Oleh : Tri Hendra Wahyudi*
Kanal24 – Perdebatan mengenai usia calon presiden dan wakil presiden telah menjadi topik hangat dalam beberapa waktu terakhir, terutama mengingat keputusan yang akan diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) besok, pada tanggal 16 Oktober 2023. Tentu saja, masalah ini memunculkan sejumlah perspektif yang menarik untuk diperhatikan.
Perspektif Hukum
Dari sudut pandang hukum, banyak ahli telah mengemukakan bahwa usia presiden dan wakil presiden sebenarnya merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy). Artinya, penetapan usia ini sepenuhnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang, yaitu presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seberapa pun usia yang dianggap layak oleh kedua pembuat undang-undang ini seharusnya tidak perlu dipertimbangkan dari segi konstitusi. Pasalnya, konstitusi telah memberikan mandat tentang kewenangan yang dimiliki oleh pembuat undang-undang.
Dengan demikian, harapan saya adalah bahwa MK seharusnya membuat keputusan yang konsisten dengan pendekatan open legal policy. MK mestinya menolak untuk membuat keputusan dan mengembalikan masalah usia calon presiden dan wakil presiden ini kepada pembuat undang-undang. Tindakan ini akan memperkuat citra MK yang selama ini konsisten dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya, yang tidak memasuki wilayah open legal policy.
Jika MK pada akhirnya membuat keputusan yang melebihi kewenangannya, yaitu menciptakan hukum positif terkait dengan usia calon presiden dan wakil presiden, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi MK di masa depan. Citra MK sebagai penjaga konstitusi yang independen akan turun di mata publik. Sebaiknya MK mengembalikan keputusan tentang usia presiden atau wakil presiden ini kepada presiden atau DPR RI untuk merevisi undang-undang.
Namun, kapan revisi ini sebaiknya dilakukan? Menurut saya, tidak perlu sekarang. Biarkan pemilu saat ini berjalan dengan tetap menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 karena aturan mainnya sudah disepakati. Mengubah undang-undang atau peraturan saat setiap pemilu terjadi akan menciptakan preseden buruk, dan kita tidak akan belajar bagaimana menjalankan pemilu dengan konsistensi menggunakan regulasi yang sama.
Perspektif Politik
Dari perspektif politik, kita semua tahu bahwa munculnya gugatan ke MK sebenarnya bukan dilakukan oleh anak presiden, tetapi banyak pihak yang menduga bahwa ini terkait dengan kemungkinan anak presiden, wali kota Solo, untuk menjadi wakil salah satu calon wakil presiden yang saat ini mulai santer disuarakan. Karena usianya saat ini baru 36 tahun, sementara Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 mensyaratkan usia minimal 40 tahun untuk calon wakil presiden.
Apakah ini benar atau tidak ? namun hal ini sudah menjadi konsumsi publik dan isu politik. Ini berarti kita tidak bisa mengabaikan proses-proses politik ini seolah-olah tidak ada yang terjadi. Ada kecenderungan kepentingan politik tertentu yang mencoba dimasukkan dalam perubahan undang-undang. Jika MK mengakomodasi hal seperti itu, publik akan menilai bahwa lembaga-lembaga politik kita tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk menjaga netralitas dan objektivitas keputusan politik yang mereka buat.
Jadi, apakah revisi ini diperbolehkan atau tidak? Apakah mengubah usia presiden dan wakil presiden sebagai syarat mereka bisa mencalonkan diri dalam pemilihan umum adalah mungkin atau tidak? Dari segi politik, saya pikir isu ini harus dikesampingkan.
Ada isu-isu lain yang lebih mendesak yang perlu dibahas, seperti terkait dengan tahapan pemilu yang sedang berlangsung, masalah yang mungkin terjadi dalam kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal melihat Sipol (Siste Informasi Partai Politik). Isu-isu seperti itu lebih penting untuk dibahas secara nasional daripada batasan usia presiden dan wakil presiden, yang menurut saya dapat ditunda atau bahkan tidak perlu diubah.
Perspektif Pemilu
Dalam perspektif pemilu, batasan usia presiden dan wakil presiden bervariasi di berbagai negara. Ada yang memungkinkan calon presiden atau wakil presiden di bawah usia 40 tahun, ada yang di atas usia 40 tahun, bahkan ada yang di atas 70 tahun. Meskipun begitu, seberapa pun usia yang disepakati selama itu merupakan hasil konsensus antara eksekutif dan legislatif sebagai pembuat undang-undang dan masuk akal dalam berbagai kajian ilmu politik, psikologi, sosiologi, ilmu pemerintahan, dan birokrasi, menurut saya itu bukan masalah yang mendesak.
Namun, masalahnya adalah jika perubahan ini dilakukan menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, ini akan menjadi kebiasaan buruk yang dapat terulang di kemudian hari. Pemilu yang baik adalah pemilu di mana terdapat kepastian hukum, di mana aturan hukumnya tetap, namun hasil pemilunya penuh kejutan, yang berarti pemilu berjalan secara bebas dan adil.
Oleh karena itu, para penyelenggara, termasuk para pembuat hukum, tidak boleh terbiasa mengubah aturan pemilu menjelang pemilihan. Idealnya, jika ingin merubah aturan, lakukan setelah pemilu tahun 2024, sehingga aturan yang digunakan pada tahun 2029 dapat diubah setelah pemilu tahun 2024 berlangsung. Kenapa perubahan undang-undang ini dilakukan di saat-saat terakhir? Publik akan menilai bahwa ada kepentingan politik yang kuat di dalamnya yang diduga mempengaruhi proses perubahan regulasi pemilu.
Jika publik kemudian menganggap bahwa ada kepentingan presiden, kelompok tertentu, atau partai tertentu yang mencoba memengaruhi perubahan undang-undang, kita tidak bisa mengabaikan pandangan publik. Terdapat kecenderungan yang kuat ke arah tersebut, dan mengapa hal ini baru dilakukan sekarang, padahal kita memiliki waktu yang cukup lama sejak pemilu 2019 berakhir hingga tahun 2023 ini? Sebaiknya, perubahan undang-undang ini dapat ditinjau dengan lebih hati-hati dan tanpa adanya intervensi politik yang kuat.
*)Tri Hendra Wahyudi, Pengamat Politik dan Pemilu, Dosen Ilmu Politik FISIP UB.
Comments 1