KANAL24, Malang – Partisipasi perempuan saat ini sudah merambah di segala aspek kehidupan, salah satunya adalah pertanian. Petani perempuan sudah tidak dianggap asing, namun mereka dinilai belum berkontribusi secara penuh dalam aspek-aspek pertanian. Demikian pemaparan dari Prof. Dr. Ir. Yayuk Yuliati, M.S hari ini (19/11/2019) pada konferensi pers pengukuhannya sebagai profesor.
Yayuk menerangkan data dari BPS tahun 2010 hingga februari 2017 di sektor pertanian, jumlah angkatan kerja perempuan, meningkat menjadi 55,04 persen dari 52,71 persen. Sedangkan, jumlah angkatan kerja laki-laki justru menurun yang tadinya 83,46 persen menjadi 83,05 persen. Kondisi ini menunjukkan keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian semakin meningkat dibandingkan laki-laki. Fenomena ini disebut dengan feminisasi pertanian.
“Hal ini mengacu pada peningkatan partisipasi perempuan dalam pertanian, baik sebagai produsen independen, pekerja keluarga yang tidak dibayar, atau sebagai pekerja upahan pertanian. Hampir seluruh belahan dunia telah terjadi feminisasi, termasuk Indonesia. Di Indonesia, berkembangnya sektor industri menyebabkan banyak Iahan pertanian yang dialih fungsikan menjadi pemukiman penduduk, bangunan publik, perkantoran, dll. Sehingga, menyebabkan petani harus mencari tambahan pendapatan, akhirnya petani laki-Iaki meninggalkan desanya untuk mencari penghidupan yang lebih baik di kota atau di luar negeri, sementara perempuan tinggal di desa mengurusi rumah tangga dan pertaniannya,” jelasnya.
Fenomena feminisasi pertanian sebetulnya tidak menjadi masalah apabila perempuan yang melanjutkan kegiatan pertanian sudah siap, artinya perempuan sudah mempunyai pengetahuan dan keterampilan formal cukup seperti laki-laki, dan ikut memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses produksi pertanian. Kenyataannya, perempuan jarang sekali memperoleh pendidikan pertanian (penyuluhan pertanian) seperti laki-Iaki, bahkan pada program-program pemerintah yang sudah dilaksanakan jarang sekali melibatkan perempuan tani.
“Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender sebetulnya sudah ada, mulai dari UUD 1945, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, lnpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional sampai dengan yang terbaru Peraturan Menteri Pertanian No. 09 Tahun 2019 tentang Santri Milenial, akan tetapi pelaksanaan dan hasilnya masih belum optimal,” tambah pakar gender tersebut.
Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan kapasitas perempuan tani, profesor bidang sosiologi pertanian itu memberikan beberapa strategi yang bisa dilakukan, yaitu pemberian akses sumber daya kepada perempuan, pengurangan beban kerja perempuan. Kemudian, koordinasi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan pembangunan yang berperspektif gender, serta perlu adanya diskusi dan sosialisasi gender bagi seluruh elemen masyarakat, agar tercipta kesetaraan gender khususnya dalam pembangunan pertanian. (meg)