Oleh: Tri Hendra Wahyudi*
Dalam perhelatan pemilihan kepala daerah Kabupaten Malang 2024, kita melihat dinamika yang menarik. Hingga saat ini, masih minim bakal calon yang dimunculkan oleh partai politik. Belum muncul calon alternatif selain petahana, dan kalaupun ada isu lain, hanya seputar peluang bongkar-pasang koalisi partai politik yang mendukung petahana untuk mendapatkan jatah calon wakil bupati. Hal ini menyebabkan perdebatannya mengerucut pada “siapakah yang akan menjadi pendamping Sanusi dalam pemilukada di Kabupaten Malang tahun 2024?”
Sebagian masyarakat mempertanyakan, mengapa partai politik di Kabupaten Malang tidak berani memunculkan calon alternatif selain incumbent? Jika dilihat dari konteks sosial politik di Kabupaten Malang, pasca Pemilu Februari 2024 lalu, hal ini setidaknya dipengaruhi dua penyebab utama.
Pertama, posisi incumbent hingga saat ini sangat kuat secara elektoral. Selama periode pemerintahan incumbent relatif tidak ada persoalan pelik seputar korupsi dan skandal lain. Hal ini menyebabkan tingkat elektabilitas yang masih cukup tinggi kepada bupati incumbent. Oleh karena persepsi masyarakat terhadap kinerja incumbent yang positif, membuat partai politik (selain PDIP) cenderung wait and see, dalam menyikapi pertarungan di Pemilukada 2024. Sebagian besar partai politik cenderung pasif dan menunggu peluang, yang merupakan pilihan paling rasional untuk saat ini. Hal ini mengingat incumbent menguasai seluruh sumber daya, baik infrastruktur politik, birokrasi, maupun keleluasaan menjangkau publik di Kabupaten Malang melalui program-program pemerintah.
Kedua, waktu yang sangat singkat mulai dari pendaftaran hingga hari pelaksanaan pemilihan kepala daerah, yang hanya efektif sekitar 2 hingga 3 bulan, membuat peluang munculnya calon penantang menjadi kecil. Menantang incumbent yang memiliki elektabilitas stabil adalah sebuah kemustahilan, kecuali bagi penantang yang memiliki kemampuan logistik berlimpah dan didukung mayoritas koalisi partai politik. Sepertinya hingga saat ini, prasyarat itu tidak tersedia di Kabupaten Malang. Jika demikian, akan berisiko sangat besar bagi calon alternatif untuk melawan incumbent, terlebih seluruh sumber daya dan fokus tim pemenangan partai politik sudah terkuras habis dalam pertarungan pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada Februari 2024 lalu. Partai politik akan mengalami kesulitan untuk melakukan recovery dalam jangka waktu singkat, jika harus bertarung lagi melawan incumbent di bulan November 2024 mendatang.
Selanjutnya di sisi lain, muncul isu mengenai koalisi di tingkat daerah yang didorong oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang ada di Pusat dalam rangka memenangkan pemilukada. Apakah hal semacam ini baik untuk demokrasi?
Secara teoritis, hal semacam itu bisa saja bernilai positif bagi demokrasi, minimal dalam dua hal. Pertama, salah satu tujuan pelaksanaan pemilihan umum serentak adalah munculnya koalisi permanen partai politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Koalisi permanen ini bisa mereduksi munculnya politik transaksional dan tawar-menawar ‘rekomendasi’ (uang mahar) diantara partai politik dalam pemilukada. Namun, sepertinya situasi ini hanya berlangsung di sebagian wilayah kabupaten/kota saja. Di Kabupaten Malang, upaya menduplikasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam mendukung calon bupati menemui banyak kendala, sebab kepentingan partai politik dan konstelasi di Kabupaten Malang tidak selalu sinkron dengan dinamika di pusat. Maka, kemungkinan besar akan ada koalisi parpol pendukung incumbent di Kabupaten Malang, yang kerangka koalisinya berbeda dengan KIM.
Kedua, dengan adanya keselarasan antara koalisi partai politik pendukung presiden dan koalisi partai politik pendukung kepala daerah, disinyalir akan memudahkan pelaksanaan dan penerjemahan visi pemerintah pusat (presiden) hingga ke level daerah. Secara politis, kepentingan partai politik koalisi akan otomatis lebih mudah bisa disinkronisasi mulai pusat hingga daerah, selain memudahkan proses konsolidasi dan komunikasi politik kepala daerah terhadap pemerintah pusat.
Jika dilihat dari perspektif politik elektoral, semisal KIM diduplikasi ke dalam pola koalisi pencalonan kepala daerah, maka akan berdampak pada dinamika pemilihan kepala daerah yang kurang kompetitif. Meskipun ini bukan masalah serius, sepanjang tidak ada upaya sistematis memaksakan calon ‘pesanan pusat’ untuk berkompetisi secara tidak fair dalam pemilukada. Sebab, inti dari pemilu yang demokratis adalah ‘terbukanya kesempatan bagi setiap warga negara untuk bisa memilih dan dipilih’ serta ‘terciptanya kompetisi yang adil bagi peserta’ dalam proses pemilihan.
Meski dinamika pemilihan kepala daerah Kabupaten Malang 2024 menghadapi berbagai tantangan, termasuk dominasi incumbent dan upaya menyelaraskan koalisi pusat-daerah, penting bagi semua pihak untuk terus mengawal proses demokrasi dengan adil dan transparan. Masyarakat harus tetap kritis dan aktif berpartisipasi untuk memastikan pemilihan yang kompetitif dan sehat, demi masa depan Kabupaten Malang yang lebih baik.
*) Tri Hendra Wahyudi, Pengamat Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya