Oleh: Rosatina JN
Beberapa pelaku ekonomi cukup terguncang akibat pandemi Covid19 mulai dari skala kecil hingga skala besar, rantai produsen hingga konsumen, sendi masyarakat hingga anggaran pemerintah. Dalam menghadapi tantangan ekonomi akibat pandemi, pemerintah mengucurkan program penyelamatan ekonomi nasional yang salah satunya berupa jaminan sosial bagi para pekerja. Namun demikian, ada satu kelompok pekerja yang terlupa yakni pekerja informal sebanyak 74 juta jiwa atau 56,6 persen total pekerja. Hal ini tidak boleh dilupakan mengingat kelompok pekerja informal merupakan kelompok paling rentan akibat pandemi.
Peluang Indonesia terjerambab ke jurang resesi pada kuartal III/2020 cukup besar. Tanda krisis sudah terlihat di kuartal II-2020 saat pertumbuhan ekonomi terkontraksi 5.32 year on year. Angka tersebut diketahui merupakan angka terendah yang terhitung sejak reformasi. Penerimaan pemerintah pun cukup terkuras untuk menggenjot dan menghidupkan kembali perekonomian ditengah pandemi. Diketahui bahwa pemerintah telah menganggarkan Rp641,17 Triliun sebagai suntikan stimulus fiskal. Stimulus tersebut digadang memiliki peran yang penting dalam menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi.
Stimulus fiskal pun disalurkan melalui instrumen pajak atau pengeluaran pemerintah yang berdampak multiplier effect terhadap perekonomian. Berbagai bentuk realisasi stimulus ini berupa sebuah insentif, pemotongan pajak, pemberian subsidi langsung sebagai tunjangan, serta pembangunan infrastruktur publik. Jika melihat dari sudut pandang ekonom klasik, menggunakan stimulus fiskal dan kebijakan moneter bukan menjadi jawaban yang efektif dari mendorong pertumbuhan ekonomi riil. Namun apabila melihat dari sudut pandang Keynesian, stimulus fiskal dapat mencegah penurunan output riil (peningkatan permintaan agregat yang berasal dari stimulus fiskal ditengah kekakuan harga dan kurangnya lapangan pekerjaan akan meningkatkan output riil).
Strategi ini juga diterapkan di Indonesia dengan prioritas kesehatan, stimulus pajak, kredit dan pemulihan ekonomi serta Jaring Pengaman Sosial (JPS). Kemenkeu mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan di APBN 2020 sebesar Rp405,1 triliun untuk anggaran bidang kesehatan sebesar Rp75,1 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun, alokasi untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat sebesar Rp75,1 Triliun, dan program pemulihan ekonomi untuk pemberian stimulus bagi usaha mikro kecil dan menengah sebesar Rp150 triliun.
Namun sayangnya, ditengah hingar bingar stimulus fiskal melalui program PEN, pemerintah melupakan pekerja sektor informal pada kelompok kelas menengah sebanyak 74 juta jiwa atau 56,6 persen total pekerja. Bantuan sosial yang tidak merata ini menjadi sebuah kekhawatiran apakah stimulus kebijakan fiskal akan berdampak positif jika hanya menyasar pekerja sektor formal.
Pemerintah pun berdalih bahwasannya pekerja informal serta pekerja yang menyandang status pemutusan hubungan kerja dapat memanfaatkan program kartu prakerja. Padahal telah kita ketahui bahwa program tersebut tidak efektif jika dimanfaatkan dalam kondisi pandemi. Permasalahan dalam meningkatkan daya beli maupun ability to spend yang terbatas dihambat oleh rumitnya alur birokrasi. Diketahui, program ini telah menetapkan 3.8 juta orang dari 22 juta pendaftar hingga gelombang tujuh sejak bulan April. Lambatnya insentif dan semi bantuan sosial dari pemerintah ini tidak cukup efektif untuk mendongkrak 74 jiwa pekerja informal. Pemerintah perlu memutar otak lebih kritis dalam mengayomi pekerja informal dan pekerja dengan status PHK.
Penulis : Rosatina JN, Asisten Peneliti INDEF