Oleh: Setyo Widagdo*
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tanggal 22 April yang lalu menandai berakhirnya seluruh rangkaian Pemilihan Presiden (Pilpres), penetapan Prabowo dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilihpun sudah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Walaupun Presiden dan Wakil Presiden terpilih baru akan dilantik 20 Oktober 2024 nanti, rumor dan spekulasi tentang siapa siapa yang akan duduk dalam kabinet sudah bersliweran.
Rumor dan spekulasi tentang susunan kabinet memang masih remang-remang, kira-kira, sebab bagaimanapun juga penyusunan kabinet masih menunggu kepastian tentang partai mana saja yang akan bergabung dalam koalisinya Prabowo. Hal ini menyangkut pembagian “porsi” , siapa mendapatkan apa, sebagai “imbalan” bagi Partai Politik yang nantinya mempekuat posisi eksekutif di Parlemen, yang merupakan konsekuensi logis bergabungnya Partai Politik dalam koalisi.
Yang menarik untuk dicermati dalam penyusunan kabinet ini adalah sejauh mana hak prerogatif Presiden dalam menyusun kabinet ini masih memiliki makna “istimewa” ?
Hak prerogatif, yaitu hak istimewa yang dimiliki Presiden dalam melakukan kewenangan tertentu, salah satunya adalah mengangkat para Menteri yang duduk dalam kabinet. Sifat prerogatif atau istimewa disitu mengandung makna bahwa Presiden memiliki kebebasan penuh dalam menentukan siapa siapa yang akan diangkat sebagai pembantunya atau Menterinya.
Kedudukan Presiden dalam sistem presidensial dapat dikatakan “setara” dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden tidak bisa membubarkan DPR, namun Presiden pun tidak dapat dengan mudah dijatuhkan oleh Parlemen, kecuali jika Presiden melakukan pelanggaran konstitusi atau pelanggaran perundang undangan yang lain.
Yang menarik terkait dengan hak prerogatif Presiden adalah menyangkut kebebasan memilih Menteri. Sudah selayaknyalah jika Presiden dalam memilih atau menentukan para pembantunya tanpa intervensi oleh siapapun atau tanpa tersandera oleh kepentingan apapun. Namun, sejak perubahan UUD 1945 yang mengatur bahwa Presiden/Wapres diusulkan oleh Partai Politik (Parpol) dan atau gabungan Parpol, maka saat inilah dikenal dengan koalisi antar Parpol, sebab pencalonan Presiden/Wapres harus memenuhi ambang batas (threshold) 20%, sehingga bagi Parpol yang tidak memenuhi ambang batas tersebut harus berkoalisi sampai mencapai miinimal 20%.
Koalisi antar Parpol selain untuk memenuhi persyaratan pencalonan, juga untuk membangun kekuatan di Parlemen nantinya. Oleh sebab itu bagi pasangan Presiden dan Wapres yang memenangkan Pemilu, koalisi dengan Parpol lain selain Parpol pendukung terus dilakukan pasca pemenanngan Pilpres, guna memastikan pemerintahannya “aman” menghadapi Parlemen.
Konsekuensi dari kebutuhan berkoalisi tersebut berakibat pada tergerusnya makna prerogatif Presiden ketika menentukan para Menteri, sebab Parpol pendukung dan Parpol yang bergabung dalam koalisi akan menyodorkan orang-orang nya untuk dijadikan Menteri. Disinilah Presiden tidak powerfulli dalam menggunakan hak prerogatifnya. Presiden harus mengakomodasi kepentingan Parpol koalisinya, dan sebaliknya Parpol koalisi akan mem “back up” kepentingan Pemerintah di Parlemen.
Tak pelak lagi politik transaksional alias “politik dagang sapi” akan mewarnai dalam penentuan menteri. Presiden tidak lagi dapat memilih Menteri- Menterinya yang benar-benar cakap dalam memimpin Kementeriannya, melainkan menerima saja oarng yang disodorkan oleh Parpol koalisi. Oleh karena itu sering kita mendengar bahwa sistem pemerintahan di Indonesia ini “Presidensial rasa Parlementer”.
Presiden terpilih Prabowo Subianto, meskipun baru lima bulan lagi dilantik, sudah mewacanakan akan membuat 40 Kementerian. Hal ini tidak lain untuk mengakomodasi Parpol pendukungnya. Disinilah sebetulnya disadari atau tidak, Presiden sudah tersandera oleh kepentingan koalisinya. Jika rencana membuat 40 Kementerian itu serius, maka UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara harus diubah dulu, dan yang mengubah adalah Pemerintahan yang sekarang, sebab 20 Oktober perubahan UU tersebut sudajh harjus “clear” .
Atas dasar spekulasi yang beredar belakangan ini tentang akan dimekarkannya jumlah Kementerian Negara, agak sulit mengharapkan kabinet yang efektif dan efisien. Alih-alih mengharapkan kabinet yang berkualitas, justru sebaliknya banyak yang skeptis bahwa akan terjadi pemborosan dan potensi terjadinya korupsi yang lebih besar. Belum lagi persoalan tumpang tindih kewenangan sebagai akibat pemekaran jumlah Kementerian.
Persoalan lain yang menyebabkan sikap skeptis itu adalah soal postur APBN yang tidak cukup meyakinkan, ditambah lagi dengan pelaksanaan janji-janji Presiden seperti makan siang gratis, dan kelanjutan proyek-proyek strtegis nasional.
Jika Pemerintah baru nanti ingin menjadikan tahun 2045 sebagai tahun bagi “Indonesia Emas”, maka saat inilah momen dimulainya, dengan membentuk Pemerintahan dengan susunan kabinet yang profesional, bersih, efektif dan efisien. Menutup sekecil apapun peluang terjadinya penyelewengan.
Presiden terpilih harus mampu menolak orang-orang yang tidak capable yang disodorkan oleh Parpol pendukung, Prabowo harus rasional dalam menyusun kabinet, jika ingin Pemerintahan yang dipimpinnya berhasil, termasuk mengkaji ulang jika akan memekarkan jumlah Kementerian, kalau hanya untuk bagi-bagi jabatan.
Rakyat benar-benar menunggu susunan kabinet baru dengan penuh harapan bahwa janji njanji kampanye dapat diwujudkan, dan bukan sekedar pepesan kosong.
*) Prof. Dr. Setyo Widagdo S.H., M.Hum., Guru BesarFakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB)