oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Islam adalah agama rahmat bagi ummat manusia. Rahmat adalah kasih sayang Allah swt yang bersifat umum yang diberikan kepada siapa saja melalui Rasulullah saw. Karena memang sejatinya Rasulullah adalah nikmat yang dihadiahkan oleh Allah swt kepada alam semesta ini. Termasuk dari kasih sayangnya adalah kepedulian dan perhatian yang luar biasa dari Rasulullah saw kepada anak-anak yatim yaitu mereka yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Sebagaimana di Firmankan oleh Allah swt:
فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۗ وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡيَتَٰمَىٰۖ قُلۡ إِصۡلَاحٞ لَّهُمۡ خَيۡرٞۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ ٱلۡمُفۡسِدَ مِنَ ٱلۡمُصۡلِحِۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعۡنَتَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ
Tentang dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!” Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. Al-Baqarah : 220)
Firman Allah swt ini memberikan arahan tentang bagaimana seseorang berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak yatim. Perhatian serius terhadap anak yatim ini disebabkan beberapa pertimbangan yaitu karena, pertama, anak yatim masih belum dewasa dan mandiri serta masa membutuhkan perhatian lebih dari orang tuanya sementara orang tuanya telah meninggalk. Kedua, sebagai wujud perhatian, kepedulian dan rasa tanggungjawab sosial yang tinggi dari diri nabi atas atas keluarga yang ditinggal wafat. Tentu akan menjadi sebuah obat penawar kesedihan bagi mereka yang mengalami kesedihan ditinggal wafat keluarganya manakala ada perhatian dan kepedulian dari pemimpin ummat ini. Hal ini memberikan sebuah inspirasi bahwa seorang tokoh ummat atau organisasi ummat selayaknya untuk memberikan kepedulian atas kalangan yang mengalami kesedihan, hal ini sekaligus menjadi cara yang sangat efektif dalam mempersuasi dan mempengaruhi seseorang. Hal ini dapat menjadi sebuah kaidah dalam komunikasi persuasif yaitu jika seseorang ingin mudah mempengaruhi dalam mempengaruhi orang lain maka berilah perhatian dan kepedulian kepada mereka yang sedang mengalami kesusahan dan kesedihan. Berikan perhatian serius pada keluarganya, santuni dan jadilah pengayom bagi mereka.
Dalam sebuah kisah tentang kepedulian dan perhatian yang luar biasa dari Rasulullah terhadap si yatim, pernah disampaikan oleh Abdullah bin Ja’far meriwayatkan: “Rasulullah mengirim tentara bersama Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin, dan bersabda, “Jika Zaid terbunuh dan mati syahid, maka Ja’far menjadi pemimpin, dan jika Ja’far terbunuh dan dan mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah menjadi pemimpin.” Kemudian berita (tentang perang) sampai kepada Rasulullah, lalu beliau berdiri di depan orang-orang dan memuji Allah kemudian bersabda, “Saudara-saudara kalian telah berjumpa dengan musuh, dan Zaid mengambil bendera, kemudian dia berperang sampai dia terbunuh dan Syahid. Kemudian Ja’far bin Abi Thalib mengambil bendera, dan dia berperang sampai dia terbunuh dan syahid. Kemudian Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, dan dia berperang sampai dia terbunuh dan syahid. Kemudian Sang pedang dari pedang-pedang Allah, Khalid bin Al-Walid, mengambil pedang dan diberikan kemenangan oleh Allah.”
