Kanal24, Malang – Etnografi, sebagai salah satu metode penelitian kualitatif, memiliki peran yang sangat penting dalam memahami budaya, nilai, dan norma yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks era digital yang sarat dengan arus informasi yang cepat dan tidak selalu akurat, etnografi menjadi kunci dalam mengungkap dinamika sosial yang kompleks dan terkadang tersembunyi. Metode ini memungkinkan peneliti untuk tidak hanya mengamati fenomena di permukaan, tetapi juga menggali lebih dalam hingga menemukan esensi dari suatu masalah sosial.
Metode etnografi juga relevan dalam penelitian media dan komunikasi, terutama di tengah maraknya penyebaran disinformasi. Di era digital ini, banyak fenomena sosial yang terjadi dan menyebar melalui platform digital. Namun, untuk memahami dampak sebenarnya dari fenomena tersebut, diperlukan observasi langsung di lapangan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh. Inilah mengapa penting bagi peneliti untuk tidak hanya mengandalkan data digital, tetapi juga melengkapi temuan mereka dengan interaksi langsung dengan masyarakat.
Melihat pentingnya pemahaman tentang studi etnografi, Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya menyelenggarakan Workshop 3in1 Metodologi Penelitian Kualitatif dengan tema Ekspedisi Etnografi di Tanah Papua: Patologi (Dis) Informasi, Konflik dan “Cipta Kondisi”, pada Senin-Selasa (09-10/9/2024). Acara ini menghadirkan narasumber utama, Dr. Vidhyandika Djati Perkasa, M.Sc., peneliti senior dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies Indonesia (CSIS).
Dalam paparannya, Dr. Vidhya menekankan pentingnya etnografi sebagai metode untuk mengobservasi budaya, nilai, dan norma yang hidup di masyarakat. “Etnografi sebagai salah satu metode penelitian kualitatif mengobservasi budaya bersama, nilai, norma,” ungkapnya di hadapan mahasiswa baru semester genap angkatan 2023 dan mahasiswa baru angkatan 2024 yang hadir dalam workshop.
Ia banyak membagikan pengalaman dan hasil penelitiannya di Papua yang bertajuk Addressing Disinformation in the Papuan Conflict; Intersectional Actors; Strategies, Motivations, and Funding Sources. Penelitiannya menyoroti manipulasi cerita untuk menciptakan disinformasi yang sering digunakan demi kepentingan pribadi, serta bagaimana hal ini memperpanjang konflik dan mempersulit upaya resolusi.
Penelitian etnografi yang dilakukannya merupakan gabungan etnografi di masyarakat dan digital (media sosial). Ia menyampaikan hasil etnografi digital perlu dikonfirmasi ke lapangan.
“Digital etnografi mengajarkan bagaimana mengamati publikasi dari berita-berita, apa yang diproduksi di media sosial harus dikonfirmasi secara langsung di lapangan”, ungkapnya.
Melalui workshop ini, para mahasiswa diharapkan dapat memahami lebih dalam tentang penelitian etnografi, tidak hanya dalam konteks Papua tetapi juga dalam memerangi disinformasi yang dapat mengancam stabilitas sosial di berbagai wilayah.(din)