KANAL24, Malang – Dalam mencermati persoalan perubahan UU KPK ini, tentu harus berpendirian pada satu titik bahwa perubahan itu mungkin saja terjadi. Persoalannya adalah bagaimana dan kapan perubahan itu dilakukan. Pernyataan ini diungkapkan oleh Dr. M. Ali Safa’at, SH., MH seorang pakar hukum dari Universitas Brawijaya pada diskusi publik di gedung A FH UB (10/9/2019).
Terkait dengan substansi, kembali pada komitmen awal pendirian KPK, yakni sebagai trigger untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Mengapa masih membutuhkan KPK, padahal sudah ada kepolisian dan kejaksaan yang juga berpotensi untuk menangani perkara pemberantasan korupsi. Pada saat itu, ada ketidakpercayaan publik pada kedua institusi tersebut.
“Masifnya praktik korupsi yang secara meluas sampai melibatkan tokoh-tokoh kelas atas yang tentu semuanya tidak bisa dijangkau oleh aparat kepolisian maupun kejaksaan. Dengan demikian kalaupun misalnya dilakukan perubahan terhadap UU KPK, maka sesungguhnya harus diniatkan untuk meningkatkan proses pemberantasan korupsi itu sendiri,” terang Ali.
Ada banyak aspek yang bisa diusulkan dalam perubahan. Pertama, terkait dengan independensi KPK. Disebutkan bahwa KPK tidak lagi menjadi independen, karena KPK merupakan bagian dari lembaga pemerintah pusat. Lalu soal pegawainya yang tunduk terhadap peraturan Aparatur Sipil Negara (ASN). Tentu ini menjadi penegasian terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kalau KPK sendiri menjadi bagian dari institusi pemerintah pusat, pasti ada aspek-aspek tertentu yang menyandera KPK, tidak bisa bergerak apalagi pegawainya semata-mata dari ASN yang pasti akan terikat dengan berbagai macam persoalan yang terkadang menjadi sumber dari praktek korupsi.
Menyatakan bahwa itu sumbangan dari putusan MK, iya meskipun putusan itu menyatakan bahwa untuk urusan keuangan bagian dari kontrol eksekutif. Tapi kalau urusan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan itu bersifat independen.
“Aspek selanjutnya tentang sumber penyidik dan penyelidik. Menurut saya tidak ada rasionalitasnya bahwa penyelidik dan penyidik harus dari kepolisian. Itu dari prinsip hukum tidak ada. Tidak ada relevansinya. Seorang PNS saja bisa diangkat sebagai penyelidik PNS untuk kasus tertentu. Apakah untuk kasus korupsi tidak bisa? Sangat bisa,” lanjutnya.
Kemudian sebagai lembaga independen, maka proses penyelenggaraan tanggung jawab mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan juga harus dilaksanakan secara independen. Artinya tidak perlu koordinasi dengan Kejagung dalam proses penuntutan, penanggung jawabnya adalah pimpinan KPK berdasarkan alat bukti dan kerja yang dilakukan oleh para penyidik dan penuntut umum. Kalau dilakukan koordinasi dengan Kejagung, lagi-lagi itu pintu masuk untuk intervensi. Belum lagi kalau Kejagung menyatakan belum layak diajukan penuntutan, itu pasti menghambat proses penuntutan suatu perkara.
Aspek selanjutnya, tentang penghentian penyidikan dan penuntutan. Menurut Ali adalah suatu kewajaran jika diberikan kepada KPK, ini tidak melanggar HAM karena bisa saja seseorang yang dituntut bisa tetap diajukan ke pengadilan. Problem yang dihadapi oleh masyarakat adalah memang beberapa kali tersangka, 3-4 tahun tidak ada perkembangan, itu kelemahan.
“Menurut saya yang perlu dirubah adalah berapa orang yang harus sudah diajukan ke pengadilan tanpa penghentian perkara. Kalau memang tidak bersalah yang harus diajukan ke pengadilan untuk dituntut bebas,” tutup Dekan FH UB tersebut.
Ini menjadi tantangan bagi KPK yang memang sejak awal menetapkan seseorang dengan bukti yang sangat kuat. Walaupun memang ada beberapa aspek dari UU KPK yang perlu dilakukan perubahan, tetapi ternyata justru tidak menjadi substansi dari RUU yang diajukan oleh DPR. Tidak diperlukan perubahan seperti yang diajukan oleh DPR karena persoalan-persoalan yang penting tidak masuk ke dalam RUU tersebut.(meg)