KANAL24, Malang – DPR sebaiknya memperhatikan beberapa persoalan yang ada di RUU Masyarakat Adat. Persoalan-persoalan tersebut dikritisi oleh Dr. Muhammad Lukman Hakim Dosen Ilmu Pemerintahan pada seminar nasional tentang RUU Masyarakat Adat, jumat (29/11/2019) di FISIP UB.
Jawa timur sebagai salah satu pusat peradaban di nusantara, sampai hari ini tidak memiliki desa adat. Pemprov jatim mencatat ada 10 suku adat yakni osing, samin, tengger, dsb, tetapi tidak ada satupun desa adat dan belum ada inisiasi dari Pemprov jatim untuk berupaya mendorong munculnya desa adat. Hanya ada 24 lembaga adat, riset yang dilakukan tahun 2018 di 38 kota di Jatim. Tempat-tempat yang adatnya luar biasa seperti di tengger justru belum memiliki lembaga adat, padahal lembaga adat ini adalah cikal bakal untuk mendorong munculnya desa adat. Ini hal-hal yang mungkin perlu dicermati.
“Karena ini adalah RUU inisiatif DPR, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan misalnya penggunaan nomenklatur, ada masyarakat adat, masyarakat hukum adat, dan ada masyarakat tradisional. Penggunaan ini masih belum konsisten dan akan berimbas pada persoalan dibelakang,” ungkap Ketua Badan Penelitian & Pengabdian FISIP UB tersebut.
Masyarakat adat dan masyarakat hukum adat itu berbeda, hukum adat adalah suatu istilah yang digunakan oleh para pakar hukum adat untuk menjelaskan masyarakat adat tapi itu pada sisi hukumnya. Sementara, AMAN mendorong bahwa persoalannya bukan hanya persoalan hukum tetapi tradisional seperti hilangnya “agama-agama” asli masyarakat atau tradisi. Perlu dilakukan diskusi terkait dengan RUU Masyarakat Adat ini apakah tetap menggunakan nomenklatur RUU masyarakat adat, masyarakat hukum adat atau RUU masyarakat tradisional karena ketiga nomenklatur ini berbeda.
Sebenarnya, tahun 1982 PBB sudah menegaskan di wewenang ekonomi sosial budaya, PBB menyebut dengan istilah indigenous people yang kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia menjadi masyarakat asli. Persoalannya adalah Indonesia adalah benua baru yang tidak ada leluhur aslinya, itu problem kalau menggunakan masyarakat asli. Nenek moyang bangsa Indonesia semuanya pendatang, jadi ini persoalan ketika menggunakan nomenklatur indigenous people, maka yang paling memungkinkan adalah menggunakan istilah masyarakat adat.
Hal tersebut yang perlu secara konsisten digunakan di seluruh pasal di RUU ini, yakni ada 14 bab dan 48 pasal yang memang tumpang tindih penggunaan istilahnya. Di UU No.11 Tahun 2005 sebenarnya sudah diratifikasi, Indonesia sudah mempunyai UU yang melindungi masyarakat, budaya, dsb terkait dengan masyarakat adat. Jadi memang belum ada UU spesifik yang mengatur tentang adat.
Kemudian, menurut Lukman ada satu kerancuan lagi yang ada di RUU ini, yakni soal penggunaan istilah kelembagaan adat atau lembaga adat. Karena, di UU Desa dan Permendagri No.18 tahun 2018 tentang lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat desa itu menyebutnya lembaga adat. oleh sebab itu, DPR harus konsisten menggunakan istilah ini.
Di ketentuan umum tidak ada nomenklatur yang sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh RUU ini, yakni tentang klausul hak adat yang tidak didefinisikan. Kemudian, banyak sekali hal-hal teknis yang ada di pasal-pasal RUU ini. Namun, yang paasti RUU ini sangat penting dihadirkan untuk memberi ruh dari nomenklatur ini, yaitu perlindungan.
“Jadi, pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang hari ini suka atau tidak suka itu memang kemudian dipinggirkan oleh proses teori pertumbuhan dan pembangunan. Ini yang mungkin juga akan menjadi fokus, bagaimana kita mendorong RUU ini untuk sampai menjadi program prioritas di PROLEGNAS. Jangan sampai kehadiran RUU ini berbenturan dengan UU yang lain, yang artinya perlu ada sinkronisasi secara khusus antara RUU ini dengan UU yang lain,” pungkasnya. (meg)