Kanal24, Malang – Pameran Tragedi Kanjuruhan dari 26 September hingga 1 Oktober 2024, di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB). Acara yang dipelopori oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya 2023 ini mengusung tema penting: menjaga memori tragedi Kanjuruhan dan meningkatkan kesadaran publik terhadap keadilan yang belum tuntas.
Ketua pelaksana acara, Muhammad Febbyzio Damoesya, mahasiswa FIB 2023, menjelaskan kepada Kanal24 pada Senin (30/09/2024) bahwa pameran ini tidak hanya sekadar menampilkan instalasi dan visual mengenai peristiwa tragis tersebut, tetapi juga menyertakan diskusi umum pada tanggal 30 September, serta konelasi (diskusi reflektif) dan doa bersama yang akan dilaksanakan pada 1 Oktober.
“Kami ingin masyarakat, terutama komunitas akademik dan publik luas, memahami bahwa tragedi Kanjuruhan belum selesai. Keadilan belum tercapai sepenuhnya, dan ini merupakan isu yang harus terus diingat oleh kita semua,” ungkap Febbyzio.
Febbyzio menambahkan bahwa latar belakang dari penyelenggaraan pameran ini adalah kondisi terkini terkait kasus Kanjuruhan yang dianggap masih jauh dari kata selesai. Tahun sebelumnya, acara serupa pernah diadakan, namun tidak terikat dengan program kerja mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Kali ini, acara diselenggarakan dengan lebih terstruktur dan melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga korban, Yayasan Keadilan Tragedi Kanjuruhan, dan Jaringan Solidaritas Korban.
“Kami melihat bagaimana kasus ini masih belum tuntas. Tragedi Kanjuruhan adalah luka besar yang belum terobati, dan sebagai mahasiswa, kami merasa penting untuk menginisiasi acara ini kembali. Pameran ini bukan hanya sekadar mengenang, tetapi juga menjadi bentuk aksi konkret untuk terus menuntut keadilan,” jelas Febbyzio.
Pameran yang berlangsung selama enam hari ini menampilkan berbagai instalasi seni, foto, dan dokumentasi yang menggambarkan kronologi tragedi serta dampaknya terhadap korban dan masyarakat. Setiap hari, pengunjung dapat melihat langsung visualisasi kejadian tersebut, dilengkapi dengan narasi dari sudut pandang korban dan saksi mata.
Pada tanggal 30 September, diskusi umum akan diadakan dengan menghadirkan narasumber dari aktivis HAM, perwakilan keluarga korban, serta akademisi. Diskusi ini akan menjadi forum terbuka untuk membahas dampak psikologis, sosial, dan hukum dari tragedi tersebut, serta langkah-langkah yang bisa diambil untuk memperjuangkan keadilan.
“Kami mengundang siapa saja untuk datang. Acara ini terbuka untuk publik, baik mahasiswa maupun masyarakat umum. Diskusi ini diharapkan bisa memberikan ruang bagi semua pihak untuk berbagi perspektif, serta memperkuat solidaritas antar komunitas,” tambah Febbyzio.
Acara puncak pada 1 Oktober berupa doa bersama dan konelasi. Doa bersama ini bertujuan untuk mendoakan para korban dan keluarga yang masih berjuang mencari keadilan. Selain itu, konelasi akan menjadi ruang refleksi kolektif, di mana partisipan dapat berbagi perasaan, pandangan, serta harapan terhadap penyelesaian kasus ini.
Febbyzio menekankan bahwa output yang ingin dicapai dari acara ini adalah menjaga ingatan kolektif masyarakat terhadap tragedi Kanjuruhan, serta mendorong empati dan aksi nyata dari berbagai pihak.
“Kami berharap masyarakat sadar bahwa tragedi ini belum usai. Keadilan masih belum diraih, dan ini bukan hanya urusan keluarga korban, tetapi juga kita semua sebagai bagian dari masyarakat yang peduli terhadap keadilan. Dengan pameran ini, kami ingin menegaskan bahwa kasus ini harus terus dibahas hingga ada penyelesaian yang adil,” ujarnya.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan penyelenggaraan acara serupa di tahun depan, Febbyzio menjelaskan bahwa hal tersebut akan bergantung pada perkembangan kasus Kanjuruhan. “Kami akan melihat kondisi dan perkembangan kasus ini. Jika tahun depan tragedi ini belum tuntas, kami akan kembali menggelar acara ini dengan harapan bisa terus mengingatkan masyarakat.”
Selain dari kalangan mahasiswa, panitia juga telah menjalin koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk keluarga korban, aktivis HAM, dan organisasi sosial. Febbyzio mengungkapkan bahwa koordinasi dengan Yayasan Keadilan Tragedi Kanjuruhan dan Jaringan Solidaritas Korban menjadi aspek penting dari penyelenggaraan acara ini.
“Kami tidak hanya bekerja sendiri. Ada banyak pihak yang membantu, terutama dari keluarga korban yang sangat mendukung acara ini. Kami juga sudah berkoordinasi dengan para aktivis malam yang turut mengawal isu ini dari awal,” katanya.
Pameran Tragedi Kanjuruhan ini bukan hanya sekadar acara tahunan, tetapi juga wujud nyata kepedulian mahasiswa terhadap keadilan sosial. Acara ini diharapkan dapat menjadi pengingat bagi masyarakat luas bahwa perjuangan untuk keadilan bagi para korban tragedi Kanjuruhan masih terus berjalan.
Febbyzio dan tim panitia berharap melalui acara ini, tragedi yang menewaskan banyak nyawa tersebut tidak akan terlupakan, dan masyarakat semakin tergerak untuk bersatu dalam menuntut keadilan yang sejati. (una/nid)