oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Komunikasi yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah komunikasi verbal selayaknya manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya, bukan pula untuk memaksa manusia agar memahami bahasa hewan, tidak demikian. Namun dalam tulisan ini lebih pada bagaimana interaksi manusia dengan hewan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis antara manusia dan lingkungan sekitar untuk menunjang kebahagiaan dan kesejahteraann hidup. Komunikasi tentu bukan semata dalam sudut verbal saja namun bisa pula non verbal. Dalam konteks inilah komunikasi manusia dan hewan dimaksudkan.
Dalam realitasnya, manusia hidup di bumi ini tidak sendirian, melainkan berinteraksi dengan alam sekitar. Pola hubungan antara manusia dan alam sekitar termasuk dengan hewan dan tetumbuhan akan sangat menentukan kualitas kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di muka bumi. Betapa banyak kita menjumpai berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan semua itu tidaklah murni bencana alam, melainkan hasil pola interaksi antara manusia dan alam sekitar. Demikian pula banyaknya kasus binatang yang merusak tanaman warga, rumah-rumah penduduk, hewan buas yang masuk ke lingkungan warga kemudian merusak atau membuat tidak tenang warga masyarakat, juga bukanlah semata kemauan binatang itu sendiri melainkan karena lingkungan hidup dan habitat mereka untuk hidup nyaman di hutan telah dirusak oleh tangan-tangan manusia. Artinya kualitas hidup manusia juga sangat ditentukan oleh kualitas hubungannya dengan alam sekitar termasuk dalam berinteraksi dengan binatang, hewan sekitar.
Dalam realitas yang lain banyak masyarakat telah hidup harmonis dengan hewan piaraan yang mereka hidup bersama, membantu pekerjaan manusia, berinteraksi dengan intensif, seakan diantara keduanya telah terjalin hubungan paikologis yang sangat erat sekalipun tidak saling memahami bahasa verbal keduanya. Bahkan apabila salah satunya terpisah maka seakan ada sesuatu yang merasa kehilangan. Aktivitas orang-orang yang senang berkomunikasi dengan hewan ini dinamakan antropomorfisme/antropomorfisasi. Yaitu Antropomorfisme adalah atribusi karakteristik manusia ke makhluk bukan manusia. Artinya menggambarkan makhluk selain manusia (misal seperti binatang) dengan motivasi manusia yang bisa berbicara dan berpikir. Sekalipun manusia sebenarnya adalah dikategorikan sebagai hewan yang berpikir (al insaan hayawaanun naatiq).
Antropomorfisme adalah sisi lain manusia yang memiliki kognisi sosial aktif dan cerdas yaitu memiliki otak yang diprogram untuk melihat dan memahami pikiran. Setidaknya, ada tiga alasan mendasar mengapa manusia dapat melakukan antropomorfisasi: Subjek non-manusia yang terlihat memiliki wajah; manusia ingin berteman dengan non-manusia; atau penasaran dengan perilaku subjek non-manusia yang tidak terduga.
Pada dasarnya manusia bebas melakukan komunikasi dengan apapun dan siapapun saja karena sejatinya manusia adalah makhluk cerdas yang diciptakan oleh Allah swt bertugas sebagai khalifah di muka bumi (khalifatun fil ardhi), pengelola, menjaga dan melestarikan kehidupan agar bersedia tunduk patuh dan taat pada Allah swt Sang Pencipta. Sehingga karena perannya sebagai khalifah, maka manusia diberi kecerdasan yang beragam (multiple intellegent) agar bisa menjalankan perannya itu dengan baik. Bahkan menurut Nicholas Epley, seorang profesor ilmu perilaku di University of Chicago, bahwa secara historis, antropomorfisasi telah diperlakukan sebagai tanda kekanak-kanakan atau kebodohan, tetapi sebenarnya, itu merupakan sifat alami dari kecenderungan yang membuat manusia sebagai makhluk yang cerdas di planet ini.
Peran sebagai khalifah fil ardh mensyaratkan manusia untuk dapat mampu menebarkan kasih sayangnya kepada seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini. Hal ini sejalan dengan konsepsi profetik sebagai rahmatan lil alamiin. Konsekwensi konsep ini menegaskan bahwa manusia sebagai pengelola kehidupan harus mampu mewujudkan dirinya sebagai penebar kasih sayang ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku dan interaksi yang baik, penuh kelembutan, perhatian dan kasih sayang kepada semua makhluk hidup ciptaan Allah swt, baik manusia, hewan, tetumbuhan, benda hidup dan benda mati lainnya. Semuanya harus diperlakukan dengan baik sebagai wujud konsep rahmatan lil alamin tersebut.
