Kanal24, Malang – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Dr. Hanif Faisol Nurofiq, hadir sebagai pembicara utama dalam ORDIK Pascasarjana Universitas Brawijaya (UB) 2025. Kehadirannya sekaligus menjadi momen istimewa karena Hanif adalah alumni Program Doktor Ilmu Lingkungan UB.
Dalam pemaparannya, Hanif menekankan pentingnya peran akademisi dalam memperkuat basis ilmiah kebijakan lingkungan hidup di Indonesia. Hampir 90% instrumen kebijakan, pengawasan, dan penegakan hukum di Kementerian LHK, menurutnya, didasarkan pada kajian saintifik.
“Tanpa dukungan akademisi, kualitas lingkungan hidup kita akan menurun tajam. Peran perguruan tinggi, termasuk UB, sangat penting dalam memperkuat basis akademik. Pascasarjana memiliki peran strategis untuk menghasilkan kajian yang aplikatif dan bisa menjadi dasar kebijakan,” tegas Hanif.
Baca juga:
UB Sambut 2000 Mahasiswa Pascasarjana di ORDIK 2025

Isu Strategis Lingkungan Hidup
Dalam kesempatan tersebut, Hanif memaparkan sejumlah isu lingkungan yang saat ini menjadi perhatian nasional maupun global. Salah satunya adalah penggunaan plastik sekali pakai yang masih menimbulkan problem serius. Pemerintah, menurutnya, membedakan antara plastik yang berguna dan dapat dikelola limbahnya dengan plastik berbahaya yang harus dikurangi.
“Indonesia berkomitmen konsisten mengurangi plastik sekali pakai dan plastik berbahaya. Kami juga sedang memperkuat regulasi terkait extended producer responsibility (EPR) agar produsen ikut bertanggung jawab atas limbah produk yang dihasilkan,” jelasnya.
Selain plastik, pemerintah juga sedang menggenjot pengolahan sampah menjadi energi terbarukan melalui skema waste to energy. “Sampah bukan hanya sekadar limbah, tapi bisa jadi sumber energi. Saat ini kami sudah menyiapkan regulasi agar kabupaten/kota dengan timbulan sampah lebih dari seribu ton per hari bisa mengembangkan proyek ini. Malang Raya juga termasuk daerah yang sedang kami kaji,” tambah Hanif.
Tantangan dan Kerja Sama Global
Hanif juga membagikan pengalamannya dalam forum internasional terkait kebijakan lingkungan, termasuk perdebatan tentang pengurangan plastik di tingkat global. Menurutnya, Indonesia mengambil sikap realistis dengan mendorong komitmen yang bertahap namun konsisten.
“Tidak semua negara bisa langsung mengikuti aturan multilateral yang ketat. Karena itu, Indonesia mendorong penyusunan perjanjian lingkungan yang lebih fleksibel, seperti Paris Agreement. Hal ini penting agar setiap negara tetap bisa berkontribusi meski dengan kapasitas berbeda,” paparnya.
Ia juga menekankan pentingnya kerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia untuk memperkuat posisi akademisi dalam forum global. “Kebijakan lingkungan hidup di tingkat dunia harus berbasis kajian saintifik, dan universitas punya peran besar dalam memperkaya literasi dan riset yang bisa menjadi rujukan,” katanya.
Baca juga:
Parade Kemerdekaan Meriahkan HUT RI ke-80 di UB
Alumni yang Membanggakan
Sebagai alumni UB, Hanif mengaku bangga melihat perkembangan kampusnya yang semakin maju dalam bidang riset. “UB terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam riset lingkungan. Mahasiswa pascasarjana harus mengambil peran aktif untuk menghasilkan riset yang bukan hanya untuk akademik, tetapi juga bisa menjadi dasar kebijakan publik,” ucapnya.
Hanif juga berpesan bahwa mahasiswa pascasarjana UB harus siap menjadi agen perubahan dalam menjaga kelestarian lingkungan. “Negara ini menaruh harapan besar kepada generasi muda akademisi. Jangan hanya meneliti untuk publikasi, tapi pastikan riset kalian bermanfaat untuk bangsa dan bumi kita,” pesannya.
Materi yang disampaikan Menteri LHK ini menegaskan kembali pentingnya peran mahasiswa pascasarjana sebagai penggerak riset hijau. ORDIK Pascasarjana UB 2025 tidak hanya menjadi pengenalan dunia akademik, tetapi juga momentum untuk meneguhkan komitmen menjaga lingkungan hidup. Dengan kolaborasi antara pemerintah dan akademisi, diharapkan Indonesia mampu mencapai pembangunan berkelanjutan sekaligus menjadi negara maju pada 2045. (nid/dpa)