Kanal24, Malang – Di tengah arus deras industri hiburan dan budaya luar, film Indonesia sedang menapaki jalan sejarahnya sendiri. Kini perfilman Indonesia sedang berlari menembus batas kota, menggeliat di ruang-ruang komunitas, dan menemukan napas baru di tangan anak muda. Semangat itulah yang terasa di Malang Creative Center (MCC), Jumat (10/10/2025), ketika dua sosok legendaris, Mira Lesmana dan Riri Riza, hadir dalam forum MTN IkonInspirasi x REKREASINEMA Talks.
Acara yang digagas oleh Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, berkolaborasi dengan Insan Sinema Malang Raya (ISMAYA) dan Sinema Mbatu Adem (SIMBA) ini, menjadi ruang refleksi — tempat di mana perjalanan panjang perfilman nasional disandingkan dengan semangat baru dari kota kreatif Malang.
Menggali Semangat Sinema Indonesia
Dalam sesi bertajuk “30 Tahun Miles Films Berkarya: Cerita Kuat, Film Hebat”, dua sineas legendaris Indonesia itu berbagi perjalanan kreatif dan tantangan selama tiga dekade membangun Miles Films — rumah produksi yang melahirkan karya-karya berpengaruh seperti Anak Seribu Pulau (1996), Kuldesak (1998), Ada Apa Dengan Cinta? (2002), Petualangan Sherina, Eliana-Eliana, hingga Gie.
Mira Lesmana menuturkan bahwa semangat untuk membuat film lahir dari kegigihan dan gotong royong. “Waktu itu kami punya sedikit modal dari keuntungan Anak Seribu Pulau, lalu kami ajak teman-teman muda untuk ikut dalam Kuldesak. Kami menyebutnya labor of love,” ungkapnya.
Ia menambahkan, keberhasilan Kuldesak menjadi pemantik munculnya film-film nasional yang menjangkau penonton lebih luas. “Tantangan kami waktu itu adalah bagaimana membuat film yang bisa diterima masyarakat luas dan tetap profesional. Petualangan Sherina menjadi titik balik — film keluarga yang benar-benar dicintai seluruh penonton Indonesia,” jelas Mira.

Peta Baru Perfilman Indonesia
Sutradara Riri Riza mengenang masa-masa awal mereka berkarya di industri film. Menurutnya, tahun 1990-an adalah masa ketika semua aktivitas film hanya terpusat di Jakarta.
“Dulu tidak mungkin membuat film di daerah lain karena tidak ada sekolah film, sistem distribusi, atau perizinan di luar Jakarta. Sekarang, banyak kota punya industri film kecil yang aktif,” ujar Riri.
Riri menilai perubahan ini sebagai tanda positif kemajuan perfilman Indonesia. “Proses kreatif kami selalu berangkat dari pengamatan terhadap kehidupan. Dari Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta?, hingga Gie — semuanya lahir dari keinginan merekam semangat zaman,” tambahnya.

Dukungan Pemerintah untuk Ekosistem Perfilman
Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan RI, Ahmad Mahendra, menyebut bahwa film Indonesia kini berada di masa keemasan. “Sejak pandemi Covid-19, justru jumlah penonton film nasional terus meningkat. Tahun lalu mencapai 81 juta penonton, dan tahun ini bisa tembus 90 juta,” ujarnya.
Menurutnya, capaian ini tidak terlepas dari peran pemerintah dalam membangun ekosistem film yang inklusif dan berkelanjutan. “Kami menciptakan banyak skema pendukung seperti travel grant, passing fund, hingga lab kreatif seperti ini. Kini pangsa pasar film nasional sudah 70 persen, sementara film asing hanya 30 persen. Ini pertama kalinya dalam sejarah Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” tegas Mahendra.
Ia juga menyoroti semakin banyaknya sineas Indonesia yang diakui di kancah internasional. “Tahun ini saja ada lima sineas kita yang menjadi juri di festival film dunia, termasuk di Oscar, Locarno, dan Busan. Itu bukti kualitas talenta kita sudah mendunia,” ujarnya bangga.

Malang: Titik Kumpul Kreativitas Baru
Mahendra menilai Malang memiliki potensi besar dalam pengembangan film. Ia mendorong sineas muda untuk lebih aktif berjejaring dan memanfaatkan berbagai skema pendanaan pemerintah.
“Potensi sinema di Malang luar biasa. Tinggal bagaimana teman-teman sineas bersatu, memetakan kebutuhan, dan mengakses program nasional yang ada. Kami siap mendampingi,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya membangun kecintaan masyarakat terhadap film lokal. “Lihat di Makassar atau Toba, film dengan bahasa daerah justru mendapat sambutan besar dari penontonnya sendiri. Malang bisa seperti itu — menciptakan film yang mencerminkan jati diri dan dicintai masyarakatnya,” ujarnya.
Kolaborasi antara Manajemen Talenta Nasional (MTN), Insan Sinema Malang Raya (ISMAYA), dan Sinema Mbatu Adem (SIMBA) ini menjadi bukti nyata bahwa regenerasi perfilman tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga tumbuh di daerah.
Mira Lesmana dan Riri Riza berharap forum semacam ini terus diperluas. “Kita butuh lebih banyak ruang dialog seperti ini. Karena setiap film besar berawal dari keberanian bercerita,” kata Mira.
Dengan semangat itu, MTN IkonInspirasi x REKREASINEMA Talks di Malang menjadi simbol bahwa kebangkitan film nasional menjadi gerakan bersama untuk masa depan perfilman Indonesia yang lebih hidup dan berdaya.(Din/Dpa)