Sejarah hubungan interaksi manusia dengan hewan sebenarnya telah berlangsung sangat lama, sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Seperti halnya pembunuhan Habil oleh Qabil, yang kemudian kebingungan dengan cara penguburannya, sehingga terlihatlah burung gagak di depan Qabil yang sedang menggali tanah dengan paruh dan kuku-kuku kakinya yang tajam. Dia seperti ingin mengajari Qabil yang sedang diliputi kegalauan dan kebingungan tentang cara terbaik mengubur saudaranya.
Perhatikan pula bagaimana hubungan para nabi dengan hewan begitu sangat dekat dan harmonis. Lihatlah Nabi Sulaiman yang kekuasaannya hingga meliputi para jin dan binatang. Sebagaimana dijelaskan dalam teks alquran :
وَحُشِرَ لِسُلَیۡمَـٰنَ جُنُودُهُۥ مِنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ وَٱلطَّیۡرِ فَهُمۡ یُوزَعُونَ حَتَّىٰۤ إِذَاۤ أَتَوۡا۟ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمۡلِ قَالَتۡ نَمۡلَةࣱ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُوا۟ مَسَـٰكِنَكُمۡ لَا یَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَیۡمَـٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمۡ لَا یَشۡعُرُونَ
Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib. Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml : 17 – 18)
Demikian pula Nabi Dawud yang dikarunia mukjizat berupa kemampuannya melunakkan baja serta kemampuan berkomunikasi dengan binatang seperti burung. Sebagaimana dalam teks sumber wahyu :
ٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا یَقُولُونَ وَٱذۡكُرۡ عَبۡدَنَا دَاوُۥدَ ذَا ٱلۡأَیۡدِۖ إِنَّهُۥۤ أَوَّابٌ إِنَّا سَخَّرۡنَا ٱلۡجِبَالَ مَعَهُۥ یُسَبِّحۡنَ بِٱلۡعَشِیِّ وَٱلۡإِشۡرَاقِ وَٱلطَّیۡرَ مَحۡشُورَةࣰۖ كُلࣱّ لَّهُۥۤ أَوَّابࣱ
Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan, dan ingatlah hamba Kami, Daud, yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi, dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Mereka semua amat taat kepada Allah.” (QS. Shaad : 17-19).
Demikian pula Nabi Ibrahim yang setiap tahunnya berkurban dalam jumlah besar hewan kurban, baik unta, lembu hingga domba. Bahkan nabi muhammad sebelum menjadi nabi pernah berinteraksi cukup lama dengan binatang yaitu saat beliau masih muda belia sebagai seorang penggembala. Bahkan Rasulullah memiliki kucing kesayangan yang diberi nama Muezza, yang sangat penurut dan menyayangi Rasulullah. Bahkan sahabat beliau, Abdurrahman, yang semasa jahiliyah bernama Abdu Syamsi ibn Shakhr Ad-Dausi, adalah seorang penyayang kucing bahkan kemanapun dia pergi pasti membersamai dengannya kucing kesayangnnya itu bahkan memiliki banyak kucing. Sehingga karena kecintaannya pada hewan (kucing) hingga beliay diberi laqab, julukan dengan nama “bapaknya kucing”, Abu Hurairah. Seorang sahabat Nabi sekaligus perawi banyaj hadits Nabi.
Dalam hubungan kepercayaan manusia semenjak masa lalu sebelum Islam, terdapat praktik-praktik paganisme bernuansakan syirik, yang diikuti penyiksaan dan kekejaman terhadap binatang. Seperti memotong punuk onta dan ekor domba yang masih hidup dan sebagainya. Lalu Islam datang dengan mengutuk tindakan tersebut, dan menetapkan untuk menghentikan praktik tersebut.
Bahkan Islam banyak menetapkan aturan dalam ibadah implementasi ibadahnya khususnya aktifitas qurban dan penyembelihan hewan qurban haruslah dilakukan dengan cara yang terbaik, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).
Bahkan pula dalam realitas interaksi kekinian banyak kita menjumpai hubungan yang sangat erat antara manusia dengan hewan bahkan pola hubungan ini dapat pula membangun nilai kualitas kemanusiaan. Terkadang hubungan interaksi dengan hewan bisa dijadikan sebagai salah satu solusi dalam penyelesaian masalah kemanusiaa. Seseorang yang mengalami masalah dalam hidupnya terkadang menjadikan interaksi dan komunikasi dengan hewan sebagai mekanisme cara pengungkapan diri dan pengalihan problem hidup.