Kemudian beliau mendatangi keluarga Ja’far setelah tiga hari (memberikan mereka waktu untuk berduka dengan menangis), dan memberitahu mereka, “Janganlah kalian menangisi saudaraku setelah hari ini atau besok, panggilah untukku anak-anak saudaraku (Ja’far).” Kami datang kepada beliau seolah-olahkami burung-burung kecil, dan Rasulullah bersabda, “Panggilah tukang cukur untukku.”Kemudian tukang cukur pun datang dan mencukur rambut kami (karena ibu mereka sibuk dengan kematian bapak mereka dan tidak bisa merapikan rambut dan semacamnya). Rasulullah bersabda, “Bagi Muhammad, dia mirip dengan paman kita Abu Thalib. Dan bagi Abdullah, dia mirip denganku dan sifatku.” Kemudian beliau meraih tanganku dan berkata, “Ya Allah, jagalah keluaga Ja’far, dan berkahilah Abdullah dalam urusannya.” Beliau mengatakan ini tiga kali. Kemudian ibu kami datang kepada beliau dan membicarakan tentang kondisi kami sekarang adalah anak yatim, dan dia membuat beliau sedih. Rasulullah menjawab, “Apakah kamu takut akan kemniskinan menimpa mereka, sementara aku adalah penyokong dan pelindung mereka di dunia dan akhirat?” (HR. Ahmad. No. 1753)
Anak kecil adalah aset masa depan. Memberikan perhatian dan kepedulian pada mereka sebenarnya adalah cara menyentuh masa depan. Tindakan yang dilakukan oleh nabi dengan mempedulikan mereka dan seakan menggangapnya selayaknya anak sendiri adalah cara mempersuasi yang sangat hebat. Memang bukan pada saat sekarang target tujuan pencapaian nabi atas diri anak-anak tersebut, melainkan Nabi sedang mempersuasi masa depan mereka, dengan suatu keyakinan bahwa kelak mereka akan menjadi para loyalis agama yang dibawa oleh Rasulullah saw dan menjadi penggerak dalam melakukan perubahan dikala dirinya telah dewasa.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah suka memeluk anak-anak kecil yang yatim, mengusap kepala mereka, dan mendoakan mereka. Sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far berkata, “Jika saja engkau melihatku dan Qutsam serta ‘Ubaidullah, kedua putra Abbas, saat kami bermain dan Rasulullah melewati kami di atas tunggangannya. Beliau menyuruh orang untuk mengangkatku, dan menaruhku di depan beliau. Kemudian beliau menyuruh mereka mengangkat Qutsam, dan menaruhnya di belakang beliau. Rasulullah kemudian mengusap kepalaku tiga kali, setiap kali berkata, ‘Ya Allah, jagalah anak-anak dari Ja’far’.” (HR. Ahmad. No. 1763)
Memberikan kepedulian dan perhatian pada anak-anak yatim yang di kala itu mereka memang amat membutuhkan kehadiran sosok pengayom (seorang ayah) maka hal ini menjadi informasi penting dibawah sadarnya bahwa dirinya memiliki ikatan emosional yang kuat dengan mereka yang telah dianggap menolong dirinya saat berada dalam keterpurukan psikologis. Sehingga perhatian pada anak yatim sebenarnya adalah cara mempersuasi sebuah perubahan di masa depan.
Perhatian atas anak yatim adalah investasi berharga bagi seseorang untuk melakukan perubahan masa depan sekaligus menciptakan loyalitas dari mereka kepada seseorang tersebut. Sebagaimana dikisahkan tentang pemaafan Rasulullah atas anak-anak yang melempari batu di kala Rasulullah berhijrah ke Thaif dan berujung pada pengusiran atas diri Nabi, hingga malaikat Jibril menawarkan jasa untuk membalikkan gunung agar ditimpakan pada diri mereka (penduduk). Nabi menjawabnya dengan sangat luar biasa.
قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. (HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim).
Apabila seseorang ingin melakukan persuasi untuk sebuah perubahan di masa depan, maka hadirkan kepedulian, perhatian dan penganyoman terhadap mereka sejak dini yaitu kalangan anak-anak (terlebih kalangan yatim) sebagai generasi yang kelak akan menjadi penggerak masa depan dengan pendekatan personal yang sangat intim dan mnnyentuh relung psikologisnya. Karena itulah cara menyentuh perubahan di masa depan.
Untuk mewujudkan perhatian dan kepedulian tersebut, Allah swt memberikan arahan sebagaimana dalam FirmanNya berikut :
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksisaksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.” (QS. An-Nisa: 6)
Araham dalam membangun kepedulian terhadap anak yatim dimaksudkan agar mereka merasa mendapatkan pengayoman, mempersiapkan mereka menuju kematangan jiwa sehingga mampu hidup mandiri, membantu mengelola keuangannya secara profesional untuk dapat dipergunakannya kelak sebagai modal dalam mengembangkan kemandiriannya, memberikan pendampingan dan pelatihan kepada mereka agar mereka mampu sebagaimana dimaksud tersebut (dewasa, mandiri dan bertanggungjawab).
Berbagai argumentasi tersebut diatas sebenarnya mengarah pada bagaimana seseorang harusnya dalam berinteraksi dengan anak-anak atau generasi masa depan (terlebih anak yatim, yaitu suatu entitas yang sedang mengalami suasana psikologis yang membutuhkan perhatian) agar dalam melakukan persuasi di masa depan lebih mudah diterima dan berdampak pada penerimaan atas pesan perubahan yang ingin disampaikan. Dalam konteks pendekatan persuasi propetik ini, maka pesan perubahannya adalah membangun tanggungjawab keimanan dalam implementasi interaksi kehidupan di berbagai pola aspeknya. Inilah keindahan dan keagungan ide Islam, mulia dan agung.