Kanal24, Malang – Sektor pariwisata dinilai memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menuju visi Indonesia Emas 2045. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Dwi Budi Santoso, S.E., M.S., Ph.D., menegaskan bahwa penguatan sektor pariwisata di Jawa Timur bisa menjadi pendorong penting dalam mencapai target ekonomi nasional yang lebih tinggi.
Menurut Prof. Dwi, selama satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tercatat tertinggi di angka 6,6 persen dan belum pernah menembus 8 persen. Untuk itu, diperlukan lompatan strategis, salah satunya melalui pengembangan pariwisata yang memiliki efek berganda (multiplier effect) yang sangat kuat. “Melalui sektor ini, kita bisa mendorong interaksi lintas sektor, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan investasi dan perdagangan,” ujar Prof. Dwi.
Pemaparan tersebut disampaikan Prof. Dwi dalam webinar East Java Economic View Conference (EJAVEC) yang digelar oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya pada Kamis (17/4/2025). Webinar ini menjadi bagian dari upaya akademisi dalam memberikan rekomendasi strategis terkait arah pembangunan ekonomi daerah ke depan, sejalan dengan peluncuran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang dicanangkan pemerintah.
Prof. Dwi mengungkapkan, pariwisata mampu memberikan dampak langsung terhadap sektor transportasi, perhotelan, makanan, dan tenaga kerja. Ia menambahkan, pertumbuhan di sektor-sektor ini akan mendorong permintaan tenaga kerja yang semakin luas, sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan upaya serius dan konsisten.
Dalam pemaparannya, Dwi juga mengingatkan pentingnya memahami dinamika pertumbuhan ekonomi menggunakan teori Solow. Menurutnya, perekonomian mengalami fase kontraksi dan ekspansi, sehingga perlu strategi agar investasi berjalan optimal tanpa memicu overheat ekonomi. “Fokus pemerintah sebaiknya adalah membentuk steady state baru dengan produktivitas dan modal yang lebih tinggi,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa setiap wilayah di Jawa Timur memiliki tingkat steady state yang berbeda, sehingga terjadi ketimpangan pertumbuhan antar daerah. Kota besar seperti Surabaya memiliki keunggulan yang jauh dibandingkan dengan daerah tertinggal. Karena itu, Dwi mendorong pengembangan pariwisata berbasis karakteristik wilayah. Misalnya, Kota Batu perlu memperkuat daya tarik dan layanan wisata daripada membangun infrastruktur dasar yang sudah memadai.
Prof. Dwi menyebutkan bahwa kinerja sektor pariwisata dapat diukur melalui kontribusi akomodasi, transportasi, serta makanan dan minuman terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), termasuk persentase kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. “Indeks kunjungan wisata menjadi tolok ukur penting apakah sektor pariwisata kita memiliki daya saing,” pungkasnya. (nid/rev)