Kanal24, Malang – Di tengah arus perubahan global yang semakin cepat, dunia kerja dan sistem organisasi dituntut untuk lebih adaptif dan manusiawi. Fenomena ini menjadi dasar bagi Prof. Tri Wulida Afrianty, S.Sos., M.Si., MHRM., Ph.D., Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, dalam memperkenalkan model Trilayer OB+, sebuah kerangka konseptual baru yang menempatkan manusia sebagai pusat perubahan organisasi. Model ini diperkenalkan dalam pidato pengukuhan profesornya yang bertajuk “Model Trilayer OB+ Menuju Organisasi Tangguh, Berkelanjutan, dan Human-Centric di Era Industri 5.0” yang digelar di Universitas Brawijaya, Malang.
Prof. Tri menegaskan bahwa Trilayer OB+ bukan sekadar konsep perilaku organisasi konvensional, melainkan model yang mengintegrasikan perilaku individu, kelompok, dan organisasi dalam satu kerangka adaptif yang disertai faktor kontekstual perubahan. Model ini diharapkan menjadi panduan bagi organisasi untuk menavigasi tantangan disrupsi digital, sekaligus menjaga kesejahteraan manusia di dalamnya.
Baca juga:
Arsitek Muda UB, Bangun Wajah Baru Tata Ruang Indonesia
Menjawab Tantangan Kesenjangan Digital dan Kemanusiaan
Menurut Prof. Tri, model Trilayer OB+ lahir dari pengamatan terhadap realitas dunia kerja yang mengalami paradoks antara percepatan teknologi dan kesiapan psiko-sosial manusia. “Data global menunjukkan bahwa 82% pemimpin organisasi sadar mereka perlu transformasi digital, namun lebih dari 50% karyawan mengalami kelelahan digital,” ungkapnya.
Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia, di mana survei PricewaterhouseCoopers (PwC) 2024 menunjukkan bahwa lebih dari separuh CEO menyadari organisasi mereka tidak akan bertahan satu dekade ke depan tanpa transformasi yang visioner. Namun di sisi lain, generasi milenial dan Gen Z—yang kini mendominasi tenaga kerja—memiliki ekspektasi yang berbeda dari generasi sebelumnya.
“Generasi muda tidak hanya menuntut digitalisasi, tetapi juga lingkungan kerja yang inklusif, fleksibel, dan menyejahterakan—baik secara ekonomi maupun psikologis. Mereka ingin bekerja di organisasi yang peduli pada keseimbangan hidup dan keberlanjutan lingkungan,” jelas Prof. Tri.
Kondisi inilah yang menjadi titik awal lahirnya model Trilayer OB+, yang mencoba menyeimbangkan antara efisiensi berbasis teknologi dengan kebutuhan manusia untuk tetap dihargai dan diperhatikan secara utuh.
Proses dan Tantangan: Merangkai Tiga Lapisan Perilaku
Dalam pemaparannya, Prof. Tri menjelaskan bahwa Trilayer OB+ terdiri dari tiga lapisan utama, yakni individu, kelompok, dan organisasi. Ketiganya saling terhubung dan membentuk satu sistem perilaku yang dinamis. “Nama ‘Trilayer’ sendiri merujuk pada tiga lapisan perilaku keorganisasian, sedangkan simbol ‘plus’ menunjukkan nilai tambah berupa faktor kontekstual—lingkungan eksternal yang menjadi katalis perubahan,” terangnya.
Model ini dikembangkan melalui kajian mendalam terhadap teori perilaku organisasi klasik yang cenderung berorientasi pada efisiensi dan teknologi, namun kurang memperhatikan aspek kemanusiaan. Dalam Trilayer OB+, setiap kebijakan organisasi perlu dikaji berdasarkan level dampaknya terhadap individu, kelompok, dan organisasi, dengan mempertimbangkan konteks sosial dan lingkungan yang lebih luas.
“Organisasi bukan sekadar sistem produksi, tetapi ekosistem manusia. Maka, perubahan harus memperhatikan keseimbangan antara performa dan kemanusiaan,” tegasnya.
Prestasi dan Strategi: Human-Centric, Resilience, dan Sustainability
Prof. Tri menilai bahwa ada tiga prinsip utama yang harus dipegang organisasi di era Industri 5.0: human centricity, resilience, dan sustainability.
Pertama, human centricity menempatkan manusia sebagai pusat transformasi, sementara teknologi menjadi mitra strategis, bukan pengganti. Kedua, resilience berarti kemampuan organisasi untuk tetap tangguh di tengah disrupsi. Ketiga, sustainability menuntut organisasi memperhatikan keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Trilayer OB+ menjadi jembatan antara idealisme kemanusiaan dan realitas bisnis,” ujar Prof. Tri. Model ini tidak hanya relevan bagi sektor korporasi, tetapi juga dunia pendidikan dan organisasi publik. Ia menambahkan, model ini bisa digunakan untuk merancang strategi pengembangan sumber daya manusia, menciptakan budaya kerja adaptif, dan menumbuhkan kepemimpinan visioner di tengah perubahan global.
Harapan ke Depan: Universitas sebagai Pelopor Transformasi
Sebagai akademisi yang telah lama berkecimpung di bidang perilaku organisasi, Prof. Tri berharap universitas—khususnya Universitas Brawijaya—dapat menjadi pelopor lahirnya ilmu-ilmu baru yang relevan dengan era Industri 5.0.
“Perguruan tinggi harus menjadi tempat di mana benih perubahan ditanam,” ujarnya penuh keyakinan. Ia menekankan bahwa UB memiliki potensi besar untuk melahirkan generasi muda yang tangguh, berdaya adaptif, dan memiliki growth mindset—yakni semangat untuk terus belajar dan beradaptasi.
Prof. Tri juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas disiplin antara akademisi, praktisi, dan masyarakat agar model Trilayer OB+ dapat diterapkan secara luas. “Saya percaya, masa depan organisasi bukan hanya tentang teknologi yang canggih, tapi tentang manusia yang kuat, peduli, dan berkelanjutan,” tutupnya.
Dengan semangat tersebut, Trilayer OB+ hadir sebagai kontribusi nyata dari Universitas Brawijaya untuk menjawab tantangan zaman—membangun organisasi yang tangguh, berkelanjutan, dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan di tengah revolusi industri 5.0. (nid)