Kanal24, Malang – Masalah banjir di Kota Malang kembali mencuat ke permukaan seiring intensitas hujan yang kian meningkat. Dalam menyikapi kondisi ini, pakar tata kota dari Universitas Brawijaya (UB), Fauzul Rizal Sutikno, ST., MT., Ph.D., memberikan pandangan mendalam terkait sistem drainase dan perencanaan tata ruang yang selama ini diterapkan.
Menurutnya, akar persoalan drainase tidak bisa dilepaskan dari perubahan tata guna lahan yang mengabaikan kawasan resapan air. “Logikanya, semakin tertutup area resapan, maka air akan mencari lokasi terendah untuk mengalir. Ketika ruang terbuka hijau dan permukaan resapan makin sempit, banjir menjadi keniscayaan,” ujar Fauzul saat diwawancarai.
Baca juga:
Pakar Kota UB Soroti Walkability dan Tantangannya di Malang

Ia menambahkan bahwa drainase klasik yang selama ini digunakan hanya berfokus pada pembuangan air secara cepat ke saluran primer atau sungai. Padahal, kata dia, sistem ini sudah seharusnya diperbaharui. “Kalau hanya sekadar membuang air secepat mungkin, itu bisa saja, tetapi belum tentu menyelesaikan masalah banjir secara menyeluruh,” ungkapnya.
Fauzul mengungkapkan bahwa konsep pengelolaan air urban seharusnya tidak hanya membuang air, tapi juga menyerap air ke dalam tanah. Ia mencontohkan keberadaan sumur injeksi di kampus UB yang dibangun pada era Rektor Prof. Bisri. “Itu sangat efektif. Air langsung ditembakkan ke bawah tanah. Hasilnya, daerah yang dulunya langganan banjir kini jauh lebih aman,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti minimnya pengawasan terhadap saluran drainase tertutup. Salah satu contoh nyata adalah Jalan Soekarno Hatta. Menurut pengamatannya, ada beberapa inlet (lubang masuk air) yang justru berada lebih tinggi dari permukaan jalan. “Kalau inlet-nya lebih tinggi 30 cm dari jalan, berarti air harus menggenang dulu 30 cm sebelum masuk ke saluran. Ini kan absurd,” ujarnya tegas.
Fauzul juga menyinggung temuan menarik terkait saluran drainase lama peninggalan Belanda yang belum teridentifikasi. “Seperti di Jalan Bandung, tanah tiba-tiba ambles. Dugaan saya, itu jaringan drainase lama yang tidak terpetakan. Padahal, ada teknologi radar bawah tanah yang bisa memetakan saluran ini. Sayangnya, mahal dan belum jadi prioritas,” imbuhnya.
Ia pun menyayangkan reaksi publik yang seringkali baru bereaksi ketika ada banjir. “Selama tidak banjir, masyarakat tidak peduli. Tapi ketika satu titik bermasalah, langsung ramai-ramai menyebut kota ini darurat banjir. Padahal, pengelolaan drainase itu tidak kasat mata. Ini yang saya sebut fenomena NIMBY atau ‘Not In My Backyard’,” kata Fauzul.
Dari sisi penganggaran, ia mengapresiasi upaya Pemerintah Kota Malang yang kini mulai berani menerapkan sistem drainase ganda, bahkan membongkar badan jalan untuk pemasangan saluran baru. Namun, ia menekankan perlunya kesinambungan dan koordinasi antarinstansi. “Seringkali jalan-jalan utama yang banjir itu bukan dikelola oleh Pemkot, tapi Pemprov. Nah ini jadi masalah koordinasi. Padahal, masyarakat tidak peduli siapa yang bertanggung jawab. Yang mereka tahu, rumahnya kebanjiran,” tegasnya.

Baca juga:
Catatan Prof. Pitojo untuk Bakal Calon Dekan FT UB
Terkait wacana pemotongan pohon demi pelebaran jalan atau saluran, Fauzul mengingatkan agar tidak gegabah. “Pohon itu punya peran besar dalam menyerap air. Jangan sampai kita kehilangan fungsi ekosistem demi solusi instan,” pesannya.
Ia juga mendukung penerapan solusi skala rumah tangga seperti pembuatan sumur resapan di lingkungan warga. Namun demikian, ia menekankan bahwa komponen utama tetap berada pada drainase kota yang dikelola oleh pemerintah.
“Selama drainase dikelola dengan baik, seharusnya banjir bisa dikendalikan. Tapi kalau hanya sporadis dan tanpa data yang solid, maka kita akan terus berkutat pada masalah yang sama tiap musim hujan,” pungkasnya. (nid)