Oleh : Setyo Widagdo
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Brawijaya – [email protected]
Walaupun saat artikel ini ditulis dan penghitungan suara Pilpres di AS masih berlangsung, namun kemenangan Donald Trump dapat dipastikan melalui quick count.
Kemenangan Trump ini disambut sebagian negara dengan sikap skeptis dan pesimis bagi tatanan geo politik yang lebih baik. Terlebih lagi bagi negara-negara Timur Tengah yang selama ini memiliki resistensi dengan AS, terutama bagi Palestina.
Kemenangan Donald Trump di Pilpres AS 2024 ini membawa dampak yang tidak kecil bagi Palestina dan proses perdamaian Timur Tengah.
Selama masa jabatannya yang pertama, Trump dikenal sebagai presiden yang sangat pro-Israel dengan kebijakan yang banyak menguntungkan pemerintah Israel, bahkan sering kali diambil tanpa mempertimbangkan pandangan atau kebutuhan rakyat Palestina.
Kemenangan Trump diperkirakan akan memperkuat kembali kebijakan pro-Israelnya, dan ini membawa sejumlah implikasi serius bagi Palestina, yang mencakup dampak pada prospek solusi dua negara, bantuan kemanusiaan, serta ketegangan regional yang dapat memicu konflik lebih lanjut. (Lihat di 2 artikel saya sebelumnya di kanal ini)
Trump selama ini dikenal sebagai pemimpin AS yang secara terbuka mendukung Israel, baik secara politis maupun strategis.
Kebijakan-kebijakan yang diambilnya, seperti pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, telah mengubah dinamika geopolitik di kawasan tersebut.
Langkah ini dianggap oleh sebagian besar negara sebagai bentuk dukungan terang-terangan bagi Israel, dan mengesampingkan tuntutan rakyat Palestina yang juga menginginkan Yerusalem sebagai ibu kota negara mereka di masa depan.
Di masa jabatan sebelumnya (2017-2021), Trump juga mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, wilayah yang selama ini disengketakan dengan Suriah.
Dengan kembali terpilihnya Trump, berbagai kebijakan pro-Israel ini kemungkinan akan terus berlanjut dan bahkan bisa jadi semakin diperkuat. Bagi Palestina, ini berarti bahwa mereka mungkin akan menghadapi tantangan yang lebih berat dalam upaya diplomatik untuk memperoleh dukungan internasional.
Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Relevansi Solusi Dua Negara Dalam Penyelesaian Konflik Palestina-Israel” saya mengatakan bahwa, solusi dua negara merupakan jalan atau cara yang paling mungkin menuju perdamaian antara Israel dan Palestina, di mana kedua pihak bisa hidup berdampingan sebagai negara yang berdaulat. Namun, kebijakan Trump yang secara sepihak berpihak pada Israel, seperti “Deal of the Century” yang diluncurkan pada 2020, justru memperlemah prospek solusi ini.
Rencana perdamaian tersebut secara umum dianggap oleh banyak pengamat sebagai upaya untuk melegitimasi pendudukan Israel di wilayah Palestina, dan menyisakan sedikit ruang bagi Palestina untuk membangun negara yang mandiri.
Jika Trump terus melanjutkan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan satu pihak, peluang untuk tercapainya solusi dua negara akan semakin tipis. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan konflik yang berkepanjangan di kawasan, karena rakyat Palestina merasa bahwa hak mereka diabaikan dan tidak ada jalan bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak dasar sebagai sebuah negara yang berdaulat.
Kemenangan Trump kali ini menimbulkan rasa pesimis di kalangan warga Palestina. Banyak yang merasa bahwa kehadiran kembali Trump di Gedung Putih akan memperburuk situasi mereka, mengingat rekam jejak Trump yang cenderung mendukung kepentingan Israel tanpa memperhatikan aspirasi rakyat Palestina.
Beberapa pemimpin Palestina, seperti dari kelompok Hamas, mengungkapkan bahwa kemenangan Trump bisa membawa dampak buruk bagi rakyat Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Gaza. Mereka mengkhawatirkan bahwa kebijakan Trump hanya akan memperpanjang penderitaan mereka dan menambah tantangan dalam mencapai perdamaian yang adil.
