Oleh : Dr. Akhmad Muwafik Saleh, S.Sos. M.Si.*
Penjelasan tentang hal ini mungkin bisa panjang lebar, namun pada kesempatan ini kita akan membahasnya secara singkat saja, khususnya yang terkait dengan bagaimana agar kita bisa mencapai pada kekhusyu’an dalam shalat, sehingga dapat menjadi solusi dalam menghadapi problematika hidup.
Mari kita mulai dari Takbiratul Ihram. Dengan posisi tangan yang diangkat sejajar telinga. memberikan sebuah gambaran kesan, seakan-akan kita sedang dalam keadaan lemah dan takluk. Ibarat seseorang yang sedang takluk atas kuasa orang lain. Seraya mengucapkan kalimat “Allahu Akbar, Allah Maha Besar” yang merupakan penegasan sekaligus menandakan bahwa kita menyatakan kelemahan dan sikap takluk, seraya mengecilkan dan merendahkan diri kita di hadapan ke-Maha Besar-an Allah SWT, dan berkeyakinan bahwa tidak ada yang lebih besar dibandingkan kuasa Allah SWT. Seseorang yang ingin khusyu’ dalam shalatnya, perlulah membayangkan saat takbiratul ihram tersebut bahwa dirinya adalah sangat lemah dan kecil di hadapan Allah yang Maha Besar dalam posisi takluk dan dengan perasaan kalah.
Gerakan selanjutnya adalah meletakkan tangan di dada dalam posisi bersedekap. Hal ini sebagai tanda kematian dan sekaligus penegasan kelemahan. Seakan-akan memberikan sebuah kesan bahwa shalat yang kita lakukan pada saat itu, ibarat kita sedang dalam keadaan mati. Artinya pada saat shalat, kita perlu membayangkan bahwa kita sedang menuju kematian. Setidaknya membayangkan kalau sekiranya ini adalah shalat yang terakhir dalam hidup kita dan sebentar lagi kita akan dijemput oleh kematian.
Pada saat kita meletakkan tangan di dada (sebagai tanda kematian) di awal Shalat kita, seraya mengucapkan : Inna sholati wanusuki wamahyaya wamama mati lillahi rabbil alamin, artinya “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam”. Kalimat ini terdapat dalam Surat Al An’am ayat 162. Hal ini seakan semakin menegaskan, bahwa diri kita lemah tak berdaya. Hal ini seakan menjadi pernyataan kepasrahan dan Janji kita di hadapan Allah, bahwa shalat, hidup, nati yang kita jalani saat ini hanyalah untuk Allah Semata.
Selanjutnya membaca surat alfatihah. Coba renungkan ayat demi ayat pada surat al-fatihah ini maka kita akan mendapati seakan-akan bahwa kita sedang mengucapkan deklarasi dihadapan Allah tentang komitmen keimanan kita bahwa Allahlah yang maha pengasih setiap apapun peristiwa hidup yang terjadi berada dalam bingkai kasih sayangnya sehingga wajib kiranya kita bersyukur kepada Allah atas segala keadaan apapun serta Seburuk apapun peristiwa yang terjadi sejatinya adalah wujud kasih sayang Allah sehingga kita Letakkan rasa syukur itu terdepan dari yang lain karena puncak dari pengabdian adalah manakala kita bersedia bersyukur atas ketetapan Allah
Kemudian berlanjut dengan ruku’, membungkukkan badan kita sebagai tanda bahwa penghormatan tertinggi kepada Allah yang telah memberikan banyak kebaikan khususnya kebaikan bisa bernafas, terlebih keimanan yang tetap melekat pada diri.
Di saat kita sedang ruku’, rasakan dengan hati yang mendalam tentang kerendahan diri kita, penghambaan serta ketundukan dan ketaatan kepada Allah. Seraya kita mengucapkan kalimat pengagungan kepada Allah , subhana rabbiyal ‘adhimi wa bihamdihi .
