Kanal24, Malang – Guru Besar Ilmu Hukum Ekonomi Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum menjadi Profesor aktif ke-7 di FH, Profesor aktif ke-173 di UB, dan Profesor ke-322 dari seluruh Profesor yang ada di UB yang baru-baru ini dikukuhkan UB dan mendapatkan apresiasi luar biasa dari FH UB atas pencapaiannya yang luar biasa.
Prof. Sukarmi yang lahir di Nganjuk, 3 Mei 1967 mengenyam pendidikan sekolah dari SD, SMP, dan SMA di Nganjuk. Setelah lulus dari SMA, ia melanjutkan studinya di kota Malang tepatnya Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan konsentrasi Hukum Tata Negara hingga lulus pada tahun 1990.
“Lalu, pada tahun 1991 saya diterima dosen sebagai CPNS dan selanjutnya tentu menjadi PNS sekitar tahun 1992 atau 1993,” kenang Prof. Sukarmi.
Sebagai dosen baru pada waktu itu, Prof. Sukarmi kembali melanjutkan studinya ke jenjang Magister Ilmu Hukum (S2) pada tahun 1999 di Universitas Padjadjaran Bandung. Tidak berhenti sampai di sana, Prof. Sukarmi kemudian melanjutkan studi ke jenjang Doktor Ilmu Hukum (S3) di universitas yang sama, yaitu Universitas Padjadjaran Bandung sampai tahun 2005
Setelah lulus dari S3, Prof. Sukarmi kembali mengajar di Universitas Brawijaya dan mendapatkan amanah sebagai Koordinator Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (2005-2007) dan menjadi salah satu dosen yang merintis cikal bakal kelahiran dari magister kenotariatan di UB.
Prof. Sukarmi mengikuti tes pada tahun 2005 untuk Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI) diterima pada periode pertama. Singkat cerita, ia kembali menjadi Komisioner KPPU RI periode kedua. Sehingga, ia harus meninggalkan Kota Malang dan tinggal di Jakarta sebagai Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia pada tahun 2007 hingga 2018 dan sempat menjadi Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia pada tahun 2010 – 2011.
“Saya kembali ke sini (Universitas Brawijaya) sekitar pertengahan tahun 2018. Lalu, karena saya ketinggalan dengan dunia akademik dibanding dengan teman-teman karena menurut saya, saya lebih banyak praktek. Sehingga ketika ada anjuran untuk segera mengurus pangkat, saya mulai berusaha bagaimana caranya, karena selama ini kan hambatan terbesar untuk menjadi guru besar adalah jurnalnya,” terang Prof. Sukarmi.
Prof. Sukarmi menjelaskan lebih lanjut bahwa untuk menjadi guru besar harus memiliki jurnal yang telah terindeks. Maka, ia mulai belajar menulis jurnal dengan mengikuti berbagai pelatihan dan ia berhasil menerbitkan berbagai jurnal termasuk jurnal internasional dengan jumlah 15 karya.
Saat ini, Prof. Sukarmi menjabat sebagai Direktur Sumber Daya Manusia Badan Usaha Non Akademik dan telah dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Ekonomi Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) pada Sabtu, 22 Juli 2023 dengan judul penelitian “Model Pengaturan Leniency Program untuk Memerangi Kartel dalam Bayang-Bayang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”.
Menurut Prof. Sukarmi, Leniency Program sangat penting dalam pembuktian kartel. Hal tersebut dikarenakan menurutnya praktek yang diterapkan selama ini pembuktiannya tidak mudah dan memiliki keterbatasan kewenangan KPPU.
“Tidak mudahnya mendapatkan bukti langsung kesepakatan, maka akan menghambat proses pembuktiannya. Selain itu, (mengapa) perlu adanya Leniency Program karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki KPPU, yaitu tidak memiliki kewenangan menggeledah, menyita, dan mengambil dokumen,” jelas Prof. Sukarmi.
Leniency Program merupakan kebijakan yang menjelaskan bahwa bagi anggota pelaku kartel yang terlebih dahulu melaporkan terkait perjanjian kartel tidak akan dikenakan sanksi/pengurangan denda perbuatan kartel.
Dalam Leniency Program berlaku prinsip “first come first served” dan berdasar pada bukti yang dapat disampaikan, yang berarti siapa yang lebih dahulu mendekati dan melaporkan kepada otoritas persaingan, dan seberapa besar bukti yang disampaikan, dialah yang berhak mendapatkan pengampunan. Kekuatan yang ada pada model ini adalah semakin lawal dan semakin besar peranan dari ‘whistleblower’ akan semakin besar pengurangan denda atau bahkan dibebaskan.
Adapun kelemahan model Leniency Program ini adalah tidak dibarengi dengan Lembaga Perlindungan Pemohon Leniency Program sebagai jaminan adanya kerahasiaan bagi pemohon.
Dengan adanya Leniency Program ini berdampak penurunan harga rata-rata, menurunkan kartel dan mencegah adanya kemungkinan kartel terbentuk kembali sekaligus memiliki efek pencegahan kartel akan terjadi lebih besar. (nid)