Kanal24, Malang – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menggelar konferensi pers bertajuk “Penyampaian Hasil Pengamatan Situasi HAM atas Pengaduan PHK ke Komnas HAM” pada Kamis (5/6/2025) secara daring. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komnas HAM RI, Anis Hidayah, S.H., M.H., menyampaikan bahwa lonjakan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) telah menjadi perhatian serius lembaganya sebagai persoalan hak asasi manusia yang mendesak.
“Ini hari yang sangat penting bagi Komnas HAM. Kondisi ekonomi Indonesia kian mengkhawatirkan. Daya beli masyarakat menurun, angka pengangguran dan kemiskinan meningkat. Semua ini berkorelasi erat dengan melonjaknya jumlah PHK,” tegas Anis dalam pembukaannya.
Baca juga:
Hentikan Stigma, Ciptakan Ruang Aman Bersama
Berdasarkan catatan Komnas HAM selama tiga tahun terakhir, tercatat ada 134 pengaduan masyarakat terkait kasus PHK, yang menunjukkan adanya tren peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023 hingga awal 2025, tercatat lebih dari 3.000 pekerja melapor mengalami PHK. Bahkan, hingga Maret 2025 saja, jumlah korban PHK melonjak hingga mendekati 9.000 orang.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan pun memperkuat temuan tersebut, di mana hingga pertengahan tahun 2025, sebanyak 26.454 orang dilaporkan mengalami PHK. Anis juga menyoroti bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, angka PHK mencapai 70.000 hingga hampir 80.000 pekerja.
“Fenomena PHK ini menjadi tantangan besar di bidang ketenagakerjaan dan sekaligus ujian terhadap komitmen negara dalam menjamin hak atas pekerjaan bagi setiap warga negara,” ujar Anis.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hak atas pekerjaan merupakan hak fundamental yang dijamin dalam konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Hak ini bersifat universal, non-diskriminatif, dan saling berkaitan dengan hak lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Ketika seseorang kehilangan pekerjaan, maka hak-hak lainnya juga ikut terancam.
Komnas HAM menilai bahwa tingginya angka PHK menjadi indikator belum optimalnya negara dalam menjamin dan melindungi hak atas pekerjaan. Dalam rangka menyikapi hal ini, Komnas HAM meluncurkan laporan dan kertas kebijakan yang mengidentifikasi 10 pola PHK yang kerap terjadi. Laporan ini nantinya akan dijelaskan lebih lanjut oleh perwakilan Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing.
Sebelumnya, Komnas HAM juga telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 14 tentang hak atas pekerjaan yang layak. Salah satu poin penting dalam SNP tersebut adalah merujuk pada Konvensi ILO 158, yang menegaskan bahwa pekerja memiliki hak untuk mengajukan banding terhadap keputusan PHK yang diterimanya.
Namun demikian, Anis juga menyinggung adanya kontradiksi kebijakan, seperti keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang justru mempermudah praktik PHK oleh perusahaan. Dalam konteks ini, Komnas HAM sebelumnya telah memberikan rekomendasi kepada Menteri Ketenagakerjaan untuk tidak memperpanjang Permenaker Nomor 5 Tahun 2023, karena dinilai dapat memperparah kondisi dan mendorong terjadinya PHK baru.
Lebih jauh, Anis menyampaikan keprihatinan bahwa para korban PHK bukan hanya menghadapi masalah ekonomi, tetapi juga menjadi rentan terhadap kejahatan lain, seperti perdagangan manusia. Dalam lima tahun terakhir, banyak korban PHK menjadi sasaran mafia online scam di wilayah Asia Tenggara.
Baca juga:
Juleha Perempuan: Profesi yang Layak Dicoba oleh Mahasiswi Peternakan
“Bayangkan jika kita berada di posisi mereka, tinggal di kontrakan atau kos-kosan, tidak tahu besok akan makan apa, atau melamar pekerjaan ke mana. Banyak dari mereka adalah tulang punggung keluarga. Ini adalah situasi yang tidak bisa kita abaikan,” ungkap Anis dengan nada haru.
Sebagai penutup, Anis menegaskan bahwa Komnas HAM mendorong agar pemerintah lebih serius dalam memperhatikan prinsip-prinsip HAM dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan ketenagakerjaan, termasuk menjamin akses pemulihan yang efektif bagi para pekerja yang menjadi korban PHK. (nid)