Kemudian coba renungkan dan rasakan dengan penuh kesadaran hati saat diri kita sujud. Suatu posisi terendah dengan meletakkan kepala pada bumi. Di saat selama ini diri kita menyanjung dan meninggikan diri, bahkan selama ini kita mengagungkan kepala hingga dipasangkan padanya mahkota. Namun pada saat shalat, kepala kita bahkan lebih rendah daripada pantat kita, dubur. Tempat di mana kotoran dikeluarkan. Pada saat sujud itulah, Coba Kita Renungkan, Betapa kita benar-benar berada di posisi paling rendah, seraya kita meninggikan Allah melalui doa yang kita ucapkan saat sujud tersebut. Maha Suci Allah yang Maha Tinggi dan segala puji baginya. “Subhana robbiyal a’laa wa bihamdihi“.
Inilah posisi paling rendah dari penghambaan manusia kepada Allah. Namun, Itulah posisi terdekat dengan Tuhannya. Artinya manakala manusia bersedia merendahkan dirinya dengan sujud. maka pada saat itulah dia berada dalam ketinggian spiritualitas dalam hubungannya dengan Allah SWT.
Setelah kita benar-benar merendah di hadapan Allah, maka barulah kita bersimpuh di hadapan Allah, Seraya meminta kepadaNya dengan ketulusan hati agar Allah mengampuni segala dosa, memberikan belas kasihnya, merubah keadaan menjadi lebih baik, mengangkat derajat pada posisi tertinggi dan memberikan rezeki yang terbaik serta memberikan jalan petunjuk dalam menjalani aktivitas kehidupan. “Robbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’aafinii wa’fu ‘annii.” Artinya: “Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah keadaanku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki, dan petunjuk untukku.”
Doa saat duduk diantara dua sujud, seakan memberikan suatu pelajaran kepada kita bahwa tidaklah pantas kita meminta di saat masih ada kesombongan dalam diri. Meminta kepada Allah hendaklah ketikslaa ego diri telah kita Letakkan paling rendah dengan menghilangkan segala bentuk kesombongan dan mengakui kebesaran dan ketinggian Allah. Setelah itu barulah kita layak meminta kepadaNya. Saat doa duduk diantara dua sujud itulah, bayangkan kita sedang bersimpuh di hadapan Allah Yang Maha Besar, berkomunikasi langsung dengan Allah dan meminta kepadaNya dengan penuh harap.
Dan pada akhirnya, duduk tawaruk pada saat tasyahud akhir dengan posisi duduk yang menunjukkan sikap lemah, ngawulo, merendah di hadapan penguasa. Posisi duduk yang lebih merendah dibandingkan duduk iftiras. Posisi duduk saat di antara dua sujud, hal ini memberikan satu kesan bahwa manusia adalah seorang hamba yang tugasnya menghamba, ngawulo, Berada di posisi paling bawah.
Sehingga seorang hamba pada saat shalat di saat duduk tawaruk ini, perlulah membayangkan bahwa dirinya siap menghamba kepada Allah. Seraya merenungi bacaan pada saat itu, yaitu mengagungkan Allah dan kekasihNya serta orang-orang yang mencintai Allah dan RasulNya (orang-orang sholih). Pada saat itu hadirkan satu perasaan bahwa seakan-akan kita sedang bertatap muka dengan kekasih Allah, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, dengan membayangkan seakan-akan ada Rasulullah di hadapan kita. Dan Kita menyatakan cinta kasih kepada Rasulullah melalui sholawat yang kita baca.
Kemudian akhirnya ditutup dengan salam ke kanan dan ke kiri, dengan satu perasaan bahwa tugas kemanusiaan belumlah usai, yaitu menebarkan kasih sayang, salam keselamatan, kebermanfaatan kepada mereka yang ada di sekitar kita.
Oleh karena itu, manakala kita merenungi setiap bacaan dan gerakan shalat kita, serta tidak hanya sekedar mengucapkan doa-doa shalat melalui lisan kita, melainkan menghidupkan hati dan perasaan untuk merenungi pesan tersirat dari semua bacaan dan gerakan sholat itu, maka tentu hal itu akan menjadikan shalat kita lebih bermakana dan lebih mengantarkan pada kekhusyu’an dalam menjalankannya. In syaa Allah….
*) Dr. Akhmad Muwafik Saleh, S.Sos. M.Si., Dosen FISIP UB pengasuh Pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar Tlogomas Malang