Kanal24, Malang – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa jumlah laporan masyarakat terkait penipuan keuangan terus meningkat sejak diluncurkannya Indonesia Anti-Scam Center (IASC) pada November 2024. Hingga Agustus 2025, total laporan yang masuk mencapai 225 ribu, dengan 72 ribu rekening bank berhasil diblokir. Peningkatan ini bukan hanya menunjukkan maraknya kasus penipuan, tetapi juga meningkatnya kesadaran masyarakat untuk segera melapor.
“Jumlah laporan yang diterima 225 ribu laporan, jumlah rekening yang langsung kita blokir 72 ribu, kemudian yang dilaporkan rekeningnya 359 ribu rekening. Ini sangat miris,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, dalam Kampanye Nasional Berantas Scam dan Aktivitas Keuangan Ilegal di Hotel Raffles Jakarta, Selasa (19/8/2025), yang dikutip dari Liputan6.
Baca juga:
Puncak HUT RI, Rayz Hotel UMM Hadirkan Kuliner Indonesia Heritage

Ratusan Aduan Setiap Hari
Menurut Friderica, yang akrab disapa Kiki, IASC menerima rata-rata 700–800 aduan per hari. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan Singapura yang menerima sekitar 140–150 laporan setiap hari. Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat kasus penipuan digital yang tinggi.
Namun, Friderica menegaskan, kecepatan pelaporan masyarakat sangat menentukan peluang pemblokiran dana yang dicuri. Semakin cepat laporan dibuat, semakin besar kemungkinan aliran dana dapat dibekukan sebelum berpindah ke rekening lain.
Modus Penipuan Kian Kompleks
Perkembangan teknologi juga membuat modus penipuan semakin beragam. Jika sebelumnya penipuan hanya menyasar layanan perbankan, kini pelaku merambah marketplace hingga aset kripto. Bentuk penipuan pun bervariasi, mulai dari love scam, penipuan lowongan kerja, phishing lewat aplikasi perbankan, hingga modus investasi aset digital palsu.
“Banyak sekali modus-modus yang kemudian lari ya, tidak hanya muter-muter di perbankan tapi masuk ke marketplace, dan terbaru kemarin masuk ke kripto,” jelas Kiki.
Kondisi ini menunjukkan bahwa para scammer terus berinovasi mencari celah untuk mengelabui masyarakat. Oleh karena itu, OJK menilai literasi digital masyarakat perlu semakin ditingkatkan agar tidak mudah terjebak.
Kolaborasi Jadi Kunci
Untuk mempersempit ruang gerak penipu, IASC berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk perbankan, fintech, asosiasi perusahaan efek, hingga marketplace. Hampir seluruh bank besar di Indonesia telah bergabung dengan sistem IASC, sehingga pemblokiran rekening bisa dilakukan lebih cepat.
Selain itu, IASC juga merupakan bagian dari Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) yang melibatkan 21 kementerian/lembaga. Kolaborasi lintas sektor ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem yang lebih aman bagi masyarakat dalam bertransaksi keuangan digital.
“Ini semua adalah merupakan upaya kolaborasi kita semua, supaya bagaimana kita melindungi masyarakat. Karena namanya scam dan fraud, nggak cuma buat saudara kita, siapapun bisa kena,” tegas Kiki.
Data Kerugian Capai Triliunan
Sebelumnya, OJK mencatat hingga Mei 2025, IASC telah menerima 128.281 laporan dengan total rekening yang dilaporkan mencapai 208.333. Dari jumlah itu, sebanyak 47.891 rekening berhasil diblokir. Total kerugian yang dilaporkan korban mencapai Rp 2,6 triliun, sementara dana yang berhasil diamankan sebesar Rp 163 miliar.
Dalam periode yang sama, OJK juga menjatuhkan 63 peringatan tertulis kepada 56 Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dan 23 sanksi denda kepada 22 PUJK. Tak hanya itu, sebanyak 102 PUJK melakukan penggantian kerugian konsumen dengan total Rp 19,7 miliar dan USD 3.281.
Baca juga:
Promo Merdeka Hotel Alana, Harga Mulai Rp80 Ribu
Perlindungan Masyarakat Jadi Prioritas
Dengan tren kasus yang terus meningkat, OJK menegaskan pihaknya akan terus memperkuat sistem IASC sekaligus meningkatkan edukasi literasi digital bagi masyarakat. Kesadaran publik untuk segera melapor menjadi langkah awal yang penting dalam menghentikan aliran dana penipuan.
“Scam bisa menimpa siapa saja. Karena itu kita harus saling menjaga dan melindungi. Edukasi, kesadaran, dan kolaborasi adalah kunci untuk melawan kejahatan digital,” tutup Friderica. (nid)