Masyarakat internasional sendiri menghadapi dilema dalam menyikapi kemenangan Trump. Di satu sisi, negara-negara yang mendukung solusi dua negara dan hak-hak Palestina mungkin akan merasa perlu meningkatkan tekanan terhadap AS untuk mengambil pendekatan yang lebih seimbang.
Namun, dengan dominasi AS di banyak arena internasional, langkah ini bisa menjadi tantangan tersendiri. Kemenangan Trump bisa memicu ketegangan diplomatik dengan negara-negara yang mendukung hak-hak Palestina, terutama jika AS terus menerapkan kebijakan unilateral yang hanya menguntungkan Israel.
Beberapa waktu yang lalu Israel telah memberlakukan larangan terhadap aktivitas UNRWA, hal ini telah saya bahas dalam artikel saya berjudul “Larangan Israel Terhadap UNRWA langgar Hukum Internasional “ Kebijakan Israel ini klop dengan kebijakan Trump ketika menjabat Presiden yang pertama 2017-2021 yang lalu, yaitu kebijakan tentang penghentian bantuan kemanusiaan kepada Palestina, termasuk pemotongan pendanaan untuk UNRWA, sebuah badan PBB yang bertugas membantu pengungsi Palestina.
Kebijakan ini menyebabkan situasi kemanusiaan di wilayah Palestina semakin sulit, dengan berkurangnya akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Jika kebijakan ini diteruskan atau bahkan diperparah, rakyat Palestina akan semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar mereka.
Bantuan kemanusiaan dan ekonomi sangat penting bagi warga Palestina, terutama bagi mereka yang tinggal di Gaza yang sejak lama mengalami blokade ekonomi.
Dengan minimnya akses terhadap bantuan internasional, situasi kemanusiaan di Gaza bisa semakin memburuk. Ini tidak hanya akan memicu krisis kemanusiaan, tetapi juga bisa memicu ketegangan sosial yang lebih besar di wilayah tersebut. Krisis ini tidak hanya akan berdampak pada kondisi ekonomi, tetapi juga bisa memperburuk ketegangan politik antara Palestina dan Israel.
Kemenangan Trump juga diperkirakan akan memberikan Israel lebih banyak kebebasan untuk bertindak dalam kebijakan keamanan regionalnya.
Dengan dukungan penuh dari AS, pemerintah Israel mungkin akan merasa lebih percaya diri untuk mengambil langkah-langkah yang lebih agresif dalam menghadapi kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas di Gaza atau Hezbollah di Lebanon. Israel dapat meningkatkan operasi militernya, yang tentu saja akan menimbulkan dampak pada stabilitas kawasan Timur Tengah.
Beberapa analis memperkirakan bahwa situasi ini bisa memicu lebih banyak konflik di kawasan, karena kebijakan pro-Israel yang diadopsi oleh Trump bisa mendorong respons yang lebih keras dari negara-negara lain di Timur Tengah.
Di sisi lain, kemenangan Trump juga dapat memperkuat hubungan Israel dengan negara-negara Arab yang telah menormalisasi hubungan mereka, seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain. Namun, normalisasi ini mungkin tidak mencerminkan perubahan sikap publik di negara-negara tersebut, di mana dukungan terhadap Palestina masih kuat.
PENUTUP
Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS 2024 membawa implikasi yang luas bagi Palestina. Dengan kebijakan pro-Israel yang diperkirakan akan terus berlanjut atau bahkan semakin intensif, Palestina menghadapi tantangan besar dalam upaya untuk memperoleh dukungan internasional. Selain itu, prospek solusi dua negara mungkin akan semakin sulit tercapai, mengingat pendekatan unilateral AS yang lebih berpihak pada Israel.
Dampak pada bantuan kemanusiaan dan ekonomi, serta ketegangan regional, juga menjadi masalah serius yang harus dihadapi oleh rakyat Palestina. Di tengah situasi ini, komunitas internasional dan negara-negara di kawasan Timur Tengah perlu mencari jalan tengah dan mempertimbangkan langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa hak-hak Palestina tetap terjaga dan bahwa perdamaian yang adil dan berkelanjutan dapat tercapai di kawasan tersebut.(*)