Tidak jarang pula konflik dalam kehidupan manusia atau bahkan dalam keluarga dapat terjadi disebabkan interaksinya dengan hewan. Seorang suami merasa tersinggung karena istrinya lebih sayang pada binatang piaraannya dibandingkan terhadap suaminya. Orang tua mungkin bisa marah-marah pada anaknya karena si anak lebih perhatian pada hewan piaraannya disaat dipanggil untuk membantu pekerjaan ibunya. Artinya interaksi manusia dengan hewan sangat berdampak bagi proses interaksi dan komunikasi antar manusia.
Berbagai argumentasi di atas menunjukkan pentingnya pola interaksi yang baik dan harmonis antara manusia dengan hewan yang hidup secara bersama dalam kehidupan kemanusiaan. Untuk itu perspektif profetik memberikan arahan tentang bagaimana komunikasi antara manusia dengan hewan harusnya dilakukan. Berbagai keteladanan profetik menganjurkan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan cara terbaik terhadap hewan yang ada disekitar kita.
Suatu ketika Rasulullah tiba-tiba mengusap muka seekor kuda menggunakan pakaian beliau. Sebagaimana riwayat dari Anas bin Malik menyampaikan, ketika orang-orang menanyakan tentang hal tersebut. Rasulullah bersabda, “Semalam aku ditegur karena tidak merawat kuda dengan baik”. (HR. Imam Malik dalam al Muwattha’). Tindakan ini menegaskan pentingnya berawat binatang piaran dengan baik. Termasuk interaksi komunikasi yang baik adalah mengasihi binatang, memberinya makan dan minum. Bahkan Rasulullah melarang mempekerjakan binatang secara berlebihan dan seseorang bisa masuk neraka disebabkan menyiksa binatang.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ، سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ، لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا، إِذْ هِيَ حَبَسَتْهَا، وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ.
“Sungguh Rasulullah saw. telah bersabda, “Ada seorang wanita yang diazab karena seekor kucing. Ia mengurung kucingnya sampai mati, lalu ia masuk neraka karenanya. Ia tidak memberikan makan dan minum kucingnya. Bahkan ia mengurungnya. Ia tidak meninggalkan makanan untuknya, sehingga ia memakan apa yang keluar dari bumi.” (H.R. Muslim).
Rasulullah juga melarang memisahkan induk dengan anaknya, tidak boleh membakar sarang semut karena yang berhak menghukum dengan api hanyalah Rabb nya api, juga melarang menembaki hewan yang diikat atau dikurung. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “Jangan menjadikan apapun yang hidup sebagai sasaran bidikan” (HR. Muslim).
Termasuk pula dilarang memukul binatang di wajah hingga membuatnya cacat atau membakarnya hidup-hidup, dilarang mengebiri ternak kecuali ada manfaatnya, dilarang membunuh hewan dengan maksud hanya untuk bersenang-senang, demikian pula dilarang melaknat binatang.
Sebaliknya dianjurkan untuk berbuat baik kepada hewan dan mengasihinya. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi:
مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةً، رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari)
قال رجلٌ : يا رسول الله! إني لأذبح الشاة فأرحمُها، قال: ” والشَّاة إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللهُ” مَرَّتَيْنِ
“Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku menyembelih seekor kambing lantas aku merahmatinya”, Rasulullah berkata, “Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya maka Allah akan merahmati engkau”, Rasulullah mengucapkannya dua kali (HR Al-Bukhari)
إِذَا سِرْتُمْ فِي أَرْضٍ خصْبَةٍ فَأَعْطُوا الدَّوَابَّ حَظَّهَا وَإِذَا سِرْتُمْ فَي أَرْضٍ مَجْدَبَةٍ فَانْجُوا عَلَيْهَا
“Bila kamu melakukan perjalanan di tanah subur, maka berilah binatang (tunggangan) itu haknya. Bila kamu melakukan perjalanan di bumi yang tandus maka percepatlah perjalanan.”(HR. Al-Bazzar)
Bahkan berbuat baik bisa menjadi sebab seseorang masuk surga dan mendapatkan ampunan Allah swt, sebagaimana kisah seorang pelacur yang memberi minuman pada seekor anjing yang sedang kehausan sehingga menyebabkan dirinya masuk surga.
Kesimpulannya, perspektif profetik memberikan perhatian serius terhadap interaksi manusia dengan hewan dan makhluk hidup lainnya yang ada di sekitar sebagai wujud adab atas implementasi nilai-nilai keimanan. Perspektif profetik menjembatani komunikasi manusia dengan hewan untuk mewujudkan kehidupan manusia yang lebih harmonis dan memberikan rahmad kasih sayang bagi alam sekitar sekaligus bentuk rasa tanggungjawabnya sebagai khalifah fil ardhi (pengelola kehidupan di muka bumi).
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB