Kanal24, Malang – Dalam setiap lingkaran pertemanan, selalu ada satu orang yang lihai memainkan peran korban. Ia pandai membalikkan keadaan, menumpahkan keluh kesah, dan menuntut simpati tanpa henti. Dalam satu momen, ia bisa tampak sangat rapuh dan membutuhkan dukungan; di momen lain, ia bisa membuat orang di sekitarnya merasa bersalah atas sesuatu yang sama sekali bukan tanggung jawab mereka.
Fenomena ini dikenal sebagai playing victim—sebuah perilaku psikologis ketika seseorang terus menempatkan dirinya sebagai pihak yang paling disakiti untuk mendapatkan perhatian, menghindari tanggung jawab, atau bahkan mengontrol situasi secara halus. Namun, di balik sikap itu sering tersembunyi cerita yang lebih dalam. Ada yang tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan, kehilangan kendali atas hidupnya, atau menyimpan luka emosional yang tak pernah benar-benar pulih. Bagi sebagian orang, bersikap seperti korban adalah cara bertahan hidup, bukan strategi manipulatif. Karena itulah, memahami si playing victim bukan tentang membuat mereka berubah, melainkan tentang menjaga diri agar tidak ikut tenggelam dalam drama yang mereka ciptakan.

Belajar Menyimak Tanpa Memberi Label
Ketika seseorang mulai menceritakan betapa “semuanya salah” kecuali dirinya, naluri kita biasanya ingin menasihati atau sekadar menilai. Padahal, menyebut mereka “korban” hanya akan memperkuat pola pikir itu sendiri. Sebaliknya, cobalah mendengarkan dengan tenang tanpa menghakimi. Arahkan percakapan pada perasaan yang mereka alami: kecewa, marah, takut, atau sedih. Menurut Healthline, membiarkan mereka berbicara tanpa label membantu mencairkan emosi dan memberi ruang bagi kesadaran baru untuk tumbuh.
Batasan Bukan Tembok, Tapi Perlindungan
Empati bukan berarti harus mengorbankan ketenangan diri. Ketika si playing victim mulai membuat kita merasa bersalah, di situlah pentingnya menetapkan batas. Batasan bisa berupa menolak ikut dalam perdebatan yang berulang, tidak merasa perlu membenarkan diri atas tuduhan, atau sekadar menjaga jarak dari percakapan yang melelahkan. Menetapkan batas bukan tanda tidak peduli, melainkan cara menjaga kesehatan mental sendiri. Kita masih bisa menunjukkan kepedulian, tapi dengan cara yang tidak membuat energi terkuras atau harga diri terinjak.
Menolong Tanpa Harus “Memperbaiki”
Naluri untuk menolong sering kali membuat kita ingin memperbaiki orang lain. Namun, dalam kasus playing victim, upaya itu bisa berbalik arah. Mereka mungkin menolak saran atau malah menuduh kita tidak memahami perasaannya. Daripada berusaha “menyelamatkan”, coba bantu mereka menemukan pandangan baru dengan pertanyaan reflektif. Misalnya: “Kalau kamu bisa mengubah satu hal dari situasi ini, apa yang ingin kamu lakukan?” Pertanyaan sederhana itu bisa memancing kesadaran bahwa mereka masih punya kendali atas hidupnya, sekecil apa pun. Menurut ahli psikologi sosial, membantu mereka berpikir aktif jauh lebih efektif daripada memberi ceramah panjang lebar.
Dorongan Kecil, Dampak Besar
Tidak semua playing victim berniat jahat. Sebagian di antaranya benar-benar kehilangan arah. Maka, sedikit validasi dan dorongan bisa berarti besar. Ingatkan mereka pada hal-hal yang sudah mereka capai, pada kemampuan yang mereka miliki, dan kasih sayang dari orang-orang sekitar. Namun, jika perilaku mereka mulai berulang tanpa perubahan, jangan ragu untuk menyarankan bantuan profesional. Kadang yang mereka butuhkan bukan teman untuk curhat, tetapi ruang terapi yang aman untuk menyembuhkan diri.
Empati yang Dewasa
Memahami si playing victim sejatinya bukan tentang menyetujui perilakunya, melainkan memahami luka di baliknya. Tapi pada waktu yang sama, kita juga berhak menjaga keseimbangan diri.Karena tidak ada yang lebih bijak daripada mampu berempati tanpa kehilangan arah, menolong tanpa ikut hanyut, dan tetap berdiri teguh di tengah pusaran drama orang lain.Pada akhirnya, seni memahami si playing victim adalah tentang kebijaksanaan: tahu kapan mendengarkan, kapan menjauh, dan kapan berhenti merasa bersalah atas sesuatu yang bukan tanggung jawab kita.(dht)










