Kanal24, Malang – Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru, bersamaan dengan penerapan sistem moderasi konten SAMAN, memicu kekhawatiran luas dari masyarakat sipil, akademisi, hingga komunitas seni. Kombinasi dua regulasi tersebut dinilai mempersempit ruang kebebasan berekspresi dan meningkatkan potensi kriminalisasi terhadap kritik publik, baik di dunia nyata maupun ranah digital.
Kritik Akademisi dan Komunitas HAM
Organisasi hak asasi manusia dan kelompok akademisi menyoroti sejumlah pasal KUHAP baru yang dianggap rentan disalahgunakan. Pasal mengenai kewenangan penyelidikan dinilai terlalu luas, terutama terkait penggunaan metode pembelian terselubung (undercover buy) dan controlled delivery bahkan sebelum ada kepastian tindak pidana.
Ketiadaan proses pengawasan dari hakim dalam tahap awal penyelidikan dipandang berpotensi melahirkan praktik penjebakan terhadap warga biasa, aktivis, hingga pembuat konten. Kelompok akademisi menyebut regulasi ini sebagai “kerangka hukum antikritik” yang dapat mengancam penelitian, diskusi, maupun kegiatan akademik yang bersifat kritis terhadap kebijakan negara.
Baca juga:
Dukungan Prabowo untuk Palestina, Masih Gestur Diplomasi
SAMAN dan Ancaman Sensor Digital
Di ranah digital, penerapan SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten) juga menimbulkan kekhawatiran baru. Sistem ini memungkinkan pemerintah menurunkan atau memblokir konten yang dianggap “meresahkan masyarakat”, sebuah istilah yang dinilai terlalu subjektif dan mudah dipolitisasi.
Peneliti dari pusat kajian digital sebuah universitas besar menyebut bahwa indeks konten dalam sistem SAMAN tidak memiliki pedoman evaluasi yang jelas, terutama terkait genre kritik seperti satire, seni, atau edukasi politik. Tanpa mekanisme uji publik yang memadai, keputusan pemutusan akses konten dikhawatirkan dapat menjadi alat sensor yang membungkam suara kritis.
Koalisi masyarakat sipil kemudian mendorong agar pemerintah menunda pelaksanaan SAMAN hingga regulasi induknya direvisi. Mereka mengusulkan adanya mekanisme banding independen yang benar-benar melibatkan masyarakat sipil secara setara.
Ketegangan dengan DPR dan Pemerintah
Di tengah kritik yang semakin keras, pernyataan sejumlah anggota DPR justru memantik kontroversi baru. Ada pihak legislatif yang melabeli pengkritik KUHAP sebagai “pemalas” dan menyebut informasi tentang pasal bermasalah sebagai hoaks. Aktivis menilai respons tersebut sebagai cermin sikap antikritik yang tidak sejalan dengan prinsip akuntabilitas publik.
Beberapa koalisi sipil kemudian meminta pemerintah menerbitkan peraturan darurat untuk menunda berlakunya KUHAP baru sambil membuka ruang pembahasan ulang yang lebih partisipatif. Mereka menilai proses penyusunan sebelumnya minim transparansi dan terlalu mengabaikan masukan dari berbagai kelompok masyarakat.
Sejumlah akademisi mengungkapkan bahwa meski mereka diundang dalam pembahasan regulasi, banyak masukan teknis yang tidak diakomodasi dalam rancangan akhir. Hal ini menimbulkan kesan bahwa forum partisipasi hanya bersifat formalitas, bukan wadah substansial untuk memperbaiki kualitas legislasi.
Kekhawatiran Demokrasi dan Masa Depan Ruang Kritik
Gabungan KUHAP baru dan sistem SAMAN kini dipandang sebagai ancaman ganda terhadap kebebasan berpendapat. Regulasi tersebut dianggap memberi kewenangan luas kepada aparat di satu sisi, dan kontrol digital yang besar di sisi lain.
Farhan, sang musisi, merangkum rasa khawatiran banyak warga. “Kalau masyarakat banyak diam, aku pun meredam suara kritikku,” ujarnya. Ungkapan itu menjadi gambaran bagaimana regulasi baru berpotensi mengubah cara warga mengekspresikan diri, menciptakan budaya diam, dan mengikis ruang demokrasi di Indonesia. (nid)










