparan perangkat digital, seperti ponsel, komputer, laptop, atau konsol gim. Istilah ini pertama kali dikenalkan lewat jurnal ilmiah oleh peneliti dari Jerman dan Swiss pada 2012, ketika ponsel pintar dan media sosial mulai berkembang pesat. Tujuannya adalah mengurangi risiko kesehatan akibat penggunaan gawai, sekaligus mendorong manusia untuk lebih banyak berinteraksi langsung, bergerak aktif, dan memberi ruang istirahat bagi otak.
Namun, melakukannya tidak mudah. Emily Cherkin, pakar manajemen screen time, mengatakan kepada BBC, “Teknologi sudah menjadi bagian dari diri kita sekarang. Kita menggunakan bank dengan aplikasi, membaca menu restoran di ponsel, dan bahkan berolahraga dengan instruktur melalui layar. Teknologi sangat mengakar dalam hidup, kita menyiapkan diri kita sendiri menuju kegagalan jika kita mengatakan kita akan bebas dari digital selama seminggu.”
Kesadaran Digital sebagai Solusi
Jika detoks digital penuh terasa sulit, langkah lain adalah menerapkan kesadaran digital. Konsep ini diperkenalkan oleh Sina Joneidy, dosen di Teesside University, Inggris. “Saya memastikan penggunaan teknologi saya memiliki tujuan,” ujarnya kepada BBC.
Baca juga:
Program Berbagi Buah UB Rutin Tiap Jumat
Kesadaran digital berarti menggunakan teknologi secara sadar dan seperlunya, bukan sekadar untuk mengisi waktu kosong. Ini membantu manusia menghindari ketergantungan yang bisa memicu kecanduan. Misalnya, alih-alih terus-menerus menggulir media sosial saat bosan, seseorang bisa meluangkan waktu untuk istirahat mental atau aktivitas lain yang lebih menyehatkan.
Pada akhirnya, teknologi memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan modern. Namun, manusia tetap memiliki kendali atas cara menggunakannya. Dengan mengatur screen time dan menerapkan detoks maupun kesadaran digital, keterikatan pada gawai dapat diminimalisasi. Sehingga, teknologi kembali menjadi alat bantu kehidupan, bukan justru menjadikan manusia sebagai budaknya. (hans)