Kanal24, Malang – Proses pembentukan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi sorotan tajam dari kalangan akademisi, termasuk Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB). Ia menilai bahwa transparansi dalam penyusunan RUU ini tidak terpenuhi, sehingga bertentangan dengan asas partisipasi publik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Dr. Aan menjelaskan bahwa dalam setiap proses legislasi, masyarakat harus diberikan kesempatan yang cukup untuk berkontribusi. “Draft UU TNI tidak dapat ditemukan secara terbuka di laman resmi DPR atau instansi terkait. Ketertutupan ini menghilangkan hak masyarakat untuk memahami rancangan regulasi yang akan berdampak besar terhadap struktur negara,” katanya. Ia menambahkan bahwa akses publik terhadap dokumen resmi adalah bagian dari prinsip demokrasi yang wajib dipenuhi oleh pembuat undang-undang.
Baca juga : Dinamika UU TNI dan Gelombang Protes yang Terus Bergulir
Ketiadaan forum diskusi terbuka seperti Focus Group Discussion (FGD) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) juga menjadi masalah besar. Menurut Dr. Aan, ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang yang cukup untuk mendengar masukan dari akademisi, organisasi masyarakat sipil, maupun masyarakat umum. Padahal, UU P3 telah mewajibkan adanya meaningful participation, yakni partisipasi masyarakat yang tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar dipertimbangkan dalam pembahasan undang-undang.
Lebih lanjut, Dr. Aan menyoroti dampak dari proses yang terkesan terburu-buru atau sering disebut sebagai “fast-track legislation“. Menurutnya, langkah ini sering kali menghasilkan regulasi yang cacat secara formil maupun materiil.
“Proses ini bukan hanya melanggar prinsip demokrasi, tetapi juga berisiko membatalkan UU tersebut jika diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji formil,” ujar Dr. Aan.
Dalam kasus UU TNI, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan akademisi telah menyuarakan keprihatinan mereka. Aliansi LSM yang bergerak di bidang reformasi militer bahkan menyebut proses pembentukan UU ini sebagai langkah mundur dalam reformasi tata kelola pertahanan negara. Mereka menilai bahwa ketertutupan informasi hanya akan memperbesar ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dr. Aan juga mengungkapkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki sejarah membatalkan undang-undang yang dibuat tanpa memenuhi asas keterbukaan. Salah satu contoh adalah pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2021, yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena prosesnya tidak transparan dan minim partisipasi publik. “Kasus serupa bisa terjadi pada UU TNI jika pembentukannya terus mengabaikan prinsip-prinsip tersebut,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya transparansi dalam pembentukan undang-undang yang terkait dengan lembaga strategis seperti TNI. “TNI adalah institusi penting dalam menjaga kedaulatan negara. Proses pembentukan regulasi terkait TNI harus mengutamakan keterbukaan dan akuntabilitas agar tidak menimbulkan kecurigaan di masyarakat,” pungkasnya.(din)