Kanal24, Malang – Pernyataan Presiden RI Joko Widodo di Istana Merdeka terkait pengakuan pemerintah Indonesia atas 12 persitiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu menuai berbagai respon.
Ahli Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia, Dr. Dhia Al Uyun, SH., MH., berpendapat bahwa rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) dan pernyataan Presiden tersebut nampak sebatas jualan politik pemerintah yang bertepatan dengan tahun politik saat ini.
“Sebenarnya yang dilakukan PPHAM seolah-olah negara ikut andil. Kalau negara ikut andil mestinya negara melakukan hal yang lebih progresif, seperti menyelesaikan kasus HAM itu sendiri dan mewujudkan keadilan HAM. Ini seperti salah satu bentuk jualan politik yang dilakukan oleh pemerintah karena mendekati tahun-tahun politik.” tuturnya pada Kanal24.
Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB) ini, pemerintah belum menunjukkan langkah nyata mewujudkan penegakan HAM.
“Gus Dur (Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI) sudah pernah melakukan hal itu. Malah Gus Dur itu punya langkah progresif yang sangat luar biasa biasa di tahun 1999 itu dibandingkan dengan yang dilakukan Jokowi saat ini,” katanya.
Sama halnya yang terjadi pada kasus Munir, Dhia merasa pesismis pemerintah akan mampu mewujudkan keadilan dari kasus pelanggaran HAM yang lain.
“Sekarang PPHAM saja personilnya juga banyak orang-orang yang disinyalir tersangkut di kasusnya Munir, kemudian kita mau berharap bahwa mereka punya pemikiran yang progresif tentang kasusnya munir, saya kira tidak ada,” katanya.
Menurutnya, negara memiliki kuasa untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, namun hal tersebut harus diiringi oleh komitmen dari pemerintah terutama lembaga penegakan hukum di Indonesia.
“Bagaimana Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM? Kasus Paniai misalnya, pelakunya bebas begitu. Nah, setelah Presiden membuat pernyataan seperti itu, kita tunggu pembuktian kedepannya langkah pemerintah seperti apa dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Pemerintah Indonesia mengakui adanya pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa masa lalu.
Ke-12 peristiwa tersebut diantaranya adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilang Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Presiden menegaskan bahwa dia dan pemerintah berusaha untuk mengembalikan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa mengabaikan penyelesaian yudisial.
Presiden juga menyatakan bahwa dia telah memberikan instruksi kepada Menko Polhukam agar memantau upaya-upaya konkret pemerintah dalam memastikan bahwa kedua hal tersebut dapat dilakukan dengan baik. (din/sat)